Yang Terjadi Setelah Pilpres

75

KALEM.ID – “Mengingat, keutuhan bangsa dan keharmonisan keluarga jauh lebih penting dari urusan pilpres.

Lima hari lagi masyarakat Indonesia akan ramai-ramai melakukan Pemilihan Umum. Masa depan bangsa Indonesia ada di tanganmu! (klise) wong masa depanmu saja masih belum tentu terarah, mau juga ikut menentukan masa depan Indonesia, tempat dimana apa yang kamu lakukan, netizen selalu benar, kamu salah [titik]. Sudah urus saja kepentingan pribadimu, jangan sok-sok mau menentukan kemajuan bangsa, kalo membedakan mana sampah organik dan anorganik saja masih belum becus.

Oiya, sebelum ke pembahasan inti, ada baiknya penjelasan tentang sampah ini dibongkar deh ya. Jadi yang terbongkar itu bukan cuma skandal artis saja, dimana tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap hidup kita. Riset Generation, sebuah organisasi nonpemerintah merilis datanya pada tahun 2016 bahwa satu orang Indonesia rata-rata akan menghasilkan 700 sampah plastik per tahun. Edan parah. Jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 264 juta jiwa (Google), dikali 700 hasilnya 184 Miliar plastik dalam satu tahun. Dari 2016 ke 2019 berapa tahun, hitung sendiri deh.

Saya gak akan banyak-banyak menjelaskan soal bahaya plastik terhadap bumi dan kehidupan manusia, soal kaitannya dengan bungkus indomie yang viral setelah 19 tahun dibuang, dan mekanisme pengolahan sampah di negara kita. Nanti dibilang sok paling peduli lingkungan. Oke kembali ke pilpres. Bahas dari definisinya ya, Pilpres adalah semacam kompetisi tinju antara cebong dan kampret.

Mau percaya atau tidak, terserah ya. Bahwa pemilu sekarang ini menjenuhkan. Saya memang bukan pengamat politik, atau pakar politik. Tetapi sebagai masyarakat saya berhak dong mengatakan itu. Dengan alasan sebagai berikut : kompetisi antar paslon yang semakin hari semakin panas akibat para pendukung saling hujat di media sosial. Narasi-narasi politik yang lebih banyak menyajikan kesan sindir-menyindir dari pada program kerja. Memang sih, ada kampanye program kerja, tapi seakan tak pernah ada karena selama ini yang menonjol adalah dukungan kepada sosok, bukan kepada program.

Nah, kira-kira dalam waktu dekat adakah dari salah satu paslon yang akan menyudahi krisis kepercayaan alias saling tuding, politik identitas, juga fanatisme politik yang sudah tidak berada pada batas kewajaran? Mengingat, keutuhan bangsa dan keharmonisan keluarga jauh lebih penting dari urusan pilpres.

Maka dari itu, saya telah menganalisis apa saja hal yang akan terjadi setelah pilpres sehingga masyarakat tidak perlu capek-capek ribut dengan orang terdekatnya hanya karena beda pilihan. Perlu disimak baik-baik, sesungguhnya apa sih yang akan terjadi setelah pilpres ini? langsung saja CEKIBROT.

Bulan Suci Ramadhan

Secara harfiah, Pilpres atau Pemilu serentak dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Sedangkan tanggal 1 Ramadhan diperkirakan jatuh pada minggu-minggu setelahnya. Jadi logis dong kalo setelah Pemilu ini yang akan terjadi ialah, umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Sering-seringlah meminta maaf kepada teman dan tetangga sebelum masuk bulan Ramadhan. Itung-itung menyucikan diri setelah masa-masa kampanye yang dipenuhi dengan saling hina dan menyakiti.

Hidup rakyat tetap B aja

Saya kira akan banyak yang sependapat dengan ini. Karena, gak mungkin elit politik menjamin semua pendukung politiknya kebagian jatah. Itu perkara mudah untuk dipahami kok, bahwa tugas dari elit politik itu kan memang bagaimana caranya supaya mereka dapat mengondisikan sebanyak-banyaknya suara dengan tuntutan yang sekecil-kecilnya.

Itulah kenapa hampir kebanyakan masyarakat tidak percaya lagi dengan janji politik di baligho-baligho yang terpaku di banyak pohon setiap pinggir jalan. Kalau tidak percaya searching deh, banyak hasil laporan risetnya kok. Keywordnya : Persepsi Masyarakat terhadap Janji Politik

Jadi ya, sudah dapat dipastikan, siapa pun yang menang. Semua akan tetap kembali kepada aktifitasnya, kembali kepada tetangganya, teman-temannya. Dan kembali pada apa yang ia miliki. Karena memang itulah realitanya, dan dari dulu kita tidak diajarkan untuk meminta apa-apa kepada Presiden. Jajan ya pake uang hasil kerja kita, nafkah keluarga juga begitu, terkadang makan dari hasil ladang kita. Justru itulah yang membuat Indonesia kuat dan mandiri.

Masih buang sampah sembarangan

Siapa pun presiden yang terpilih, itu tidak menjamin masyarakat Indonesia jadi baik dalam memperlakukan sampah. Salah satu contoh paling mudah yaitu membuang sampah pada tempatnya. Jangan harap kita punya laut yang asri kalau masih ada yang abis senja-senjaan di pantai, bekas rokok dan botol airnya dibuang ke laut. Atau berharap dataran rendah terhindar banjir kalau semua orang pada buang sampah ke sungai mumpung enggak ada yang lihat.

Istilah Cebong-Kampret tetap eksis sampai lima tahun mendatang

Bagi politik, oposisi harus dianggap sebagai kontrol. Dan istilah Cebong-Kampret akan dengan sendirinya membekas pada kekuatan politiknya masing-masing, baik itu pemenang pilpres maupun yang kalah dan nantinya disebut oposisi. Sehingga manifestasi dari kultur tersebut secara tidak sadar menjadi bagian penting dari jalannya pemerintahan selama lima tahun ke depan. Jika yang menang cebong maka yang menjadi oposan adalah kampret dan sebaliknya. Istilah itu tidak akan hilang begitu saja setelah pilpres selesai, apalagi rekam jejak digital sekarang gampang dicari.

Kamu masih tetep jomblo

Kalo ini urusan yang tidak dapat saya jelaskan, karena akan menyebabkan huru-hara dan perpecahan antar sesama anak bangsa. Hanya satu yang pasti, bahwa siapa pun presidennya jodoh tetap wasiat bapak.

Nilai kualitas konten