Diantara kalian dan juga tentu saya sendiri mungkin baru tau bahwa pada tahun 2008 silam, di India khususnya kota Mumbai telah terjadi serangkaian serangan teror yang mengakibatkan sekurangnya 180 jiwa tewas, setelah menonton film Hotel Mumbai. Awalnya saya bahkan menganggap film Hotel Mumbai adalah film bollywood dengan adegan joget dan menyanyi sebagaimana film India pada umumnya.
Ternyata saya salah, dan boleh jadi tertipu karena ternyata film yang disutradarai oleh Anthony Maras itu bukanlah film India pada umumnya. Kejadian teror yang melanda Mumbai pada 2008 terjadi selama kurang lebih empat hari, dan setelah ditelusuri ternyata bukan hanya di sebuah hotel saja, termasuk juga stasiun dan rumah ibadah umat Yahudi juga menjadi sasaran tindakan jahat tersebut.
Perasaan saya campur aduk menyaksikan kurang lebih dua jam film tersebut, selain karena adegan-adegan pembunuhannya, juga ternyata tentu letak kegelisahan saya ada pada Islam yang menjadi tambah lekat dengan terorisme. Ya, diakui atau tidak sejak beberapa tahun ke belakang, banyak sekali kejadian teror yang didalangi atau katakanlah sempat meminjam nama Islam. Tentu sebagai seorang muslim saya punya sedikit rasa ingin menolak akan hal itu.
Nah, di film Hotel Mumbai ini anda akan merasakan sendiri bagaimana gejolak batin anda ketika kemudian Islam dan beberapa kalimat sucinya digunakan untuk hal-hal yang justru di luar nalar agama itu sendiri. Sulit memang memungkirinya, namun itulah faktanya. Film Hotel Mumbai bukanlah satu-satunya film yang menggambarkan kejadian teror dahsyat yang melanda Kota Mumbai pada 2008 silam. Film ini merupakan salah satu perspektif yang menjelaskan tentang detil penyerangan yang terjadi di Hotel Taj Mahal Palace.
Salah satu unsur film yang diangkat adalah bagaimana para staf hotel bekerja di luar kemampuan dan bidangnya untuk sama-sama menyelamatkan para tamu. Entah mengapa banyak film India (selain bollwood) yang mungkin bisa dikatakan “berani” menyinggung soal agama dalam filmnya, sebelum Hotel Mumbai kita tau bahwa film PK juga salah satu yang sukses melakukannya.
Namun karena film Hotel Mumbai ini merupakan film yang diangkat dari kisah nyata, jadi mungkin akan ada beberapa unsur yang ditambahkan untuk membuat kesan yang lebih dramatis, seperti tokoh, karakter dan kejadian. Produser film Hotel Mumbai juga mengakui bahwa tidak semua yang ada dalam filmnya merupakan fakta, salah satunya tokoh Arjun.
Namun, menurut saya bukan itu yang penting, kita boleh marah bahwa film ini mungkin telah memberi dampak besar bagi Islamophobia yang berkembang saat ini. Akan tetapi, bila ingin lebih cermat, ada satu pesan yang ingin disampaikan kepada penonton dari film Hotel Mumbai selain dari bahwa Islam itu teroris, yang mungkin akan menyangkal asumsi sebelumnya tentang Islam agama kekerasan.
Bila anda sudah menonton mungkin ini akan membuat anda manggut-manggut mengerti, namun jika belum nonton, paragraaf ini mungkin berisi sedikit bocoran filmnya yang perlu anda skip. Dalam sepanjang film bahkan dari awal mulainya, film ini menampilkan scene para teroris yang masuk ke Kota Mumbai dan kita disajikan dengan adegan dimana para teroris ini menggunakan headset di kedua telinganya masing-masing dan tersambung dengan seseorang di luar sana.
Tentu, adegan tersebut (terlepas ini adalah kenyataannya atau bagian dari drama film) bagi saya adalah pesan serius, bahwa tidakan terorisme pada dasarnya selalu tidak didasari oleh keinginan dan perasaan yang kokoh. Melainkan selalu berdasarkan design atau arahan di luar keyakinan itu sendiri. Salah satu yang membuat saya yakin adalah scene pada saat Imran salah satu teroris hendak menembakkan senjatanya ke arah Zahra seorang tawanan yang juga merupakan seorang muslim. Di sana Imran tampak ragu, ada keyakinan di dalam hatinya yang bertolak belakang dengan arahan dari suara di headsetnya itu.
Selain soal bagaimana menceritakan penyampaian pesan yang esoteris tersebut, film ini juga berhasil menyuguhkan kesan proaktif terhadap kemiskinan. Salah satu yang dieksploitasi dari film ini adalah tentang kehidupan Imran yang mengorbankan diri agar keluarganya mendapat kiriman uang sesuai yang telah dijanjikan oleh orang di balik serangan teror tersebut. Itu artinya, tindakan teror biasanya hanya didasari paling tidak soal kesejahteraan keluarga.
Hingga adegan-adegan mimik wajah yang sangat ekspresif ditampilkan manakala sang teroris tersambung dengan suara di headsetnya dan ketika sedang tidak tersambung. Tampak kontras perbedaan itu, penyerangan terhadap tamu-tamu hotel yang begitu brutal harus membuat pemeran teroris di film tersebut tampil bak robot yang dikontrol dengan remot. Sedangkan ketika kedua teroris bercanda di lorong hotel hanya karena makanan daging babi terlihat begitu manusiawi.
Hal itulah yang membuat saya begitu yakin bahwa Islam hanya dipinjam untuk kepentingan orang di balik serangan teror Mumbai. Tidak ada yang benar-benar berangkat dari Islam sejatinya jika ingin mencermati lebih jauh ke dalam film tersebut.
Jadi, mungkin sebagian dari kalian tetap bersiukuh pada pendapat sebelumnya bahwa film ini turut bertanggung jawanb terhadap merebaknya Islamophobia khususnya di India. Akan tetapi bagi saya tetap, sutradara Anthony Maras cukup adil dalam membagi-bagi unsur dalam film ini. Di satu sisi memang sudah menjadi fakta bahwa yang bertanggung jawab terhadap serangan teror ini adalah salah satu kelompok Muslim, namun di sisi lain Maras juga bekerja keras untuk bisa memulihkan nama Islam melalui hal-hal kecil yang mesti ditafsir.
Selain dari pada itu, yang tak kalah penting dalam film ini adalah tentang bagaimana sebuah beban kemanusiaan harus melampaui kepentingan pribadi. Seperti kebijaksanaan yang dimiliki oleh kepala chef pada adegan dimana staf dapur hotel satu persatu dipersilahkan pulang untuk menyelamatkan diri demi keluarganya di rumah. Percakapan yang dikemas agar tidak diskriminatif, karena setelahnya seperti ada sesuatu yang membuat sebagian staf hotel itu bertahan di dalam demi menyelamatkan para tamu. Sesuatu yang berangkat dari keyakinan.
Adakalanya setiap personal memiliki tanggung jawab berbeda, namun pada saat tertentu tuntutan besar selalu datang dan membuat kita harus memilih untuk menjadi pribadi yang seperti apa, tentu bukan berarti memilih untuk menuntaskan tanggung jawab pribadi adalah hal yang buruk, dan memilih untuk menyelesaikan tanggung jawab bersama adalah lebih baik dari itu. Yang jelas keduanya sama-sama proporsional. Eh kok jadi kebanyakan pesan moral.