Melacak Hoax Sampai ke Akarnya

64

Ada sedikit rasa bangga ketika keponakan saya (dia SMP kelas 7) tak mau sholat Jumat karena mengerti bahwa seorang muslim yang melaksanakan sholat ‘Id di hari Jumat, dibolehkan tidak melaksanakan sholat Jumat di siang harinya. Ketika saya telusuri, ternyata dia aktif membaca tautan yang sering di-share teman-temannya di Facebook. Bahwa jika sholat ‘id di Hari Jumat memang diringankan dalam Sholat Jumatnya, ini benar itu bukan hoax.

Di sisi lain, sebagai orangtua saya seharusnya bukan hanya mengantisipasi hoax yang mudah dipercaya para remaja, tetapi juga terhadap disinformasi tentang segala hal. Hal kedua tersebut juga cukup meresahkan ketika di-share tanpa identifikasi sumber dan kebenaran beritanya. Bahwa akan sangat lebih baik seorang muslim yang sholat ‘Id di pagi hari Jumat itu, juga disempurnakan dengan sholat Jumat di siang harinya. Bukan hanya hoax yang berbahaya, tetapi disinformasi atau informasi yang salah dan atau kurang lengkap juga cukup berbahaya.

Sebagai sarjana jurusan sejarah, saya hendak mnyampaikan, setidaknya ada dua hal penting tentang identifikasi informasi yang pernah diajarkan saat saya masih kuliah. Pertama adalah heuristik, kedua adalah identifikasi kualitas Hadits (sumber hukum kedua umat muslim). Dua hal ini akan sangat membantu kita saat mencari tahu kebenaran suatu kabar atau informasi.

Heuristik adalah seni dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan suatu penemuan. Menurut Sejarawan Renier, heuristik berasal dari bahasa Yunani “heuriskein” yang berarti menemukan atau memperoleh[1]. Sejarawan Nina Herlina Lubis mendefinisikan heuristik sebagai tahapan / kegiatan menemukan dan menghimpun sumber, informasi, jejak masa lampau[2].

Selanjutnya, tahapan setelah itu adalah kritik sumber, lalu interpretasi atau penafsiran dan terakhir baru penulisan sejarah (historiografi). Tentu saja, masyarakat umum tak perlu repot-repot mempelajari metode penelitian sejarah yang rumit itu. Tapi sebagai guru dan pembaca yang merupakan kaum terpelajar, kita sebaiknya mengerti tahapan menyaring informasi secara hati-hati, agar ketika disampaikan pada masyarakat tidak menimbulkan keresahan seperti beredar cepatnya informasi hoax.

Kedua, yaitu identifikasi kualitas Hadits. Bukan hanya hal-hal umum saja yang sering dipalsukan kebenarannya, jika kita melacak dari masa lalu bahkan sumber hukum agama pun dipalsukan. Ada yang namanya Hadits madruk, atau Hadits palsu. Ada Hadits shahih (benar), dhoif (lemah), dan madruk (palsu). Jika di metode sejarah kita mengenal tahapan heuristik sampai historiografi, dalam hadits kita belajar tentang sanad (kumpulan periwayat Hadits) dan matan (isi Hadits) yang tak boleh bertentangan dengan Al-Qur`an.

Dua hal itulah yang akan menjadikan sebuah hadits akan jelas termasuk shahih, dhoif, ataukah palsu. Jika kita melihat definisinya, hoax adalah Info mengenai kabar atau cerita bohong/palsu yang dibuat dengan unsur kesengajaan agar seolah-olah benar adanya[3]. Sejalan dengan apa yang akan kita bahas dalam artikel ini yaitu melacak hoax sampai ke akarnya.

Andai saja keponakan saya yang masih SMP itu melacak informasi di atas sampai ke sumber paling terpercaya, kebanggaan saya akan sepenuhnya. Dibandingkan hanya sekedar klik-share informasi dari facebook atau media sosial lainnya. Mengapa kebanggaan saya akan sepenuhnya? Setidaknya ia mengecek sumber informasi itu, yang merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi informasi.

Agar dapat memastikan itu hoax, disinformasi atau informasi benar. Informasi hoax, biasanya diawali dengan kata yang memprovokasi. Diawali dengan kata yang mengagetkan atau membuat orang sangat penasaran. Di antara kata-kata itu adalah : ‘Terungkap!’, ‘Awas!’, ‘Ternyata’, ‘Wow!!!’ dan lain sebagainya. Tapi bukan berarti semua kabar yang menggunakan kata-kata itu adalah hoax. Jadi, bagaimanakah cara-cara untuk mengidentifikasi hoax?

Saya kutip dari situs kompas.com, cara identifikasi hoax yang pertama adalah hati-hati dengan judul provokatif. Berita hoax seringkali memberikan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan tuduhan ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax. Berdasarkan ini, apabila menjumpai berita dengan judul provokatif, sebaiknya cari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dari cara seperti itu, setidaknya pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.

Kedua, cermati alamat situs. Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs yang dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi – misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan. Menurut catatan Dewan Pers, terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.

Ketiga, periksa fakta. Dari mana berita berasal? Siapa sumbernya? Apakah berasal dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Sebaiknya jangan lekas percaya apabila informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, atau pengamat. Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subjektif.

Selanjutnya adalah cek keaslian foto. Di era teknologi digital, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.

Terakhir adalah ikut serta di dalam grup diskusi anti-hoax. Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.

Saya sendiri sudah mengikuti salah satu fanpage anti-hoax di Facebook. Sebagai seorang guru, saya tidak boleh memberikan informasi begitu saja pada para siswa. Saya tidak boleh mengkonfirmasi kabar dari siswa secara terburu-buru ketika mereka bertanya. Satu guru memberi hoax, puluhan bahkan ratusan siswa akan tersesat. Hal ini karena guru adalah sosok yang pintar dan tahu banyak hal dalam anggapan para siswanya. Jika para guru atau pengajar mengerti cara-cara menyaring informasi, maka satu generasi akan terlindungi dari pengetahuan-pengetahuan yang keliru.

Satu cerita tentang hoax yang nyaris membuat saya tertawa terbahak. Kemarin kita sempat digegerkan dengan temuan ‘obat dewa’ yaitu pete. Kabar hoax melalui pesan broadcast WhatsApp itu menyebar, seperti kata pepatah : kecepatan hoax lebih dahsyat daripada kecepatan cahaya (300.000km/detik).

Saya yang sudah memiliki bekal dua hal di atas (heuristik dan kritik hadits) itu tentu ragu. Memang benar, pete, jengkol, memiliki kasiat yang baik untuk kesehatan metabolisme. Tapi jika seperti yang diceritakan lewat broadcast tersebut, maka orang bukan mendapat kesembuhan melainkan sakit yang tambah parah. Ketika diselidiki, kita paham bahwa itu hanya salah dengar, dari kata purthier terdengar seperti pete.

Lalu para pegiat hoax memanfaatkan hal itu untuk membohongi masyarakat luas, meski niatnya baik untuk membantu orang dengan obat mujarab berharga murah. Tapi, sekali lagi kita belajar dari pepatah : segala perbuatan dilihat dari niatnya, dan segala niat ditimbang dari seberapa berilmu orang yang melakukannya. Dengan terus belajar dan menuntut ilmu, mudah-mudahan kita mampu memilah mana informasi hoax/palsu dan mana yang shahih (benar).

[1] Lubis, Nina Herlina. (2011). Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Bandung: Masyarakat Sejarawan Cabang Bandung. (Hal. 17)

[2] Lubis, Nina Herlina. (2011). Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Bandung: Masyarakat Sejarawan Cabang Bandung. (Hal. 15)

[3] tirto.id

Nilai kualitas konten