Antara Menegakkan Syariat atau Membela Hak Asasi Manusia

syariat-breakpos.com

Setelah berlangsungnya aksi bela Islam season dua, Ahok menjadi mahluk Tuhan yang paling seksi di Ibu Pertiwi. Hampir setiap hari manusia yang berinisial BTP ini selalu terpampang dalam redaksi berita, baik elektronik maupun cetak. Tentu saja pembacanya selalu banyak. Dan menurut perkiraan saya, mayoritas pembacanya adalah muslim (Ya iyalah, mayoritas penduduk Indonesia kan muslim), termasuk saya yang sejak KTP saya belum jadi pun sudah beragama Islam. Namun minggu-minggu ini perhatian saya mulai teralihkan dengan informasi mengenai proyek pembangunan Bandara Internasional di Sukamulya Majalengka. Pemeran baru dengan cerita lama, perampasan lahan oleh pemerintah terhadap rakyat.

Sebagai sarjana dari program studi Pendidikan Agama Islam di kampus non Islam (kampus umum), saya merasa sedikit tergugah (banyaknya mah tidak) untuk berpartisipasi dalam menegakkan syariat dengan membela Islam jilid 3 tanggal 2 Desember nanti. Namun ketika hasrat itu mulai tumbuh, datang semangat baru untuk membantu para petani agar mendapatkan keadilan atas hak-hak mereka. Ini lah yang membuat saya galau kronis. Jika saya bisa menggunakan jurus kagebunshin no jutsu, atau mendapatkan karomah seperti Dimas Kanjeng, saya akan menggandakan diri saya agar bisa melibatkan diri di dua fenomena itu.

Bayangkan, antara Syariat atau Hak Asasi Manusia. Jika anda sekalian jadi saya, mana yang akan anda pilih?

Yang saya pahami, syariat itu berasal dari bahasa Arab “syari'” yang berarti jalan. Syariat Islam berarti jalan yang ditempuh oleh seorang muslim dalam mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Syariat berisikan aturan-aturan yang harus dipatuhi dalam menjalani kehidupan. Lalu, apa tujuan Tuhan menurunkan syariat Islam? Untuk menegakkan khilafah? Mendirikan negara Islam? Hadeeuuh

Dalam agama Islam terdapat istilah “Maqashid Syari’ah”, yaitu tujuan-tujuan diturunkannya syariat. Isinya memuat hal-hal yang bisa terjaga oleh seorang muslim ketika melaksanakan syariat Islam, yaitu: “Hifdz al-Diin” (memelihara agama), Hifdz al-Nafs (Memelihara Jiwa), Hifdz al-‘Aql (Memelihara Akal), Hifdz al-Nasb (Memelihara Keturunan), dan Hifdz al-Maal (Memelihara Harta). Jika kita baca secara kasat mata, poin-poin dari Maqashid Syari’ah ini termuat juga dalam butiran Hak Asasi Manusia. Mungkinkah penyusunan konsep HAM ini merupakan agenda terselubung dari para jihadis?

Pertama Hifdz al-Din atau memelihara agama. Saya berpendapat bahwa memelihara agama disini adalah menjaga kemurnian ajaran agama dari kekeliruan tindakan penganut agama. Poin ini sejalan dengan semangat HAM yang menyatakan kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Tidak dibenarkan membenci kepada siapa pun dengan alasan berbeda agama, karena sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan kebencian.

Hifdz al-Nafs atau memelihara jiwa, sebagaimana HAM mengungkapkan hak untuk hidup. Menurut saya hidup disini bukan sekedar hidup, melainkan hidup beneran. Hidup yang terdiri dari raga, jiwa, dan ruh.

Ketiga Hidz al-‘Aql atau memelihara akal. Konsep HAM menjelaskan mengenai kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Tentu saja bebas disini tidak sebebas-bebasnya, tapi dibatasi oleh aturan. Meskipun aturannya masih tidak menyeluruh atau bahkan ambigu, minimalnya ada ruang-lah untuk berekspresi.

Memelihara keturunan (Hifdz al-Nasb) juga tertera dalam redaksi “Hak untuk berkeluarga”. Meski ada sedikit perbedaan dalam konteksnya, seperti sebagian ulama yang melarang muslim menikah dengan selain muslim lagi, namun menurut saya intinya sudah cukup mewakili.

Kemudian poin terakhir dari Maqashid Syariah menyatakan tentang harta kepemilikan (Hifdz al-Maal). Saya rasa, konsep HAM juga mencatat mengenai hak untuk memiliki. Setiap orang boleh memiliki apa pun, selama dimiliki dengan cara yang baik dan benar serta untuk sesuatu yang baik dan benar.

Kontemplasi saya mengenai hubungan antara Maqashid Syariah dan Hak Asasi Manusia ini menghasilkan hipotesis bahwa antara semangat menegakkan Syariat dan membela HAM itu bisa berjalan beriringan. Apakah kedua konsep tersebut sama? Ya jelas beda-lah. Namanya saja sudah beda, apalagi kalau anda mengkaji lebih jauh. Tapi, apakah perbedaan menjadi alasan untuk selalu tidak beriringan?

Dari renungan di atas juga saya menyimpulkan bahwa para petani dan mereka yang berjuang membela haknya di Sukamulya Majalengka pun merupakan sebagian dari bentuk Jihad. Terlepas dari isu permainan atau adanya upaya untuk memperlambat program pemerintah, saya menilai bahwa perlakuan pemerintah memang tidak adil. Eh maaf, bukankah adil itu adalah sesuai dengan keinginan kita?

Terakhir, saya sudah memutuskan, menentukan pilihan untuk membela para petani di Sukamulya. Karena saya seorang kuli di sekolah yang bertanggung jawab kepada anak didiknya sehingga tidak bisa bolos, maka saya akan membantu dengan mengeluarkan senjata terhebat yang dimiliki seorang mukmin. Do’a.

Apa? Anda tidak percaya kekuatan do’a? Katanya anda pembela Islam kaffah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.