Aku, Kita dan Indonesia

indonesia-breakpos.com

Jika mendengar nama Indonesia maka perlu lebih dari sepuluh tahun untuk mengupas habis segala yang berkaitan denganya. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai sejuta cerita, dimulai dari kekayaan sumber daya alam dan manusia yang melimpah ruah dari Sabang hingga Merauke, kekayaan budaya dan bahasa yang tersebar di 17.508 pulau serta letak geografis yang strategis di antara benua Asia dan Australia sehingga nama Indonesia dipertimbangkan di kancah Internasional.

Menginjak tahun 2015, Indonesia sudah mengalami dinamika dan revolusi yang pesat terhitung sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1995, salah satunya di bidang pendidikan. Para founding father negeri kita menaruh perhatian lebih terhadap pendidikan dengan rumusan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan hal yang penting dalam berdirinya suatu bangsa. Lihat saja, sejarah dunia mencatat pasca kejadian bom atom yang membumi-hanguskan Hirosima dan Nagasaki di Jepang, yang pertama ditanyakan adalah berapa jumlah guru yang tersisa bukan jumlah harta benda atau armada yang tersisa.

Pendidikan adalah suatu proses dimana didalamnya terjadi aktivitas transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture, baik terhadap individu maupun kelompok guna memberikan pembekalan agar manusia siap menghadapi masa depan. Karena dirasa penting itulah, maka pendidikan pun ditempatkan oleh sebagian orang di rak kebutuhan primer. Oleh karena itu di zaman sekarang banyak orang-orang yang lebih dini menyiapkan rencana dan materi untuk memberikan pendidikan terbaik bagi buah hatinya. Sayang, tidak sedikit pula orang tua yang acuh tak acuh dalam memberikan pedidikan bagi anaknya. Mereka terkadang sayang mengeluarkan uang mereka untuk sekolah, bahkan terkadang hak anak untuk mendapat pendidikan yang layak pun “diperkosa” dengan cara mempekerjakan anak mereka di usia yang relatif muda. Hal tersebut banyak terjadi di kalangan masyarakat khususnya yang notabene menyandang kelas menengah kebawah.

Saya sebagai mahasiswa, merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengubah paradigma bahwa pendidikan bukan hanya milik wong sugih saja akan tapi milik kita semua mengingat mahasiswa memiliki peran sebagai agent of change. Tak sekedar mengubah paradigma saja, kita pun perlu ikut serta dalam mengubah keadaan yang terjadi di negara ini. Meskipun majunya teknologi, globalisasi yang menggerus nilai dan regulasi yang semakin longgar dipegang masyarakat menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi degradasi moral dan memudarnya kualitas pendidikan di negeri ini, kita tidak boleh apatis dan hanya diam bak kambing congek yang tidak tahu bahwa di samping kita ada saudara kita yang menjerit karena menjadi korban dari kegersangan pendidikan yang semestinya menjadi oase.

Menurut saya, hal nyata yang dapat saya lakukan untuk Indonesia pertama adalah melakukan revitalisasi moral dengan cara menerapkan pendidikan yang berkarakter. Meskipun pemerintah telah mencetuskan Kurikulum 2013 (K-13) berbasis pendidikan karakter, namun hal ini masih dirasa belum optimal dalam aplikasinya. Secara administratif K-13 sudah mumpuni dan ideal karena perumusan K-13 ini dilakukan oleh para cendikiawan, namun tetap saja K-13 akan menjadi ‘sukses’ atau ‘tidak’ tergantung bagaimana guru mengemasnya dan menyajikan secara apik sehingga kurikulum sampai di tangan siswa. Kendati serupa, namun yang saya maksud di sini adalah pendidikan yang berkarakter sebagaimana yang sudah diamalkan secara turun-temurun oleh ustad (pen: guru) kepada santri (pen: siswa) di pesantren.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam etnis dan agama di dalamnya, namun di luar pengajaran ilmu agamanya pendidikan pesantren memiliki nilai-nilai yang sangat bagus dan bisa menjadi solusi dalam menjawab tantangan pendidikan modern. Di dalam pendidikan pesantren ustadz di awal pengajarannya tidak terlalu menuntut santrinya untuk cerdas secara kognitif namun melakukan penanaman nilai dan akhlak-lah yang menjadi titik tekan pembelajarannya. Setelah dirasa akhlaknya baik maka kecerdasan kognitif akan hadir dengan sendirinya. Selain itu pendidikan pesantren yang selalu dilakukan ustadz adalah belajar tidak pernah mengenal usia dan waktu. Ustadz, meskipun lebih tua dari muridnya dan ilmunya sudah cukup, namun mereka tidak pernah menganggap dirinya “guru”. Mereka tidak pernah berhenti untuk belajar kepada pengajarnya dan selalu mengajarkan ilmunya meski harus tidak mencicipi gaji. Mereka ikhlas mengabdi di jalan Allah karena bagi mereka harta di dunia tidak abadi, namun ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir pahalanya hingga ke akhirat kelak. Baginya mengajar adalah jalan hidup, bukan sekedar profesi.

Berikutnya adalah, dalam pendidikan pesantren, ustadz selalu melakukan pendekatan dan pemantauan secara individualistik. Meskipun waktu belajar di kelas telah habis, namun segala aktifitas santri yang dilakukan setidaknya berada dalam perhatian ustadz. Ustadz pun perlu memberikan teladan yang nyata bagi santrinya dalam setiap aspek kehidupan, karena pribahasa mengatakan “Guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Dengan begitu santri pun jika mendapati kebaikan pada gurunya mereka akan mencoba melakukan hal yang lebih dari pendidiknya tersebut. Dan hal yang terakhir adalah jadilah pendidik terbaik, dengan melakukan hal-hal yang telah dipaparkan diatas maka di dalam diri ustadz akan tumbuh karisma dan wibawa, kemudian di dalam diri santri pun akan tumbuh rasa cinta dan kagum sehingga ustadz menjadi idola. Dengan begitu santri pun akan mencintai dan mengikuti apa yang dicintai ustadz, yaitu ‘amar ma’ruf nahyi munkar yang berarti mengerjakan kebaikan dan melarang kemunkaran sebagaimana yang diajarkan Allah dan Rasulullah.

Harapan saya adalah semua guru di Indonesia dapat mengimplementasikan hal-hal yang dicontohkan pendidik pesantren bahkan jauh lebih baik agar siswa dapat memiliki kecerdasan yang seimbang dalam taksonomi Bloom baik kognitif, afektif maupun psikomotor. Dengan begitu perlahan tapi pasti kondisi pendidikan Indonesia akan menjadi jauh lebih baik, bahkan bisa saja model pendidikan ini bisa menjadi contoh dan diterapkan di negara-negara lain.

Yang kedua, hal lain yang dapat dilakukan untuk Indonesia adalah membuat kelompok-kelompok kecil atau komunitas kreatif dan mengedukasi baik bagi anggota maupun bagi masyarakat pada umumnya. Seseorang biasanya akan lebih merasa terpanggil dan senang dalam melakukan suatu kebaikan jika ia berorganisasi atau berkelompok, Allah berfirman yadullah ma’a jama’ah yang artinya “Tangan Allah bersama jama’ah (orang yang berkumpul)”. Allah saja memberikan penghargaan lebih bagi orang yang melakukan shalat berjama’ah berupa ganjaran 27 derajat, artinya manusia mestilah melakukan hubungan horizontal (manusia dengan manusia) selain menjalin hubungan secara vertikal (hamba-tuhan). Setiap orang punya cara yang berbeda dalam mengeksplor dirinya dan berekspresi, namun saya punya harapan untuk mendirikan suatu sanggar yang beranggotakan anak-anak serta remaja. Di dalam sanggar tersebut saya ingin mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti pelatihan menari, membuat hasta karya, bernyanyi bahkan drama sehingga anak-anak maupun remaja dapat bermain sambil belajar. Orang yang mengikuti kegiatan ini pun akan terhindar dari kegiatan-kegiatan lain yang dirasa kurang bermanfaat.

Hal ketiga yang ingin saya lakukan adalah saya ingin menciptakan sekolah-sekolah yang tidak perlu membebankan biaya besar bahkan jika bisa siswa sama sekali tidak perlu dimintai biaya untuk mengikuti pendidikan. Setiap proses pendidikan pasti memerlukan biaya besar untuk operasionalnya, namun bagi saya ada jalan lain yang dapat dilakukan agar dapat menutupi biaya operasional. Sekolah harus berdikari dengan cara melakukan usaha-usaha atau enterpreneur yang kreatif dan besar. Sekolah pun dapat bekerja sama dengan masyarakat di sekitar sekolah. Misalnya sekolah memiliki usaha tambak ikan, atau perkebunan sayur, bahkan bisa saja pengelolaan sampah organik menjadi kompos dan biogas lalu pengelolaan sampah anorganik menjadi daur ulang. Selain menambah income bagi sekolah, usaha ini pun dapat menumbuhkan hubungan yang baik antara sekolah dengan masyarakat (manajemen hubungan masyarakat) serta menjaga kelestarian lingkungan. Sambil menyelam minum air, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Langkah awal yang harus kita lakukan sebagaiamana wasiat K.H. Abdullah Gymnastiar adalah, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal terkecil dan mulailah sejak saat ini. Oleh karena itu lakukanlah 3M ini agar Indonesia menjadi lebih baik. Nothing is imposible. Dan sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Namun semua hal baik ini tidak akan terwujud jika saya hanya bergerak sendiri, butuh waktu yang sangat lama dan tenaga yang sangat besar untuk melakukannya sendiri. Oleh karena itu dalam mewujudkan dan men-sukseskan hal ini dibutuhkan kerjasama dari semua lapisan masyarakat guna menjaga keberlangsungan kegiatan ini agar tetap konsisten dan continue. Indonesia ini milik kita bersama. Ingatlah, aku, kita dan Indonesia kelak akan menggoreskan peradaban. Hidup mahasiswa! Hidup pendidikan Indonesia! Hidup rakyat Indonesia!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.