Negeri dan bangsa ini tidak lahir dari seekor ayam yang sedang bertelur kemudian menetaskaskan pulau dan manusia yang bahagia. Namu, bangsa in lahir dari jiwa-jiwa yang sadar bahwa merdeka bukan sesuatu yang diberi, Melainkan “direbut”.
Tidak seperti kita yang kadang penakut, beraninya hanya merebut logam receh dari mereka yang lemah. Tidak pernah kita berani merebut tambang emas dari tuan yang berkuasa. Keberanian kita sudah tidak sebanding dengan mereka yang rela keluar-masuk hutan, terluka bahkan mati demi menentang bentuk segala penjajahan. Apalagi penjajahan itu berada di negeri tempat mereka lahir, tumbuh, juga jatuh hati, negeri yang kini besar dengan nama Indonesia.
Negara dengan nama besar belum tentu memberikan penghargaan yang besar pula pada pahlawan yang membesarkan namanya. Begitu pula dengan rakyatnya yang bejibun banyaknya, untuk mengenal nama dan jasa pahlawan saja mereka tidak tahu, apalagi berziarah ke makam pahlawan untuk mendoakan dan menabur bunga basah di atas kuburnya. Pantas saja di negara ini tak ada institusi yang mencetak para pahlawan, karena siapa juga yang mau jadi sosok yang tak dihargai.
Negara ini benar-benar dilanda krisis pahlawan. Bahkan untuk jadi pahlawan bagi satu pasien gawat darurat dalam ambulan saja kita sudah enggan. Padahal hanya sekedar memberi lampu sen kiri tanda kita menepi memberi jalan saat kemacetan melanda, dan itu tidak akan memakan waktu seharian.
Tapi dengan rasa tega yang mengebu-gebu merasa setiap orang berhak mendapat jalan di tengah, kita akan bersikukuh jalan di tengah tanpa rela mengalah. Ditambah saya yang hanya mampu mengutuk pikiran sendiri karena enggan bersuara pada yang lain “bapak, ibu, mari kita menepi untuk memberi jalan ambulan terlebih dahulu.” Padahal hanya cukup meminta dengan baik pada pengendara lain, tapi saya tak berani. ‘Sial, sejak kapan aku jadi pengecut macam ini?’
Di tengah krisis kepahlawanan yang melanda negeri ini, masih saja ada pahlawan yang tersisa. Mereka yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Dan benar saja, itu bukan sekedar slogan kemuliaan, tapi memang benar-benar bersih tanpa balas jasa. Teringat cerita seorang senior saya sekaligus teman diskusi tentang beberapa pertanyaan saya yang tidak semuanya mau didengar karena pertanyaan yang terlalu menghujam tajam. Dia pernah mengisi seminar untuk guru guru yang berada di pedalaman Tasikmalaya, sebuah seminar dari kegiatan KKN UPI pada tahun 2014.
Ketika menjadi narasumber, ia menjelaskan sulitnya menjadi guru honorer di Bandung, karena penghargaan secara ekonomi saja hanya berkisar pada angka 300 ribuan. Setelah mengungkapkan nominal upah guru honorer di Bandung, senior saya keheranan. Ia malah melihat raut wajah sumringah dari guru-guru peserta seminar di pedalaman Tasikmalaya itu.
Bagaimana tidak, wajah mereka berseri-seri dan membayangkan menjadi guru di Bandung, ketika ditanya upah pahlawan tanpa tanda jasa tersebut ternyata hanya 100 ribu perbulan. “What the f***, are you kidding me?” Bisa dipastikan bahwa manusia Indonesia yang rela menjalankan undang-undang mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tanpa tanda jasa adalah pahlawan zaman now.
Peringatan hari pahlawan tanggal 10 november tiap tahun tidak lantas mengubah sikap kita menjadi seperti seorang kesatria. Jika yang bertambah hanyalah kepengecutan, saya rasa peringatan hari pahlawan 10 november perlu ditinjau kembali. Karena peringatan hari itu tak mengubah pelajar yang tadinya malas menjadi rajin, tak mengubah penguasa yang cuek pada rakyat menjadi penguasa yang peduli pada kehidupan rakyatnya, juga tak mengubah setiap manusia Indonesia menjadi penjaga Indonesia itu sendiri. Yang ada, sebagaian mereka malah senang mengolok-ngolok.
Pahlawan yang mati tertembak atau terkena bom di arena pertempuran bernasib lebih baik dari mereka yang hidup lama dan tua. Tentu lebih baik mati membela tanah yang dirampas darinya ketimbang hidup lama di tanah merdeka yang tandus, yang tak membela pejuangnya malah lebih sering dibuat sengsara. Tanah yang seharusnya menumbuhkan kebahagiaan bagi semua orang, namun ternyata hanya untuk segelintir tuan-tuan. Yang sampai saat ini kita tak pernah tau siapa mereka?
Pahlawanku sayang pahlawanku malang. “Pahlawan lelah dek” makanya mereka memilih terbaring menjadi tulang belulang, dan tak peduli lagi peperangan yang kita ciptakan. Mereka tenang dengan kecintaanya pada bangsa yang tak pernah mereka lihat bentuknya. Sedang kita takut akan hidup, memilih berebut kuasa dan membusuk di singgasana, memilih curang dalam ujian dan melarat akan makna. Kita adalah pewaris mereka yang berani untuk hidup dan hidup dengan berani. Namun ini lah kami, yang entah masih layakkah disebut penerus manusia manusia berani!