Apakah Benar Dunia Pendidikan Kita Menganut Paham Cabulism Complexity?

60
5/5 (1)

KALEM.ID Selama budaya patriarki di suatu negara masih mengakar kuat, selama itulah kekerasan seksual terus ada danberlipat ganda.

Kita semua tahu kasus yang menimpa Ibu Nuril, seorang guru di SMAN 7 Mataram yang didakwa melanggar Pasal 27 ayat (1) Juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meski pada faktanya banyak suara yang membela ibu Nuril baik secara langsung atau melalui tagar-tagar media sosial, namun realitanya sebagaimana dilansir banyak media, ibu Nuril tetap didakwa jaksa dengan ancaman hukum selama enam tahun penjara serta kewajiban membayar uang sebesar Rp. 1Miliar.

Sudah tidak perlu kita membahasnya lagi betapa malang nasib Ibu Nuril, kalau memang hukum tidak bisa dibayar dengan rasa belas kasihan, buat apa kita memelas-melas kepada hakim? Lagi pula kasus ini juga bukan perkara pencemaran nama baik (nama baik) amat. Terlepas dari soal siapa yang menang dan kalah dalam pengadilan, yang pasti hanya satu, penyebab kasus ini adalah sexual harassement.

Kita tinggal sebentar soal Ibu Nuril, pada Juni 2017 seorang mahasiswi UGM bernama Aghni melaporkan kasus pemerkosaan yang menimpa dirinya. Tapi sialnya, tidak ada tercium sama sekali aroma keadilan dari jajaran birokrasi kampus. Bukan hanya itu, sebuah media mengabarkan bahwa Aghni selaku korban malah mendapatkan nilai C pada mata kuliah KKN, dimana kasus pemerkosaan yang menimpanya terjadi ketika pelaksanaan KKN.

Hingga September 2018 kasus Aghni belum jelas arahnya, pihak kampus yang telah mengeluarkan surat keputusan sebagai tindak lanjut dari laporan Aghni sejak 2017 belum juga ada langkah penyelesaian kasus yang signifikan. Lalu ramailah kembali media sosial dengan berbagai macam tautan petisi online serta tentu tagar-tagar bela Aghni.

Satu lagi, meski memang jika ditulis ringkas semua kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kurun waktu 2018 saja akan memakan banyak halaman dan hanya membuang-buang kata-kata, izinkan sekali lagi saya memberitahu satu kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di UIN Bandung. Jika kasus Aghni adalah antara mahasiswa dengan mahasiswi, maka dugaan pelecehan seksual di UIN SGD Bandung melibatkan seorang oknum dosen kepada mahasiswinya.

Kabar ini mulai ramai belum begitu lama, tepatnya pada bulan November 2018. Padahal kejadiannya sudah sejak 2016 dimana seorang mahasiswi yang berinisial A hendak melakukan bimbingan skripsi kepada terduga dosen berinisial T, namun bukanlah bimbingan akademis yang didapat melainkan perlakuan tidak sopan terhadapnya. Meski hanya sekedar dugaan, pihak universitas dikabarkan tengah membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus tersebut.

Dari beberapa paragraf di atas yang hampir semuanya menjelaskan fakta terhadap kasus kekerasan seksual, adakah anda melihat sebuah benang merah yang menghubungkan satu kasus dengan kasus lainnya? Antara Ibu Nuril, Aghni dan mahasiswi UIN Bandung berinisial A. Betul sekali, ketiga kasus kekerasan seksual yang saya angkat di awal, semuanya terjadi di dunia pendidikan.

Ibu Nuril SMAN 7 Mataram, Aghni Universitas Gajah Mada dan terakhir UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Entah bagaimana, meskipun kekerasan seksual dimana pun itu adalah tindakan yang biadab, tak bisa dipungkiri yang terjadi di dunia pendidikan justru lebih sulit dipahami, sehingga membuat saya begitu tak habis pikir.

Yang salah dari sistem pendidikan kita ini apa? Kalau tujuannya saja sudah semulia mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan. Tiga domain teori Taksonomi Bloom sudah dimiliki Indonesia dalam tujuan pendidikan nasionalnya, kognitif, afektif dan psikomotor.

Lantas kenapa membedakan yang mana hak dan kewajiban saja masih belepotan? Para pelaku pendidikanlah justru yang melakukan kekerasan seksual, mereka yang terdidik itu jugalah yang kemudian memiliki kebebasan menuntut yang sebenarnya menjadi korban dan mendistorsi statusnya menjadi terdakwa, hingga harus membayar denda sebesar kelipatan 250 gajinya selama satu bulan.

Tentu hal ini bukanlah angin segar. Meski membutuhkan waktu yang bergitu panjang untuk menyelesaikan masalah dalam dunia pendidikan, namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil. Dan kewajiban itu ada pada kita, kenapa kita? Ya iya kita. Memangnya kamu mau bebankan kewajiban ini kepada siapa? Pemerintah? Sudahlah, jauhi ketergantungan kita terhadap pemerintah selain karena butuh KTP dan surat nikah.

Kita inilah yang paling dekat dengan pendidikan, baik itu yang menjadi siswa, mahasiswa, guru, dosen, tenaga kependidikan, sampai masyarakat sekitar. Karena menurut Zakiah Daradjat pakar Pendidikan Islam Indonesia, segala sesuatu yang nampak baik manusia maupun benda, atau hal lain yangmemiliki hubungan dengan seseorang seperti agama, itulah yang kemudian dinamakan lingkungan. Artinya, kita ini sebagai manusia adalah bagian dari lingkungan pendidikan.

Bagaimana dan apa yang bisa kita lakukan terhadap kasus kekerasan seksual? Sekurang-kurangnya adalah memahami diri sendiri tentang batasan antara hak dan kewajiban. Setiap orang pasti punya hak dan kewajiban sesuai kadarnya masing-masing. Maka, itulah dulu minimal yang harus dipahami oleh lingkungan pendidikan. Sebelum jauh sekolah atau kampus harus memberikan muatan materi sexual education kepada para pelajar yang sampai saat ini masih pelik dan penuh kontroversi.

Atau cara lain, dengan mengendalikan superioritas kelaki-lakian terhadap perempuan, karena bisa jadi paradigma seperti itu yangmenyebabkan tindakan-tindakan pelecehan seksual terjadi. Bahwa menganggap perempuan itu rendah, tidak punya kekuatan, lazim disakiti dan pantas dibuat menangis juga bagian kecil dari paradigma yang perlu diluruskan.

Padahal kalau mau taruhan, siapa yang paling menderita kalau malam minggu tidak bisa keluar rumah untuk sekedar memandangi indahnya malam sambil membeli jagung bakar bersama kekasih di pinggir jalan? Jawabannya, ya para lelaki. Cuma saja mereka itu pandai menangis tanpa air mata, pintar menderita tanpa gelagat. Bukan begitu Al-Bandani?

Nilai kualitas konten