Saya tiba-tiba membayangkan jikalau di masa Rasulullah sudah ada telpon genggam super canggih seperti saat ini. Apakah ketika memang di masa itu gawai sudah ada dengan berbagai macam keunggulan dan dibanderol dengan harga miring dan para sahabat yang punya akan menggunakannya dengan seenaknya? Saya sangat menyangsikannya.
Paling-paling, mereka akan menggunakan alat tersebut untuk menunjang kelancaran dakwah Islam yang saat itu tantangannya super duper banyak ketimbang saat ini. Misalnya saja untuk saling berkabar bahwa musuh sedang menuju ke lembah anu agar pasukan perang muslim bersiap-siap, atau sebagai media bertanya kepada Rasul kalau-kalau ada permasalahan pelik yang menuntut untuk diselesaikan sementara mereka sedang tidak dalam satu majelis dengan kekasih Allah itu.
Yakin deh, pasti digunakan untuk hal-hal berfaedah wungkul. Saya percaya tingkat keimanan mereka yang tinggi mampu menjadi benteng kokoh untuk menjauhkan mereka dari hal-hal yang percuma tak ada nilainya. Apalagi sekadar mengorbankan shalat jum’at untuk main HP, men-scroll instagram mantan yang jelas-jelas sudah memilih lelaki/perempuan lain.
Tulisan ini lahir dari pengamatan saya atas fenomena banyaknya jama’ah shalat jum’at hampir di setiap masjid yang saat khatib berkhutbah justru mereka malah sibuk memainkan gawai mereka. Bukannya fokus mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan saat khutbah, mereka justru sibuk sendiri berusaha menghilangkan kejenuhan dengan memantengi layar besar smartphone-nya.
Saya tidak adil sebenarnya menyebutkan ini terjadi hampir di setiap masjid padahal hanya melihatnya secara langsung di beberapa masjid saja: masjid dekat kontrakan, masjid Al-Furqon dan beberapa masjid lain yang sempat saya shalat jum’at di sana. Tapi, barangkali ini jadi budaya umum di berbagai masjid. Menjadi kebiasaan yang memasyarakat dan mengjangkiti jama’ah shalat jum’at di mana pun berada. Seolah-olah karena seringnya dilakukan, jadi melunturkan kesakralan shalat Jum’at itu sendiri yang padahal melarang orang untuk berbicara saja berdasarkan hadits yang sering dibacakan sebelum shalat jum’at dimulai adalah lagha alias sia-sia shalat jum’atnya. Alih-alih mendapat segepok pahala, justru boleh jadi menuai sekeranjang dosa.
Dua khutbah itu bukannya pengganti dua rakaat shalat yang harusnya dimaksimalkan semaksimal-maksimalnya. Ini malah dihabiskan buat mantengin layar ponsel yang padahal begitu-begitu saja. Notifikasi whatsapp dan line dari kekasih juga tak ada karena tidak punya. Ah, rugi men. Mending juga dengerin khutbah dari khatib. Ya, meskipun kadang-kadang isi khutbahnya juga monoton dan kepanjangan yang menyebabkan jama’ah terseret arus kantuk yang luar biasa deras.
. . .
Hampir di setiap shalat jum’at, saya melihat ada peserta sidang jum’at yang begitu nikmat terlelap dalam tidurnya karena terninabobokan dengan isi khutbah yang itu-itu saja. Seolah-olah mereka penderita imsomnia akut yang baru menemukan obat tidur yang luar biasa mujarab. Sekali obat berupa petuh-petuah dari khatib dikonsumsi, sontak mata mereka terpejam sulit dibuka. Bangun-bangun ketika iqamat dikumandangkan.
Saya tak tahu pasti apa hukum bagi shalat Jum’at yang seperti ini. Apalagi rutin dilakukan setiap minggunya. Gitu lagi gitu lagi. Dan mungkin ini juga harus jadi bahan evaluasi bagi para khatib agar isi khatibnya disesuaikan dengan jama’ahnya. Terlebih lagi jika ini di wilayah masjid kampus yang biasanya menjelang pukul 1 ada kelas lagi. Kan, jama’ahnya yang mayoritas mahasiswa jadi tidak khusyu karena terus menerus melihat jam tangan. “Kok lama banget sih khutbahnya?” Begitu kurang lebih umpatan yang kadang diucapkan lewat mulut atau sekadar terbersit dalam hati.
Mengobrol sih enggak, dan ini serasa sudah terlepas dari berbuat kesia-kesiaan. Namun melakukan hal lain dengan membuka media sosial, membalas sms, sampai bermain game, kan ini parah banget, enggak ketulungan. Ini mau shalat jum’at atau mau nongkrong di masjid? Please deh, minimal selama shalat jum’at berlangsung, ponselnya mbok disimpan dulu.
Peupeuriheun sepanjang waktu kita sulit berlepas diri darinya. Bangun tidur bukannya do’a malam ngecek apakah ada komentar di postingan terakhir Instagram atau ada pesan masuk ke WA atau line. Menjelang tidur, bermesraan dulu dengan HP sembari mendengarkan musik bahkan hingga ketiduran, berdo’a mah enggak, kelewat begitu saja. Hidup kita hari ini terlalu HP centris. Ya, minimal saat ibadah seminggu sekali ini berlangsung, tunda heula eta HP dina saku atawa kantong heg di non aktifkeun atawa di mode silent.
Jika dalam sebuah hadits Rasul dikatakan bahwa bermain-main kerikil saja ditidakbolehkan, bagaimana ceritanya dengan bermain game saat khutbah berlangsung apalagi dengan mempemainkan anak orang lewat modus yang dilancarkan lewat personal chat? Duh, ampun.
Jika untuk menggerak-gerakan biji tasbih sebagai media berdzikir juga dilarang karena ibadah shalat jum’at juga bagian dari dzikir itu sendiri, maka apa jadinya seseorang yang sibuk membaca caption/status media sosial dan mengomentarinya? Tak takutkah dengan ancaman kesia-siaan yang diperingatkan Rasulullah sejak jauh-jauh hari berkaitan dengan saat khutbah berlangsung? Atau terlalu bebalkah hati kita untuk menerima petunjuk itu sebagai sebuah panduan beribadah yang jelas-jelas benar adanya?
Terlepas dari kondisi jama’ah yang berbeda-beda tentang ilmu mengenai kaifiyat shalat jum’at, saya merasa perlu ada sosialisasi secara kontinu mengenai hal-hal yang berkaitan erat dengan tuntutan shalat yang dilakukan seminggu sekali ini. Sesekali mungkin khatib harus membawakan konten khutbah yang isinya tentang kekeliruan dan kesalahan umum dan khusus yang lazim terjadi ketika shalat jum’at. Ancaman-ancaman bagi yang mengabaikan aturan-aturan selama pelaksanaan ibadah ini dibeberkan untuk mengetuk hati para jama’ah. Bagi yang sudah paham hal ini jadi pengingat, sementara bagi yang belum tahu, ini jadi semacam ilmu baru sehingga shalat jum’at selanjutnya lebih baik lagi dan menghindari perkara-perkara yang memang sudah seharusnya ditinggalkan karena jadi pembatal ibadah ini.
Selain lewat media khutbah itu sendiri dalam menyampaikan seputar pelaksanaan ibadah shalat jum’at yang benar, masjid melalui DKM nya pun harus sering membahas ini dalam kajian rutin. Tak lain ini bertujuan untuk kembali mengingatkan sembari juga memberi tahu bahwa setiap ibadah terkhusus dalam hal ini shalat jum’at memiliki panduan-panduan khusus yang tak boleh diabaikan begitu saja. Produk diskusi berupa release tulisannya pun bisa ditempel di mading masjid karena nyatanya manusia gudangnya khilaf dan lupa.
. . .
Kita sudah barang tentu tak ingin ibadah yang selama ini dilakukan tak memiliki nilai guna dan mendatangkan feedback berupa ganjaran dari Allah. Karena hal itu hanya menyebabkan amal yang dikerjakan berbalas kelelahan semata, tidak ada poin plus yang bisa ditabung sebagai catatan amal baik yang bermanfaat ketika masa penghisaban kelak tiba. Ibadah hendaknya ikhlas hanya bertumpu pada mengharap rida-Nya.
Namun saya kira, iming-iming dari Allah tentang pahala bagi seseorang yang mengerjakan ibadah tertentu bukan tanpa maksud. Itu untuk memotivasi manusia yang dasarnya horeaman. Dibibita oge meni hararese ari kana kahadean mah, komo ieu teu dibubungah ku surga jeung teu disingsieunan ku naraka anu panasna kacida.
Untuk ikhlas 100% tanpa mengharap surga dan takut neraka seperti halnya Rabi’ah al-Adawiyah barangkali harus melalui proses latihan tanpa henti. Latihan paling dasar barangkali berupaya ikhlas meskipun masih tetap tergiur dengan janji-janji Allah tentang pahala. Sah-sah saja walau tiap hari kualitas ibadah kita harus meningkat.
Besok hari Jum’at, berarti kewajiban shalat jum’at bagi kaum laki-laki—meskipun kalau yang perempuan mau bergabung juga tidak dilarang asal tak mengganggu—akan kembali dilaksanakan. Hayu ah, jangan bawa-bawa HP ke masjid! Atau kalau masih dalam rangka beraktivitas (kerja, mencari ilmu, dan lainnya) dan sulit menyimpan HP di mana saja, simpanlah di tempat yang aman dan pasang mode pesawat atau kalau perlu dinonaktifkan. Mari bertahap beribadah secara benar dan berkonsentrasi pada perbaikan kadarnya supaya kian baik dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan seterusnya.