Kalau mau sedekah ya sedekah saja, kalau mau bisnis ya bisnis saja. Dua-duanya sama-sama ibadah kok.
Belakangan ini tren syar’i memang sedang berkembang ke berbagai lini, dari mulai perumahan syar’i, baju anak syar’i, sampai sampo syar’i. Bagi beberapa kalangan, tren ini dinilai cukup positif, namun tidak dengan sebagian lainnya. Tentu bagi yang tidak sreg dengan tren syar’i ini tidak serta merta harus dihukumi sebagai anti syari’ah.
Seperti halnya sebuah promo yang diterapkan oleh beberapa SPBU yang viral baru-baru ini. Mungkin, penerapan konsep promo demikian, menjadi strategi khusus bagi sang pemilik guna menciptakan iklim masyarakat yang lebih Islami, tetapi akan menjadi berbahaya jika hal itu dilakukan agar daya tarik masyarakat terhadap perusahaan tersebut meningkat sehingga membuat produk tersebut laris di pasaran. Kenapa berbahaya? Mari baca terus
Kita memang tidak pernah tau apa motif sebenarnya, namun yang perlu digarisbawahi adalah apakah penggunaan konsep tersebut sudah tepat? Setidaknya, saya mencoba untuk menganalisisnya dari sebuah pertanyaan awal, apakah promo dalam sebuah bisnis bisa dikategorikan sebagai sedekah, infaq atau hibah?
Dalam Islam, salah satu ajaran yang sangat diutamakan selain hal-ihwal aqidah dan ibadah adalah tentang hubungan dengan sesama manusia, khususnya membantu orang lain. Hal itu disebut dalam istilah-istilah Islam menjadi beberapa jenis, ada yang namanya zakat, sedekah, infaq, hibah dan hadiah.
Sekarang coba kita gunakan metode cocokologi untuk menggolongkan apakah promo syar’i termasuk ke dalam istilah-istilah di atas. Pertama-tama yang harus kita pahami adalah dalam sebuah promo kita tentu mafhum akan adanya sebuah syarat. Misal, buy 2 get 1 promo demikian itu menyaratkan pembelian dua produk untuk mendapatkan satu produk secara gratis. Jadi, bahasa pasarnya kalau beli dua dapet tiga.
Tapi kan, kasus SPBU itu tidak ada jual beli sama sekali, asal syaratnya hafal atau membaca Al-Quran di tempat, maka akan diberi bensin secara gratis? Sebentar dulu dong Bambang. Nah, dalam definisi yang saya temukan tentang istilah-istilah pemberian dalam Islam, saya tidak menemukan adanya pra-syarat yang harus terpenuhi kecuali zakat. Kita tahu, bahwa zakat merupakan ibadah yang diatur dalam ketentuan waktu, jumlah harta, mustahiq (penerima) dan muzakki (pemberi), baik itu zakat fitrah maupun zakat mal.
Lalu, apakah syarat-syarat dalam zakat sama dengan syarat dalam promo syar’i sebagaimana banyak terjadi di Indonesia? Jelas tidak, zakat mensyaratkan mustahiq ke dalam 8 asnaf atau golongan, yang dimana tidak ada di dalam 8 asnaf itu harus memiliki kecakapan beragama semisal hafal 2 Juz Al-Quran. Yang justru terang adalah, mustahiq zakat secara pada umumnya merupakan orang-orang yang tidak berkecukupan secara ekonomi seperti fakir, miskin, orang yang berhutang dan lainnya.
Okelah kalau kita bersepakat, bahwa hafal 2 Juz Al-Quran merupakan kategori dari asnaf Fi Sabilillah, namun tetap zakat fitrah harus dilakukan sesuai ketentuan waktu (baca : Ramadhan) dan dihukumi personal. Jika dalam zakat mal, kadar zakat yang harus dikeluarkan harus memenuhi syarat haul dan nisab.
Gugur poin pertama, bahwa promo syar’i bukanlah termasuk ke dalam konsep zakat dalam Islam. Apakah mungkin masuk ke dalam kategori sedekah, infaq atau hibah? Dari istilah ketiganya, pengertian infaq merupakan satu-satunya yang paling mirip dengan promo syar’i. Tetapi ada satu hal yang mengurangi kemiripannya yakni, tujuan ber-infaq. Infaq bisa menjadi sedekah bila bertujuan mendapatkan pahala dari Allah, namun tidak menjadi sedekah jika kepentingannya dilakukan untuk selain Allah.
Apakah promo bukan bertujuan mendapat pahala dari Allah? Lagi-lagi kita tidak pernah tau apa niat di balik maraknya euforia syar’i tersebut. Namun satu hal yang bisa dilihat adalah dzahir dari perilaku tersebut. Logikanya begini, promo erat kaitannya dengan bisnis, bisnis juga dekat hubungannya dengan jual beli. Jika membaca Al-Quran dijadikan syarat untuk mendapatkan sebuah produk, apakah itu artinya bukan membeli produk dengan ayat?
Sedangkan yang saya tau, wa la tasytaru biayati samanan qolila (dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah) saya tidak benar-benar menghukumi perilaku promo syar’i sebagai sesuatu yang haram, namun yang saya takutkan jika pra-syarat untuk mendapat sebuah promo adalah ayat Al-Quran dan tidak diniatkan karena Allah alias hanya karena bisnis belaka, maka jatuhlah dikenai hukum larangan sebagaimana Al-Baqarah ayat 41.
Saya melihat tren ini sebagai sesuatu yang ambigu, karena di satu sisi syaratnya berkaitan dengan agama namun di sisi lain hal ini dilakukan dalam lingkaran bisnis yang syarat akan laku jual-beli.
Maka, sebagai seorang muslim penting mengetahui perbedaan-perbedaan antara anjuran agama dengan perilaku bisnis. Karena jika tidak, ditakutkan kita terjebak dalam sesuatu yang seharusnya boleh menjadi tidak boleh alih-alih dalam embel syar’i. Rasa-rasanya jika seorang pengusaha ingin berbuat baik dalam urusan agama, masih banyak hal yang bisa dilakukan, semisal bakti sosial yang tidak mensyaratkan apa pun.
Jika ingin bersedekah, ya lebih baik bersedekahlah sebagaimana mestinya, jika ingin berbisnis, berbisnislah pula dengan semestinya. Toh, agar mendapat cintanya Allah itu yang perlu diperbaiki bukan melulu soal strategi marketingnya, melainkan yang lebih penting adalah kejujuran dalam berbisnis. Karena itu pun sudah cukup.