KALEM.ID – “Untuk mengatakan bahwa membunuh adalah tindakan yang salah dan berdosa, seharusnya kita tak perlu mencari-cari dalil dari kitab suci”
Belum usai perundungan soal terjadinya kerusuhan di Mako Brimob yang menelan enam orang korban, dimana lima dari total korban adalah anggota kepolisian dan satu lainnya adalah narapidana teroris. Indonesia sudah dibuat kembali bersedih karena bom di Surabaya, tak tanggung-tanggung tiga Gereja ‘meledak’ dalam waktu yang bersamaan.
Seakan tanpa diberi jeda untuk bernafas, ledakkan susulan kembali terjadi di Rusunawa Wonocolo Sidoardjo. Setidaknya menurut berita yang beredar, ada sekitar lima kali ledakkan yang terjadi di Sidoardjo. Bersamaan dengan ledakkan-ledakkan yang terjadi, seorang pria yang diduga anggota ISIS telah melakukan aksi pembunuhan terhadap seorang pria di Paris.
Jika ditotal dari kasus pengeboman yang terjadi di Indonesia saja, sudah ada 17 nyawa yang melayang, belum ditambah dengan korban kerusuhan di Mako Brimob. Terlepas dari spekulasi sebagian orang bahwa kasus teror ini terjadi di tahun politik dan menghubungkan sejumlah kasus dengan dalih konspirasi. Sebagai seorang manusia, jangankan melihat manusia lain terbunuh, melihat sesamanya merasa sakit saja, kita mestinya ikut merasakan hal yang sama, hal demikian sering kita sebut sebagai empati.
Tak ada yang sepakat memang bahwa tindakan terorisme merupakan langkah yang sesuai dengan aturan agama. Namun, time line media sosial kita lebih banyak dipenuhi dengan komentar yang begitu tidak bernyawa, yakni mengaitkan peristiwa terorisme dengan kegandrungan politik praktis. Mengatakan bahwa kasus-kasus ini adalah pengalihan isu, bukti lemahnya pemerintah dan lain sebagainya.
Komentar seperti itu, setidaknya telah membuktikan bahwa rasa empati sudah tidak dimiliki oleh sebagian orang di Indonesia. Selain dari membuat mata dan telinga menjadi tambah bengkak saja, komentar yang begitu malah membuat benak saya berkata “Jika berempati saja tak bisa, bagaimana anda akan menolong.” Sedangkan sebagian orang yang saya maksud adalah mereka yang sangat berambisi membantu korban tragedi kemanusiaan di lintas negara sana.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa perilaku tolong menolong merupakan buah dari empati. Tapi, pada praktiknya, menolong orang lain demi kebaikan orang yang ditolong, memang berbeda dengan hanya merasakan rasa sakit atas musibah yang menimpa orang lain. Namun beberapa penelitian mengatakan bahwa alturisme atau perbuatan yang berorientasi kepada kebaikan orang lain (menolong) memiliki hubungan positif dengan rasa empati.
Kajian tentang hubungan antara rasa empati dengan perilaku alturisme merupakan kajian prososial yang kerap kali luput dari perhatian kita. Empati merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang akan memiliki perilaku alturisme, hal tersebut dikemukakan oleh Dayaksini dan Hudaimah dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sosial.
Tapi kemudian beberapa orang telah kadung membanding-bandingkan tragedi bom di Surabaya dengan perhatian terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Al-Quds, Palestina dan daerah-daerah Timur Tengah lainnya. Menurutnya, bom di Surabaya hanyalah sandiwara yang dilakukan agar perhatian masyarakat luput terhadap musibah yang menimpa rakyat Plestina dan Al-Quds.
Fakta tersebut setidaknya membuat saya bertanya-tanya, apa sebetulnya yang menjadi tujuan mereka ketika mereka berempati kepada korban Al-Quds dan Palestina selain karena mereka pasti ingin menolongnya? Namun, orang-orang yang pilih-pilih dalam berempati itu terkadang kontraproduktif dengan teori yang telah dikemukakan bahwa empati –yang diberikan tanpa peduli latar belakang– merupakan salah satu sebab seseorang memiliki perilaku alturisme (menolong).
Kalau mereka berempati kepada korban yang ada di Al-Quds, Palestina dan Suriah, lalu kemudian tak sedikit dari mereka yang malah mempertanyakan bom di Surabaya, apakah artinya orang-orang tersebut memiliki kecenderungan melahirkan empati dari rasa egoisme dan tendensi golongan?
Atau, apakah empati yang mereka tujukan kepada korban di Al-Quds merupakan empati yang palsu? Karena sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Satria Andromeda, seharusnya rasa empati memiliki hubungan postif yang signifikan terhadap perilaku alturisme[1]. Jika kemudian orang-orang yang tidak berempati kepada korban terorisme di Surabaya karena korbannya adalah jamaah Gereja, maka sebetulnya empati apa yang mereka berikan kepada korban di Palestina?
Sementara itu, penelitian lain menjelaskan bahwa salah satu orang yang sangat ahli mengendalikan empati adalah orang yang memiliki kecendrungan psikopat[2]. Artinya, bahkan seorang psikopat saja memiliki rasa empati ketika hendak membunuh atau melakukan tindak kekerasan kepada korbannya. Jadi, orang-orang yang telah pilih-pilih dalam berempati bisa jadi mereka tidak benar-benar mempunyai empati meski mereka berteriak-teriak “kami merasakan, rasa yang sama” kepada korban dimana pun itu.
Atau, jika ada orang yang pilih-pilih dalam berempati, maka bisa jadi orang tersebut memiliki dua kemungkinan. Satu, empati mereka dipengaruhi oleh kondisi politik. Kedua, empati yang mereka berikan adalah bualan. Padalah di zaman dahulu kala ketika Nabi Muhammad memimpin sebuah peperangan, Rasululullah melarang pasukannya membunuh wanita dan anak-anak, sekalipun wanita dan anak-anak itu ada di pihak musuh. Hal itu membuktikan bahwa empati tumbuh bukan karena ada latar belakang, melainkan secara alamiah. Besar kemungkinan seorang manusia yang sehat secara fisik dan psikis akan memiliki empati yang alamiah.
Salah satu ciri empati yang lahir alamiah, contohnya, ketika misalkan saya melihat seseorang terpeleset dan jatuh, lalu bagian kepalanya membentur dan berdarah, biasanya saya dan mungkin anda semua sekali pun tak kenal dengan orang tersebut akan merasa kaget dan berkata “aduh” sambil memegangi kepala. Reaksi itu menunjukkan seakan-akan kita memiliki perasaan yang sama, padahal kepala kita baik-baik saja.
Jadi, orang Indonesia harus banyak-banyak belajar dari seekor tikus, karena menurut penemuan yang telah diterbitkan oleh majalah Current Biology, kemampuan merasakan atau ikut merasakan penderitaan/rasa sakit yang dialami orang lain bukan hanya dimiliki manusia, namun hewan yang biasa kita anggap jorok seperti tikus juga dapat memiliki empati.
[1] Andromeda, S. (2014). Hubungan Antara Empati dengan Perilaku Alturisme Pada Karang Taruna Desa Pakang. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 8.
[2]https://sains.kompas.com/read/2017/01/09/140000423/memahami.empati.dan.mengapa.manusia.membutuhkannya