Koh Dul sibuk membenahi bekas karung-karung beras dan kardus sembako di tokonya. Sementara anaknya Ian, sedikit demi sedikit memindahkan kantung-kantung belanjaan yang baru sampai dari pasar. Di depan tokonya, tak ada siapa pun, kecuali hanya sekumpulan kantung-kantung keresek hitam yang tidak terlalu besar.
Hari itu adalah hari ke 24 puasa tepat dimana lebaran tinggal menghitung hari, Koh Dul biasanya memborong sembilan bahan pokok di kios besar untuk memenuhi stok persediaan dagangannya di toko.
Koh Dul tinggal di sebuah komplek yang tidak terlalu luas, di sana hanya terhitung dua RW saja, pemukiman rumah warganya tak ada yang lebih tinggi antara satu dengan lainnya, semuanya sama, setiap warga hidup dengan riwayat ekonomi yang pas-pasan. Kampung bernama Petukangan ini terletak di sebelah selatan Jakarta, dimana secara geografis daerah ini berdekatan sekali dengan Bekasi dan Karawang. Debu kendaraan baik pribadi atau umum yang keluar masuk terminal Lebak-Bulus itu sudah makin piawai terbang ke kampung Petukangan, bunyi-bunyi klakson sedari subuh sudah mulai menggema, selesainya pun tepat pada tengah malam dimana jalan raya menyepi dari perginya motor-mobil yang baru saja bikin warga menyesal punya gendang telinga.
Di kompleknya itu, mayoritas dari yang tinggal adalah warga asli betawi, meski terdapat beberapa keluarga yang sah sebagai pelaku transmigrasi dari luar ibu kota, biasanya Jawa, Sunda dan Madura. Selain dari karakter penduduknya sebagai penduduk pinggiran kota, profesi rata-rata warga Petukangan sangatlah biasa, tidak ada profesi istimewa seperti dokter, anggota dewan bahkan menteri. Rata-rata dari mereka hanya bekerja sebagai staff kantor kelurahan, pedagang kaki lima, guru honor sampai pemadam kebakaran.
Di hari setelah bapak dan anak itu menyelesaikan tugas toko, Ian dan bapaknya hendak pergi ke pasar, tempat biasa mereka belanja barang dagangan, namun waktu itu, mereka harus berjalan kaki ke depan gapura tempat angkutan umum berlalu lalang dan ngetem menunggu penumpang dari kampung Petukangan. Biasanya mereka ke pasar naik motor.
Karena sepeda motor Koh Dul yang sedang mangkal di bengkel, mereka akhirnya berjalan kaki sampai ke gapura, tepatnya di tepi jalan raya, tempat biasa angkutan umum menampung para penumpang. Setiba di pinggiran jalan itu, hampir sekitar 30 menit Koh Dul dan anaknya menunggu dengan sabarnya sambil duduk-duduk di trotoar jalan di samping selokan yang akrab dengan debu dan sampah sebab banjir Jakarta itu. Tanpa disadari, angkot jurusan pasar pun tiba, dan akhirnya mereka naik.
“Eh Koh Dul, gak biasanya naik angkot lagi?” Sapa suipr.
“Motor saya lagi rusak bang, masih di bengkel belum bener.”
“Oh, rusak. Saya kira kenapa.”
“Malah saya yang gak biasanya nunggu angkot sampe 30 menit gini?” Koh Dul bermaksud menanyai.
“Itu… di depan tadi pada demo nutup jalan, saya harus nunggu polisi ngatur dan cari alternatif.”
Rupanya hari itu, sedang terjadi demonstrasi, yang melibatkan beberapa ribu massa baik dari luar maupun dalam kota. Tidak peduli sumpeknya Jakarta dengan berbagai perosoalannya dari macet sampai copet, massa tetap bergerak ke Jakarta untuk menyampaikan tuntutannya.
***
Bang Yasmin petugas pasar yang biasa berjaga-jaga di parkiran motor, pagi itu tidak terlihat batang hidungnya, ia seperti sedang mengurusi sesuatu yang lain. Yang terlihat hanya baju dinasnya tergantung di tangkai pohon yang daunnya telah habis itu.
Sesaat sebelum Koh Dul dan Ian masuk ke dalam pasar, dengan wajah yang begitu gelisah, Bang Yasmin meneriaki Koh Dul dan Ian untuk menunggunya, teriakkannya itu seperti ada sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang harus diketauhi oleh mereka.
Dan benar, ternyata dari beberapa pereman di pasar, Bang Yasmin dapat kabar bahwa orang-orang yang matanya sipit (cina), harus berhati-hati ketika keluar rumah di jalan-jalan, di pasar atau di ruang-ruang publik lainnya. Ia menasehati Koh Dul dan Ian untuk sebisa mungkin tidak menunjukkan identitasnya sebagai seorang keturunan tionghoa, dengan menggunakan topi atau apa pun yang setidaknya bisa mengurangi pandangan orang terhadap muka mereka.
“Koh, coba pake penutup kepala gitu, biar aman.”
“Maksud kamu pake kerudung gitu min?”
“Ya bukan kerudung juga Koh,” dengan wajah tak mau diajak bercanda, Yasmin berterusterang.
“Koh, saya gak mengada-ada loh ini, jangan malah ngajak bercanda.” Lanjut Yasmin dengan wajah yang agak menegang tanda khawatir.
Koh Dul sedari tadi tetap menanggapinya dengan tenang. “Saya kan cuma tanya, penutup kepala itu kerudung atau apa?”
“Topi Koh, topi.” Yasmin memelas,
Setelah bercakap dengan Bang Yasmin, Ian yang sejak tadi juga ikut mendengarkan bapaknya selesai ngobrol, mulai berjalan pelan-pelan di belakang bapaknya masuk ke dalam pasar sambil memasang kewaspadaan pada setiap penjuru pasar, Ian juga merasakan sedikit kegelisahan.
“Pak, apa sebaiknya kita gak beli topi saja?”
“Kamu ini minta beli topi kok di pasar, kamu kan bisa beli sendiri, beli sana di toko baju! Umurmu itu udah hampir 20 tahun.”
Sebetulnya Koh Dul tau maksud dari permintaan anaknya, Ian ingin ia dan bapaknya selamat sampai rumah, sesuai dengan saran dari Bang Yasmin sebelum masuk berbelanja ke dalam pasar tadi. Namun entah kenapa Koh Dul malah mengalihkan konteks permintaan anaknya ini ke arah yang sama sekali tidak ada hubungannnya dengan maksud Ian.
Dengan tanpa memenuhi permintaan anaknya itu, Koh Dul pun kembali memilih-milih bahan pokok di kios langganannya untuk dipesan dan diantarkan besok pagi. Ian yang merasa bingung itu terpaksa harus mengendalikan ketakutannya sampai tiba di rumah.
Sebelum mereka pulang dari pasar, mereka dihadang oleh beberapa orang, berkawakan besar-besar. Satu diantaranya kurus dengan beberapa map yang terselip di bagian keteknya. Mereka adalah anggota dari salah satu organisasi masyarakat, yang dikabarkan terlibat, dan justru menjadi motor dalam demonstrasi hari itu.
Kedudukan orang-orang keturunan tionghoa di Jakarta memang lumayan banyak meski bukan jadi mayoritas, tapi parahnya hampir semua orang tionghoa mempunyai pengaruh terhadap sistem perdagangan di Kota besar itu. Sehingga beberpa kelompok yang tidak suka dengan gaya berbisnis orang-orang tionghoa seperti Koh Dul, menanamkan doktrin kepada kelompoknya di lain tempat, bahwa orang keturunan tionghoa itu penjajah, bukan saudara, atau cibiran-cibiran lainnya yang berbau etnis bahkan klaim musuh agama. Padahal tidak semua keturunan tionghoa bernasib dan berkeyakinan sama, contohnya Ian dan Koh Dul.
“Mau kemane lu Cina?”
“Saya mau pulang bang.”
“Dimane rumah lu?”
“Petukangan Bang.”
“Bohong bener lu, gua kagak percaya orang sipit kaya lu tinggal di kampung begituan.” Dengan nada membentak, orang yang sepertiya pemimpin kelompok itu melanjutkan.
“Biasanya kalo bukan di Pondok Indah rumah lu itu pasti di Permata Hijau, tempat-tempat perumahan eksklusif, punya mobil banyak, makan enak, kerjaan lu ngabisin tanah orang-orang kite, iye kan? Bohong, Cina kok tingal di Petukangan.” Dengan satirnya orang-orang itu menghabisi Koh Dul dan Ian.
“Saya gak bohong bang, mohon maaf, saya harus cepet pulang, ada yang nunggu.”
“Lu kalo dibilangin, belagu ya? Jangan mentang-mentang Cina, lu bisa seenaknya di kampung orang!!!” Sentakkan yang terdengar keras itu, diketahui oleh beberapa pedagang, dan orang yang lalu lalang sedari tadi, tapi semua yang mendengar juga sama-sama tak berani berbuat apa pun kecuali acuh.
Orang-orang yang sedari tadi menunda Koh Dul pulang, mulai naik pitam. Entah apa sebabnya, seperti ada sebuah api yang menyulut amarah mereka, melihat dua orang tionghoa berkeliaran di tempat umum. Mungkin itulah yang dinamakan dendam turunan?
“Bukan begitu bang …” belum sempat meneruskan penjelasannya, Koh Dul dihantam dari belakang oleh salah satu dari gerombolan orang-orang yang tengah menginterogasinya. Ian yang bermaksud membela bapaknya pun malah kena batunya.
Untungnya, kejadian itu segera selesai, karena tiba-tiba salah seorang dari kelompok tersebut teringat, bahwa hari ini mereka masih harus meneruskan puasanya, dengan santai orang tersebut berkata “udah udah jangan banyak-banyak benjolnya, nanti puasa kita batal.” mereka pun berlalu meninggalkan Koh Dul dan Ian tanpa menyisakan apa pun, meski hanya seucap permohonan maaf.
Setibanya di rumah, Koh Dul dan Ian pun tergeletak di kursi panjang yang terbuat dari karet ban. Mereka terkapar, masing-masing mengurusi sendiri memar-memarnya.
Terdengar ketukan pintu dari luar, disertai bunyi “Assalamualaikum,” bunyi salam itu sudah terdengar tiga kali. Ian dengan tertatih menuju ke arah pintu dan membukanya.
“Waalaikumsalam, eh Pak Soleh.”
“Astaghfirullah, hei tong. Kenapa muka lu?”
“Tadi jatuh dari sepeda pak.”
“Mana bapak?” Sambil merasa gusar, Pak Soleh pun masuk dan menghampiri Koh Dul.
“Koh, ada apa?”
“Gapapa Pak, cuma jatuh dari tangga.”
Pak Soleh yang mendengar jawaban Koh Dul itu mukanya memerah, menunjukan kemarahannya. Ia yakin, Koh Dul pasti diintimidasi. Pak Soleh pun pergi ke dapur, mengambilkan segelas air hangat, lalu menyodorkannya ke hadapan Koh Dul. Setelah itu, dengan nada yang agak kesal, Pak Soleh angkat bicara.
“Koh istirahat, tunggu disini, biar aye bilang ke warga.”
“Mau kemana? Duduklah dulu disini, jangan buru-buru Pak. Ini apa? Pak Soleh ngasih air segala? Memangnya sudah maghrib?”
“Orang-orang itu gak tau kalo engkoh …”
“Sudah Pak, biarkan. Bapak ini lagi puasa kan? Gak baik marah-marah. Apalagi marah sama orang yang gak salah apa-apa sama bapak.”
“Tapi Koh, mereka udah keterlaluan.”
“Pak Soleh tadi sahur gak?” Tiba-tiba Koh Dul menanyai Pak Soleh dengan amat begitu serius.
“Kenapa Koh? Enggak sih, saya kebablasan, tapi saya puasa kok.”
“Niat gak puasanya?”
“Ya niat koh, abis tarawih kan biasanya baca niat puasa.”
“Kalo Pak Soleh niat puasa, kenapa bapak mesti mengingkari niat puasa bapak sendiri? Dengan tidak menahan amarah bapak. Sudahlah biarkan saja, saya mengerti kenapa mereka seperti itu.”
“Tapi Koh, …” lagi-lagi pembicaraan Pak Soleh dipotong suara Koh Dul yang serak nan tua itu,
“Sudah, kamu tidak harus bilang kepada siapa pun, masalah ini, biar saya yang jelasin nanti. Sekalian, Pak Soleh sampaikan ke pengurus masjid, malam ini saya berhalangan jadi imam tarawih.”
Pak Soleh pun akhirnya pulang dengan hati yang sedikit mendingin, dibukakannya pintu oleh Ian, Pak Soleh yang hendak keluar rumah Koh Dul merasa sangat sakit hati dengan apa yang menimpa bapak dan anak itu. Sambil berjalan, tangan Pak Soleh pun mulai meregang dari yang tadinya mengepal.
***
Malam itu, tepat di hari yang sama, saat Pak Soleh mengetahui Koh Dul dipukuli, Pak Soleh dan Jalal pun bermaksud menjenguk keadaan Koh Dul dan Ian ke rumahnya, sepulang tarawih, mereka berdua datang dengan maksud ingin tahu bagaimana kronologi kejadiannya.
“Dimana kejadiannya Koh? Siapa orangnya? Ciri-cirinya gimana?” rentetan pertanyaan Jalal membuktikan kepenasarannya, Dengan wajah yang kepalang kesal itu, Jalal pun ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya yang memukuli Koh Dul dan segera mencarinya untuk menyelesaikan perkara secara jantan dengannya.
“Saya Cuma jatuh dari tangga lal.” Jawab Koh Dul.
“Engkoh bohong kan? Ian, coba kasih tau kita!”
Ian hanya tertunduk ketika melihat bapaknya menampakkan pandangan yang memaksa Ian untuk tidak menceritakan apa pun.
Di tengah keheningan, Koh Dul pun mulai angkat bicara,
“Pak, lal, yang lebih penting dari kita bermasyarakat ini, cukup dengan kita saling berbuat baik, tidak harus ada kemarahan, balas-balasan, membuktikan siapa yang benar dengan kalah-menang. Kalian pasti tau kisah Nabi Muhammad yang rutin memberi makan seorang Yahudi buta? Kisah ini saya ingat betul disampaikan dua hari sebelum Ustad Amin meninggal dunia.”
Kedua tetangga sekaligus sahabat dekat Koh Dul itu memasang wajah serius mendengar penjelasan sahabatnya yang seorang tionghoa, apalagi ketika mereka berdua mendengar Koh Dul menyebut nama Ustad Amin, salah satu sesepuh kampung yang telah membuat Koh Dul jadi mualaf.
Koh Dul melanjutkan bicaranya, “Meski Nabi Muhammad adalah orang yang paling dibenci oleh pengemis itu, ia tidak pernah absen satu hari pun menyuapinya makan. Karena niat baiknya menutupi nafsu amarahnya. Mestinya bagi seorang pemimpin yang punya ribuan umat, Nabi Muhammad seharusnya bisa mendiskriminasi pengemis itu yang seorang diri, pasti mampu, dengan alasan pengemis itu menghinanya atau bahkan karena pengemis itu seorang Yahudi. Tapi Nabi Muhammad tidak.”
“Tapi kan, lain cerita sama engkoh.” Pak Soleh ikut menimpali.
“Lain dimana? Semuanya sama, pada dasarnya sama pak, lal, saya bukan sekan-akan paling punya sifat Nabi loh ini, tapi setidaknya saya punya kesadaran bahwa saya ini tidak disukai banyak orang, sebagaimana Nabi Muhammad sadar pada saat dirinya tidak disukai kaum Quraisy. Sudahlah pak, tidak semua persoalan dapat selesai dengan saling tegang. Apalagi yang mau kalian ketahui?”
“Kenapa sih, engkoh begitu tidak peduli dengan mereka? Maksudnya, mereka udah bikin Ian dan engkoh luka-luka, tapi engkoh masih saja bela mereka?” Lanjut Jalal yang api wajahnya sudah mulai meredam.
“Saya mengerti mereka lal, mereka gak suka sama orang tionghoa seperti saya, saya tau apa sebabnya, tapi saya tidak peduli dengan sebab mereka membenci orang sipit seperti saya ini, saya hanya harus membuktikan, tidak semuanya sama. Mereka yang belum tau harus tau itu, justru kalo saya malah mendendam mereka, apa bedanya saya dengan yang lain? Saya malah gak mau kalo harus mengecewakan almarhum Ustad Amin dengan balas dendam kepada mereka. Kita udah hidup tenang di kampung ini kan? Buktinya, kampung ini gak pernah mempersoalkan ‘warna kulit’ saya, dengan saya tidak harus membalas semua orang yang membuat saya terhina.”
“Andai saja Ustad Amin tau, engkoh pasti dibela.” Celetuk Jalal yang sedang tertunduk ketika Koh Dul selesai bicara.
“Ustad Amin itu orang baik lal, ia mengajarkan saya untuk tidak membela siapa pun dan apa pun, kata almarhum, kita terlalu lemah bahkan untuk membela diri sendiri. Tapi ia mengajarkan saya untuk menolong dan berbuat baik kepada siapa saja. Kalian masih ingat kan? Tragedi fitnah yang menimpa almarhum? Yang membuat saya malah memiliki keyakinan bahwa Islam sangat baik memperlakukan lawan.”
“Ingat koh,” tanggap Pak Soleh yang juga ikut sedih mengenang Ustad panutan di kompleknya itu.
“Apa yang almarhum lakukan saat dulu saya mem-fitnahnya dengan kabar miring penyalahgunaan dana sumbangan orang miskin? Yang sampai Pak Ustad dihakimi warga lalu masuk penjara.”
Sambil tertunduk, Jalal menjawab pertanyaan Koh Dul itu,
“Waktu itu kerusuhan 98 lagi rame-ramenya semua keturunan cina yang ada di Jakarta dibantai, harusnya waktu itu engkoh juga sudah digantung sama preman-preman di depan rumah engkoh sendiri, tapi Pak Ustad malah melindungi engkoh di dalam rumahnya. Kejadian itu tepat beberapa hari setelah Pak Ustad keluar dari penjara kan koh?” Jalal mereka ulang cerita sepuluh tahun silam di depan Koh Dul, Ian dan Pak Soleh.
Mendengar penjelasan Koh Dul dan ceritanya sendiri, Jalal pun pamit pulang bersama Pak Soleh. Sebagai tetangga dan sahabatnya, mereka berdua merasa punya tugas yang lebih besar dari sekedar balas dendam.
***
Koh Dul menutup warungnya yang terlihat tidak seperti biasanya. Ya, warungnya hanya menyisakan sedikit barang dagangan, ia telah membagikan sebagian harta yang ia punya untuk zakat fitrahnya. Bahkan lebih dari sekedar ukuran ketentuan yang disyariatkan. Baginya tidak ada yang salah saat ia harus memberi lebih.
Takbir-takbir berkumandang dari sejak subuh. Masyarakat yang hendak pergi melaksanakan shalat sunnah Idul Fitri, satu persatu mulai mempersiapkan diri dengan mandi, menyemprotkan wewangian, sampai mencari-cari koran bekas untuk alas shalat id berjamaah di lapang. Semua beriringan dari rumah masing-masing dengan sajadah dan baju-baju yang masih beraroma pabrik.
Saat itu, tidak seperti lebaran biasanya, di kampung Petukangan terlihat banyak petugas media mempersiapkan perlengkapannya untuk meliput secara langsung proses shalat sunnah Idul Fitri. Jalal yang juga seorang pegawai di salah satu stasiun televisi itu, ikut tersenyum di hari yang fitri dimana khatib shalat id-nya adalah Koh Dul.
Dengan senyum penuh kepuasan, Jalal dan Pak Soleh pun bersalaman saat keduanya bertemu di lapang. Mereka seperti telah membantu Koh Dul dengan pekerjaan yang lebih bermoral ketimbang membalas dendam.
“Woi lal, udah mau mulai ini, siap-siap kameranya.” Teriak salah satu sahabat kru medianya.
Dengan sigap, Jalal menyalakan dan mengarahkan kameranya ke podium tempat Koh Dul sudah tegak berdiri. Sambil menekan tombol ‘rekam’ pada kameranya, hati Jalal pun berbicara “Orang-orang harus tau!”
Saat itu, Jalal sendirilah yang merekam khutbah dari seorang keturunan tionghoa yang sudah memeluk Islam sejak tragedi 98, Koh Dul telah diwarisi sifat Ustad Amin yang teguh dan penuh dengan kebaikan.