Begitu Ringan Menyematkan Status Munafiq

munafiq-breakpos.com

Mendengar kata munafiq saya teringat tentang teman sewaktu SMP, sepasang kekasih dari salah satu desa di Garut bernama Munaroh dan Taufiq, dan saya lebih sering menyeringai memunculkan gigi ketimbang harus mengernyitkan dahi ketika mendengar atau membaca kata munafiq ini. Dulu penamaan status cinta biar diikat menjadi sebuah perjodohan suci harus menggabungkan dua nama panggilan dari satu pasangan manusia yang saling mencintai. Entah budaya dari mana kami pun sebagai muda-mudi berbahaya, turut serta dalam mengamalkannya.

Saat teman-teman saya asyik menulis-nulis di atas kertas tentang nama apa yang paling bagus untuk mereka, saya hanya bisa termanggu di atas pohon delima kering, merenungkan betapa sendirian itu memang tidak enak (baper). Saat mereka menemukan nama yang pas, pasca penggabungan nama masing-masing, segeralah ramai-ramai gosip menyeruak ke seantero asrama dan mulai tersebar nama tersebut di meja sekolah, papan tulis, kamar mandi dan bahkan pohon durian. Seperti nama “Bautista” adalah singkatan dari Bayu dan Muti Selalu Tetap Abadi. Saya tidak perlu menjelaskan tentang singkatan Munaroh dan Taufiq Selalu Tetap Abadi.

Berlainan dengan kenangan kecil saya, baru-baru ini beredar tukang stempel di setiap jalanan, posko kampanye, rumah ibadah dan bahkan sampai ke TPS, bahwa penyematan “munafiq” kali ini bukanlah singkatan dari Munaroh dan Taufiq atau Munarwan dan Mbak Fiqa. Namun arti sebenarnya yang digunakan ialah untuk menilai seorang Muslim yang tidak berkepribadian Islami.

Awalnya saya tidak terlalu prihatin dengan masyarakat atau media sosial yang ramai saling balas komentar pedas tentang siapa yang lebih munafiq dan siapa yang paling mulia. Namun satu hal yang membuat saya tertarik adalah isu penolakan menyolatkan jenazah yang dianggap semasa hidupnya telah menjadi Muslim yang munafiq. Untuk hal ini meski agak ragu untuk setuju, saya masih cuma menghela nafas ringan, yang tadi masih mendingan, gak disholati karena memang memenuhi ciri orang munafiq sesuai hadits Nabi. Meski pun dasar hukum menyolati jenazah munafiq ini belum saya ketahui.

Tapi untuk alasan “sikap politik” kok saya agak heran dan merasa bodoh sendiri, sikap politik yang tetiba membuat status agama seseorang di mata orang lain menjadi hal yang perlu dihiraukan. Salah satu contohnya pendukung calon gubernur yang kemudian mendapatkan status munafiq dan mayitnya kelak haram disholatkan bahkan diurus.

Saya tidak perlu lagi sebutkan berapa gerangan artikel dan stasiun TV yang membahasnya. Intinya kondisi ini terjadi di Indonesia. Drama ini sungguhlah sangat menyakitkan telinga, karena beberapa kali saya berdiskusi dengan teman, guru, senior atau masyarakat, rata-rata mereka takut, kasihan, terancam bilamana sebagai seseorang yang memiliki hak politik, pilihannya dianggap merugikan umat Islam, tanpa ada penjelasan, klarifikasi dan analisis yang jelas.

Seorang Kyai dari Garut KH. Abdul Hanan semoga almarhum ditempatkan di tempat paling dekat dengan Allah. Ia adalah sosok Kyai yang sangat dekat dengan masyarakat kelas bawah, suatu saat ketika ada pengumuman seorang saudagar kaya meninggal dunia, masyarakat berbondong-bondong hadir demi membantu mengurusi jenazah keluarga tersebut, beda halnya beliau, tidak pernah mau datang mengurusinya karena satu hal, ia tahu bahwa esensi menyolatkan jenazah ialah fardu kifayah, ia mengerti kehadirannya di tengah keramaian tidak memberikan manfaat, maka dari itu setiap ada masyarakat tidak berkecukupan secara ekonomi meninggal dunia, beliaulah orang pertama yang hadir di tengah sepinya masyarakat yang berduyun-duyun. Karena lagi-lagi ia paham bagaimana menerapkan teori fardhu kifayah, dan ia ingin keberadaanya bermanfaat untuk sesama.

Karena itu, konsep kebermanfaatan dapat sangat dirasakan manakala kondisi yang dimana kita berada, sangat membutuhkan bantuan kita, sekalipun kompetensi yang belum mumpuni. Tidak sebaliknya, dimana kita berada, keberadaan kita tidak ada gunanya di tengah kondisi yang sudah tidak memerlukan bantuan.

Dari kisah tersebut, bahwa pertama seseorang yang ditinggal mati pasti sedang mengalami kesedihan, secara psikologis rasa dendam adalah buah dari bunga kesedihan yang dibiarkan terus menyala, kedua bahwa perbedaan pendapat mengenai menyolati jenazah yang semasa hidupnya menjadi Muslim munafiq, bukan hanya terjadi di kalangan akar rumput, tetapi bahkan di kalangan para Ulama. Lihat saja contoh sederhananya beberapa masjid memasang spanduk menolak mengurusi jenazah karena terlibat kasus demikian, sedangkan beberapa masjid lain menerima pengurusan jenazah yang terlibat kasus serupa.

Baru saja saya terilhami dari khutbah dosen filsafat Islam, tentang surah Al-Baqarah ayat 1 sampai 20. Secara garis besar ayat tersebut membicarakan klasifikasi golongan manusia menjadi tiga bagian, yang pertama adalah golongan manusia yang bertaqwa, kedua adalah gplongan manusia yang kafir dan terakhir adalah golongan manusia yang munafiq (hipokrit). Dalam penjelasannya, ayat tersebut membicarakan golongan muttaqin yang dijabarkan oleh tiga ayat pertama yaitu ayat 3, 4 dan 5, kemudian mengenai golongan orang kafir ditegaskan dalam dua ayat setelahnya yaitu ayat 6 dan 7. Sedangkan ayat tentang orang munafiq dijelaskan dari ayat 8 sampai 20. Kemudian dosen saya menyimpulkan di antara umat Muslim adalah yang paling banyak termasuk kategori ketiga, dan karenanya pula syarat-syarat menjadi munafiq dijelaskan sangat panjang dan banyak. Berbeda dengan orang yang bertaqwa dan kafir sekaligus, Al-Quran dalam konteks Al-Baqarah ayat 1-20 ini sangat tegas, jelas dan sedikit menjelaskan keduanya.

Selain itu, mendengar kata Munafiq sebagai mana hadits Nabi tentang ciri-ciri munafiq, secara tekstual hadits tersebut jelas sekali tidak mencantumkan pasal “mendukung pasangan calon gubernur tertentu” termasuk ke dalam ciri-ciri orang munafiq. Yang sangat jelas dari ciri-ciri orang munafiq ialah jika berbicara berbohong, jika diberi amanah mengkhianati, jika berjanji mengingkari. Adakah dari ketiga hal demikian yang belum pernah sama sekali kita lakukan?

Dan hak mengetahui seseorang pantas disematkan term “munafiq” hanyalah hak yang memiliki hati dan pikiran manusia. Sehingga Nabi Muhammad pun dalam kisahnya pernah memarahi sahabat yang membunuh musuh saat musim peperangan, ketika musuh telah mengucapkan kalimat tauhid di tengah kondisi pedang di depan lehernya. Rasul kemudian bertanya, kenapa kamu membunuhnya? Ia menjawab sambil ketakutan melihat Rasulullah marah “Karena kalimat tauhidnya hanya untuk menutupi kekafirannya.” Kemudian Rasulullah memerintahkan sahabat tersebut untuk membelah dada orang tersebut, ia disuruh memeriksa apakah benar di dalam hatinya, kalimat Tauhid itu hanya diucapkan agar ia tidak dibunuh? Sahabat tersebut pun menangis dan meminta maaf.

Maka dari pelajaran di atas, sebagai manusia biasa khususnya diri pribadi, yang terpenting dari ini semua adalah bagaimana kemudian kebermanfaatan kita di tengah masyarakat dapat diukur? Begitulah kiranya ucap Ridwan Kamil Walikota Bandung saat memberikan sambutannya di Masjid Agung dalam acara santunan anak yatim minggu lalu. Bukankah Gusdur pernah bilang, untuk menolong seseorang, kita tidak perlu bertanya apa agamanya, dengan itu jika kita ditolong, kita tidak akan pernah merasakan getirnya ditanya apa agama kita saat ditolong orang lain.

Mudah-mudahan pendapat saya salah, dan yang paling benar adalah kebenaran itu sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.