Beberapa hari belakangan ini saya sedang mengalami kesepian akut. Banyak sih faktornya, menikahnya para mantan merupakan salah satunya saja, eh. Makanya, saya memustuskan untuk lari ke Kampung Inggris, Pare, bukan demi belajar bahasa asing melainkan untuk mencari pasangan hidup teman baru. Ya, you know-lah, setelah lulus kuliah dan menjadi pengangguran sejati, pergaulan intim saya cuma sama buku dan laptop. Sad enough! Tetapi mungkin keadaannya akan sedikit berbeda jika Raline Shah pernah masuk ke dalam kehidupan saya. Ya benar, untuk itu sekarang saya sedang membayangkan, bagaimana seandainya Raline Shah pernah menjadi mahasiswa IPAI UPI, bahkan seangkatan dengan saya.
Dulu saya dan teman-teman (angkatan 2012) suka terpaksa makan di warteg Mughni, warung makan dekat kampus yang meski harganya membumi tetapi tak memiliki rasa, alias hambar. Adalah sebuah kemungkinan besar bahwa kami tidak akan merasakan kesengsaraan itu andai Raline Shah adalah teman satu jurusan kami. Dengan hasil kekayaannya yang melimpah berkat ngartis, ngiklan, dan ngemodel, plus sifatnya yang baik hati, tentu ia akan sangat cekatan untuk berinisiatif menggelontorkan sebagian hartanya untuk mentraktir kami, para mustad’afin, di rumah makan yang sedikit lebih manusiawi.
Tidak berhenti sampai di sana. Sebagaimana jamak diketahui, umumnya mahasiswa IPAI berasal dari golongan menengah ke bawah, yang membuat mereka kesulitan untuk berfoya-foya. Kalau pun dapat, kesenangannya sudah cukup terbayarkan saat mereka bisa membeli pakaian KW di Pasar Baru. Oleh karena itu, menurut saya kadar kebahagiaan mereka perlu ditingkatkan yang salah satunya dengan perbanyak melakukan traveling ke berbagai penjuru dunia, dan Raline Shah yang merupakan seorang komisaris independen AirAsia jelas dapat mewujudkan impian tersebut. Ia bisa membawa kami terbang ke Kuala Lumpur Oslo, Berlin, Barcelona, atau London dengan diskon harga sahabat.
Lalu, masalah kelemahan ekonomi ini sebenarnya juga berdampak pada kelancaran aktivitas-aktivitas sosial kami di BEM Himpunan. Sudah menjadi rahasia umum kalau keuangan organisasi kemahasiswaan kami selalu seret. Untuk dapat merealiasasikan satu kegiatan saja (yang agak besar), kami harus pontang-panting mencari dana bantuan ke berbagai lembaga atau LSM. Itu pun sulit cair. Kalau pun ada, biasanya mereka memberikan bantuan dengan hanya memodali produknya, kemudian kami disuruh menjualnya. Tentu akan berbeda “takdirnya” jika Raline Shah menyertai kami. Kecantikan dan kecerdasan yang melekat indah pada dirinya dapat dimanfaatkan sebagai ikon BEM, bahkan Prodi. Cukup dengan hanya membuat video berdurasi beberapa detik saja terus di-posting di IG story-nya yang berisi anjuran berdonasi, saya yakin puluhan bahkan ratusan juta dapat terkumpul dengan sekejap. Bahkan saya punya saran, bagaimana kalau bagian tengah logo BEM itu dibubuhi wajah eloknya Raline Shah. Bayangkan apa yang akan terjadi!
Saya juga mengandaikan jika Raline Shah adalah mahasiswa IPAI yang mana kemungkinan besar ia akan mengenakan hijab, dan ini berarti merupakan suatu harapan baru bagi dunia kesyariahan. Meski mungkin agak berat hati meninggalkan job sebagai duta sampo Pantene (sudahlah, berikan saja pada Anggun C Sasmi) tapi saya yakin, puluhan produk hijab akan langsung menyerbunya. Tidak hanya itu, anak-anak muda pun akan semakin banyak yang mengenakan hijab, sebab mereka melihat bahwa seorang wanita akan tetap dapat terlihat cantik/elegan meski jilbab menggantung di kepalanya.
Berbicara soal penampilan, saya jadi teringat anak-anak jurusan MRL dan MPP yang memang sangat mengutamakan keindahan fisik (astagfirullah jangan membayangkan yang negatif-negatif dong). Memang, raga mereka adalah yang terbaik di seantero FPIPS raya. Mereka cantik, tampan, dan proporsional ––dengan sedikit pengecualian. Berbeda dengan umumnya anak IPAI yang, ah sudahlah. Lain halnya jika Raline Shah ada di kubu kami. Saya yakin, mereka sudah tak berani lagi untuk petantang-petenteng, membunyikan sepatu haknya keras-keras. Cukup dengan hanya merasakan aura kehadiran Raline saja, pasti mereka langsung berputar arah, minder sambil menggerutu di kamar mandi.
Tapi sekarang Raline Shah memilih tinggal di Malaysia, yang konon merupakan negara yang gemar merebut apa-apa kepunyaan Indonesia, termasuk wanitanya. Seharusnya kita dapat belajar dari kasus “tercurinya” artis cantik nan imut, Laudya Cyntya Bella, oleh seorang pengusaha Aisyalam Malaysia. Oleh karena itu, andai Raline Shah adalah mahasiswa IPAI, maka saya dapat menduga kuat kalau dia akan lebih memilih menikah dengan teman sejurusan. Sebagaimana yang lazim terjadi di IPAI.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan pendekatan statement Cing Abdel yang mengatakan bahwa setiap nama pasti memiliki filosofinya. Adapun Raline Shah berarti, RAsakanlah LIbasaN Emanasi cintaku meski sekali SHAHja. Wkwk.