KALEM.ID – “Puisi dapat menenangkan masa ketika ada aksi demonstrasi, selain itu pada saat Indonesia punya posisi di acara semisal konferensi internasional, Indonesia harus menonjolkan ciri khas politiknya yakni dengan membaca puisi di depan seluruh perwakilan negara”
Sepertinya, akhir-akhir ini puisi sedang menjadi tren di kalangan politisi. Hal ini membuktikan bahwa, politik itu memastikan segala hal dapat dimasuki, tak terkecuali sastra.
Apa masalahnya? Tak ada. Sah-sah saja puisi dibacakan oleh politisi. Bahkan untuk menarik masyarakat menjadi pendukungnya lewat puisi lebih bagus, ketimbang hanya memberi janji.
Dan untuk bisa menjadikan puisi sebagai alat politik, setidaknya ada beberapa cara terbaik sebelum para politisi menciptakan puisinya. Supaya tak seperti Ganjar dan Sukmawati yang sama-sama dilaporkan sebagai penista karena puisi yang dibacakannya.
Beberapa cara yang sudah dirangkum ini mudah-mudahan dapat menjadi jembatan bagi silang pendapat antara puisi dan politik selama ini. Dan tentunya semoga berfaedah
1) Pastikan kondisi batin sedang baik
Saya pernah dengar Sapardi Djoko Damono berceramah sebelum membacakan puisi tentang Marsinah. Ia bilang, bahwa puisi Marsinah ini proses pembuatannya sangat lama. Kenapa? Karena saat ia akan menulis, ia merasa marah, lalu tak jadi. Ketika ia akan melanjutkan menulis puisinya, ia marah lalu tak dilanjut lagi. Begitu seterusnya
Sampai ia belum bisa mendamaikan dirinya sendiri dari amarah, Sapardi tak mau menulis puisi. Artinya, meski puisi adalah curahan jiwa dan perasaan, bukan berarti sang pembuat harus menulis dalam kondisi marah, ketika memang perasaannya sedang dibalut amarah. Tapi bebas saja ketang, terserah yang mau ikut pilkada
Membuat puisi dalam kondisi marah akan berpengaruh pada redaksi yang tak sesuai maksud. Misal, saat si pembuat puisi punya maksud ingin menyampaikan bahwa pacarnya cantik, tapi ia menulisnya dalam keadaan marah, bisa jadi redaksinya malah begini “Alismu indah bagaikan jalan Raya Puncak Bogor.” Maka, maksud dari jalan itu bisa jadi jalan berlubang dan punya banyak kabut, yang tak ada kaitannya sama sekali dengan makna cantik.
Dan ketika seorang politisi membacakan puisi dimana di dalam puisi tersebut terdapat redaksi yang menurut masyarakat tafsirnya adalah melecehkan, tapi menurut sang pembuat maksudnya lain. Maka siap-siaplah kesalahan kecil tersebut akan dipolitisir, dan akhirnya kalah. Itulah kelaziman di negara ini
2) Pergi ke pinggir sungai atau di bawah pohon
Tempat menulis juga kadang-kadang menentukan kualitas puisi kita. Mari beranalogi, coba anda pergi ke pasar lalu anda buat puisi disana, bedakan dengan puisi yang anda buat di kamar. Pasti hasilnya berbeda
Biasanya, tempat favorit menulis puisi harus bebas dari kebisingan. Itulah kenapa saya memilih di pinggir sungai dan di bawah pohon. Kedua tempat itu bisa mewakili perasaan kita untuk menyampaikan bahasa pikiran. Saat kita melihat air misalnya, biasanya kita akan menyamakan air dengan suatu bagian dalam puisi yang punya maksud tenang dan menenangkan.
Banyak puisi yang bahasanya tak jauh dari alam, tapi banyak juga yang tidak. Jadi, terserah saja mau bikinnya di sungai, di jalanan, di kamar atau di Kutub Utara sekali pun. Yang penting puisi yang dibuat harus jadi, jangan di-draft terus, emangnya undang-undang?
3) Baca buku antologi puisi
Sebelum menulis puisi alangkah baiknya baca dulu buku puisi, itu bertujuan agar kita dapat membedakan seperti apa kalimat puisi dan seperti apa kalimat pantun. Jika kita tak dapat meresapi makna dari puisi-puisi yang ada di dalam buku tersebut, setidaknya kita dapat mengetahui secara gaya kebahasan, bagaimana sebetulnya puisi yang baik dan benar.
Mengapa harus buku? Ya bisa jadi, dalam antologi puisi, kita hampir tidak bisa menemukan ada puisi yang sembarangan. Apalagi jika buku puisinya diterbitkan oleh penerbit sastra paling kredibel. Jadi, apabila seorang politisi hendak kampanye tentang dirinya, maka menyusun strateginya pun tak boleh sembarangan dong, sama halnya bikin puisi.
4) Ikutan Tarung Derajat
Sudah pasti, maksud dari poin ini adalah tiada lain agar tubuh menjadi lebih sehat. Soalnya jangan kalian anggap membuat puisi adalah hal paling remeh di dunia, ia tak seperti membuat artikel biasa.
Menciptakan puisi butuh jiwa dan mental yang kuat, sudah pasti fisik pun juga harus kuat, kan Orandum Est Ut Sit Mensana Incorpore Sano. Makanya, untuk mendapatkan itu, mengikuti Tarung Derajat terlebih dulu adalah pilihan terbaik, karena terkadang banyak pembuat puisi yang mentalnya lemah ketika membacakan puisi di depan halayak, ia “merasa” bahwa dirinya tak cukup bagus membaca puisi di depan banyak orang, padahal ia hanya tak berani sekaligus jago berdalih.
Selain agar sehat, Tarung Derajat akan memberi bekal untuk si pembuat puisi manakala ia diserang oleh masa karena puisinya yang amburadul.
Mudah-mudahan, artikel ini dapat membantu para politisi yang akan maju pada pilkada atau pilpres agar selalu ingat dengan puisi. Karena sebenarnya puisi punya manfaat besar bagi seorang politisi ketika ia terpilih menjadi kepala daerah atau presiden sekali pun.
Puisi dapat menenangkan masa ketika ada aksi demonstrasi, selain itu pada saat Indonesia punya posisi di acara semisal konferensi internasional, Indonesia harus menonjolkan ciri khas politiknya yakni dengan membaca puisi di depan seluruh perwakilan negara. Jelas jika politisi itu Pak Fadli Zon, maka ialah yang paling bersemangat berangkat.