KALEM.ID – “Kita mesti bersyukur, konflik ini tidak sampai memunculkan gerakan-gerakan separatisme, makar dan atau naudzubillah perang senjata.”
Kata siapa fanatisme hanya dimiliki oleh sepakbola dan agama, buktinya negara kita punya fanatisme politik. Adalah Cebong dan Kampret, keudua istilah ini lahir dari kondisi politik Indonesia yang dalam waktu kurang dari satu tahun kedepan akan dihelat Pemilihan Presiden. Sudah barang tentu kita semua mafhum siapa sih dua pasangan yang akan bertarung pada tahun 2019 nanti.
Cebong adalah sebutan untuk pendukung Jokowi, sedang Kampret adalah istilah bagi para pendukung Parabowo. Istilah Cebong dan Kampret mencuat sejak perhelatan politik 2014. Sejarahnya, sebutan cebong melekat kepada pendukung Jokowi sejak Jokowi pernah tertangkap kamera bersama beberapa ekor katak di Istana Negara, yang kemudian diplesetkan bahwa pendukung Jokowi adalah katak yang belum bermetamorfosis. Kalau istilah kampret, sejarahnya ketika nama koalisi Prabowo yakni Koalisi Merah Putih, atau disingkat Ka-Em-Pe (KMP), diplesetkan menjadi Ka-Em-Pret.
Cebong dan kampret, mereka biasanya beraktifitas di jejaring media sosial, baik Facebook, Instagram atau Twitter. Konten-konten yang mereka hasilkan biasanya meme, kalau bukan meme yang sifatnya dukungan untuk pasangan presiden dan wapres mereka, ya tidak jauh konten lainnya pasti meme untuk menjatuhkan paslon selain yang mereka dukung.
Contohnya, ketika kampret bikin konten tentang “who is Prabowo?” mereka akan memasang foto tamvan Prabowo muda, dengan ditambah beberapa teks yang kesannya ‘menendang’ pihak asing dan aseng. Nah, para cebong dan kampret kalau konten model dukungan kayak tadi itu sudah habis stoknya, mulai deh divisi meme sarkas akan beroperasi.
Apa sih operasi-operasi yang dilakukan oleh divisi tersebut, salah satu operasi mereka yang sudah menjadi rahasia umum adalah mencari informasi yang berkaitan dengan kepribadian lawan politik mereka, baik itu keluarga, agama, cara bicara, sampai rutinitas shalat saja bisa dilacak. Kemudian setelah informasi berupa foto atau video itu mereka dapat, tinggal foto tersebut diberi teks yang pastinya teks itu tidak sesuai dengan konteks sebenarnya si foto. Inilah yang disebut-sebut hoax
Misal ini mah misal, ada foto Roy Suryo lagi diem di pick up mobil perabotan yang suka keliling-keliling komplek, nah foto itu disebar oleh lawan politik Roy Suryo dengan penjelasan bahwa sekarang, kader Partai Demokrat tersebut sudah beralih profesi menjadi tukang perabot. Padahal, foto tersebut diambil ketika Pak Roy Suryo sedang pindahan dari kantornya yang dulu ke kantornya yang sekarang. Kita itu harus huznudzon loh sesama anak bangsa. Preeeetttt
Selain perang cibiran di medsos, pengaruh cebong kampret juga bisa dibawa dalam kehidupan nyata, salah satu contohnya adalah kasus persekusi pada seorang ibu di bundaran HI, dimana pelakunya adalah kampret dan korbannya adalah cebong. Hal ini menunjukkan bahwa peran politik dalam memecah kerukunan bermasyarakat, menciptakan kerusuhan, dan atau memutus tali sosial sangatlah mungkin.
Dalam jurnal Sosiologi Reflektif, Didit Rudiansyah menyebut bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konflik adalah Etnopolitic. Dalam jurnalnya, Didit meneliti konflik yang terjadi di Ambon, ternyata eh ternyata diketahui bahwa dari empat penyebab yang ditulisnya sebagai pemicu konflik, salah satunya adalah urusan politik.
Konflik sosial sebagaimana konflik cebong-kampret merupakan salah satu dari sekian dampak yang disebabkan oleh perbedaan pandangan politik, lalu bagus atau tidak? Tentu tidak bagus, tetapi hal itu wajar. Janganlah jauh-jauh, fakta berpisahnya Timor-Timur dari Indonesia juga disebabkan oleh campur tangan politik Amerika Serikat, penelitian Ita Mutiara Dewi yang berjudul Konflik dan Disintegrasi di Indonsia menyebut, bahwa setelah lepasnya perjanjian damai RI-GAM di Helsinki, Finlandia. Wilayah Timor-Timur merupakan wilayah yang sangat disoroti oleh Australia dengan satelit Amerika di kawasan Asia-Pasifik.
Untungnya, Indonesia masih dilindungi oleh media sosial, sehingga ketika pertentangan politik sedang memanas, maka media sosial menjadi wadah untuk menyalurkan luapan-luapan emosi. Lihat saja betapa banyak komentar terhadap akun-akun buzzer para politisi, betapa sering Twitter disibukkan dengan trending yang berkaitan dengan tagar-tagaran, dan betapa meribunya meme-meme politik yang dihasilkan sepanjang tahun 2018.
Kita mesti bersyukur, konflik ini tidak sampai memunculkan gerakan-gerakan separatisme, makar dan atau naudzubillah perang senjata. Itu semua katakan saja berkat Instagram, Facebook, Twitter dan juga Path, eh Path udah tutup ding.
Mungkin, mungkin loh ya ini. Diantara para cebong dan kampret juga ada yang berkeinginan untuk menciptakan suasana politik yang damai, adem tanpa keributan baik di medsos ataupun di dunia nyata. Tapi sayang, politik tanpa keributan, tanpa goreng menggoreng isu, bagaikan sebuah padang pasir tanpa oase, kering dan hampir mati. Makanya kenapa jarang sekali ada satu momen yang memperlihatkan kedamaian antara cebong dan kampret meski hanya dalam sejepret foto.
Jika dalam sepakbola kita tau siapa salah dua kelompok supporter yang saling bentrok hampir setiap kali mereka berpapasan, sebut saja Viking dan The Jak. Meski begitu, dalam suatu kasus pernah terjadi, ketika Ricko salah satu bobotoh Persib yang meninggal akibat kesalahpahaman, Viking dan The Jak yang ada di perbatasan tertangkap kamera sedang melakukan aksi perdamaian, ujaran-ujaran persaudaraan dan hal-hal yang berbau persatuan.
Berbeda halnya dengan cebong dan kampret, mereka tak kenal batasan, baik usia atau bahkan status sosial sekalipun. Kecuali jika misalnya yang menjadi kampretnya si cebong adalah bosnya sendiri di kantor, atau sebaliknya yang menjadi cebongnya si kampret adalah atasannya sendiri di perusahaan tempat cebong bekerja. Mau bagaimana lagi? Paling cebong/kampret hanya bisa nyinyir.
Jika anda baru tahu, sebelum muncul istilah cebong dan kampret. Pada perhelatan politik 2014 lalu, istilah untuk kedua ini adalah Panasbung dan Panastak. Panasbung adalah akronim dari pasukan nasi bungkus, sedangkan panastak adalah kependekan dari pasukan nasi kotak. Ya, seiring berjalannya waktu, penamaan kelompok pendukung politik dirubah agar lebih elegan, agar tidak terkesan pragmatis.
Padahal, dalam praktiknya, cebong dan kampret yang bersinggungan langsung dengan tim sukses resmi pasangan politik akan setidaknya dapet begian, entah itu bagian yang sifatnya finansial, struktural pemerintahan, maupun tender-tender kecil. Lalu bagaimana cebong dan kampret yang ibaratnya hanya jadi pasukan perang atau lebih ekstrem dibilang martir politik, mereka dapat apa? Setidak-tidaknya jika tak dapat uang atau jabatan, mereka yang di bawah-bawah ini minimal-minimalnya dapat makan plus siraman rohani.
Yah, meski perjalanan politik di Indonesia begitu menggelikan hingga melahirkan konflik-konflik sosial yang juga begitu menjemukan, namun harus diketahui bahwa konflik tak selalu berujung negatif. Contohnya tahun 1998, ketika sekelompok masyarakat dan mahasiswa turun untuk menuntut reformasi kepada pemerintah orde baru. Hasilnya, Indonesia tak lagi menganut sistem dwi-fungsi ABRI, diamandemennya konstitusi, salah satunya tentang pemilihan presiden dalam forum MPR, dan tegaknya supremasi hukum. Meski banyak korban yang berguguran dalam konflik tersebut, diakui atau tidak, negara jauh lebih baik setelahnya.
Ini juga yang terjadi dalam konflik cebong-kampret, salah satu dampak positif yang timbul dari konflik ini adalah dampak ekonomi. Bagaimana tidak, negara kita sejak terjadinya konflik cebong-kampret, pabrik konveksi banyak membuka peluang kerja, belum lagi bertambahnya UMKM yang menjual berbagai macam kuota dari persaingan bisnis provider. Sungguh ini semua adalah berkah dari cebong-kampret.
Terimakasih cebong dan kampret, we wish you all the best