Sekeras Apapun Adzannya Kalau Telinga Tertutup Masjid Akan Tetap Kosong

93

KALEM.ID Jika Toa dan Sound System tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya?

 

Pada tahun 2016 sebuah kasus yang diduga melanggar pasal penistaan agama tidak hanya terjadi di Jakarta, Medan di tahun yang sama juga mengalami polemik demikian. Berbarengan dengan kasus Ahok di Jakarta rupanya menurut laporan dari Tirto.id kasus Ahok ternyata memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap kasus seorang ibu Meiliana yang mengeluhkan volume suara adzan, meski memang pangkal permasalahannya adalah miskomunikasi, tetapi buntut dari kasus ibu Meiliana ini adalah perusakan dan pembakaran Vihara.

Dua tahun setelah itu, pada Mei 2018 ibu Meiliana divonis bersalah dengan hukuman 18 bulan penjara oleh Kejaksaan Tinggi Tanjung Balai. Hukuman terhadap ibu Meiliana inilah yang belakangan disebut-sebut sebagai dampak dari rekayasa kebencian yang diumpan dari situasi politik kasus Ahok di Jakarta. Sebagaimana lazimnya, pro dan kontra pun bertebaran.

Jika anda membaca laporan PUSAD (Pusat Studi dan Demokrasi Paramadina) yang diterbitkan Tirto.id tentang kasus ibu Meiliana ini, maka setidaknya di enam paragraf awal anda akan menemukan sesuatu yang janggal, dimana ada dua versi dialog yang saling bertolak belakang dengan pernyataan Meiliana sendiri. Yang kita tahu sekarang banyak beredar bahwa Meiliana bukan hanya mengeluhkan volume, tetapi juga menghujat dan berbicara dengan nada tinggi, itu adalah pernyataan dari versi kedua alias bukan langsung dari Meiliana.

Namun jika anda ingin berdebat panjang lebar soal itu, saya tak akan meladeni. Yang jelas adalah kasus volume memang sepele, tapi kebencian kita yang membuatnya menjadi besar. Hingga sampai sekarang banyak beredar pesan berantai yang mengatakan bahwa suara adzan di Indonesia sudah tak boleh dikeraskan, sudah diatur jarak dengarnya, lebih parahnya negara ini dibuat seakan-akan sangat mencekam ketika muncul peraturan tentang kumandang adzan yang sudah disahkan jauh sebelum kasus ini ada.

Jangan kita berbicara terlalu jauh dulu tentang sakralitas adzan, toh masing-masing kita yang beragama Islam juga setidaknya pernah mengalami ketika sedang beraktifitas dan saking sibuknya sampai kita bertanya “sudah adzan belum?” itu salah satu ciri bahwa kita menganggap suara adzan sakral hanya pada saat kita tahu ada yang mempersoalkannya saja.

Sudah jelas bahwa garis permasalahannya ada pada volume, toh jika saja volume adzan dikecilkan bukan pula otomatis suara adzan menjadi terhina. Sampai sini paham? Tahan emosi.

Lagi pula kalau kita mau membandingkan suara adzan Bilal sahabat Nabi tanpa menggunakan Toa dengan suara adzan di depan rumah kita yang menggunakan Toa, sudah barang tentu suara Toa pasti terdengar lebih besar karena gelombang yang dihasilkan merambat jauh, tapi kenapa legenda Bilal yang mengumandangkan adzan tanpa Toa bisa begitu dahsyatnya? Yang jelas jika hitung-hitungan mana yang paling keras, suara Bilal pasti kalah keras dengan adzan zaman sekarang.

Jika keinginannya adalah volume adzan yang keras, Bilal adzan tanpa Toa. Tapi kita pasti sepakat bahwa meskipun suara adzan kecil volumenya bukan pula berarti menggugurkan kewajiban untuk menunaikan ibadah shalat. Nah masalahnya adalah sudahkah kita dengan segera menjawab adzan itu?

Andaikata saya terjebak di sebuah hutan, dimana tak satu pun ada orang dan bangunan masjid di sana. Sehingga saya tak mendengar suara apa pun kecuali suara burung dan angin, apa kemudian kewajiban shalat saya gugur karena saya tak pernah mendengar adzan? Kan tidak begitu, karena seruan adzan yang hakikat adalah seruan alam.

Misal, adzan Dzuhur baru boleh dikumandangkan ketika matahari sudah berada tepat di atas dengan posisi condong ke arah barat sehingga akan menghasilkan bayangan suatu objek sama, selain dari bayang-bayang matahari ketika menonggak. Adzan Subuh boleh berkumandang ketika terbit Fajar Shadiq pun halnya adzan Maghrib akan dikumandangkan ketika matahari mulai terbenam.

Mulai terang ya, bahwa inti dari adzan adalah shalat, sekeras apa pun suara adzan yang berkumandang, jika tetap saja tak ada yang datang untuk menunaikan shalat maka sama saja nilai adzan itu tak lebih dari sekedar panggilan-panggilan biasa. Tetapi jika ada seseorang yang shalat meski ia tak dapat mendengar adzan barang selewat, maka pada dasarnya ia telah menjawab seruan Tuhan dengan tulus dan penuh keyakinan.

Jadi mungkin yang sebenarnya membuat adzan menjadi tidak sakral dan terhina adalah ketika adzan berkumandang, kita semua masih menyibukkan diri dengan mempertahankan argumen siapa yang salah.

Bahkan jangan-jangan, kasus ibu Meiliana ini merupakan tamparan bagi umat Islam wa bil khusus saya sendiri yang pada saat mendengar adzan tidak langsung menunaikan ibadah shalat atau menghampiri masjid. Bayangkan saja, ibu Meiliana yang bukan seorang pemeluk agama Islam saja ketika mendengar suara adzan langsung menghiraukan suaranya terlepas itu keluhan, lah kita? menjawab saja kadang-kadang.

Nilai kualitas konten