Bukalah Kacamata Kudamu!

kuda-breakpos.com

Mungkin sekitar dua tahun yang lalu, saya mengalami peristiwa yang menurut saya cukup menggelikan sekaligus mengherankan. Saat itu saya sedang mengajar di salah satu sekolah, saya lupa tepatnya sedang membahas topik apa, tapi yang saya ingat saat itu mengajar kelas 12 SMK. Pada sesi tanya jawab, ada seorang murid mengangkat tangan dan bertanya, “Pak, nikah sama orang NU itu boleh gak yah? Katanya ada yang bilang gak boleh.” Tanya dia polos.

Glek. Saya menelan ludah. Terasa agak geli tapi miris juga. Sebegitu parahnyakah paham eksklusivisme menyebar di otak anak ini? Saya sejenak berpikir, memilah dari mana saya harus mengawali jawabannya. Tak lupa saya memberikan apresiasi kepada si murid tadi.

Saya berusaha untuk menggiring murid-murid ke dalam pemahaman yang lebih luas, bahwa Islam itu bukan hanya masalah NU, Muhammadiyah, Persis atau Ormas Islam lainnya. Tapi Islam jauh lebih indah dan luas daripada yang mereka bayangkan. Saya berusaha menganalogikan bahwa Ormas Islam seperti sebuah kendaraan, yang terpenting adalah tujuannya, karena kendaraan tanpa tujuan adalah sia-sia, bisa-bisa nyasar.  Dan yang tak kalah pentingnya adalah jalan yang ditempuh kendaraan, sudah tepat dan akurat atau malah salah dan hilang arah.

“Ibaratnya, murid di kelas ini tentu tempat tinggalnya beda-beda, ada yang di daerah Kopo, Cibaduyut, dan daerah lain. Untuk menuju sekolah yang dari Kopo naik angkot jurusan Kopo-Kalapa, yang dari Cibaduyut naik angkot Cibaduyut-Kalapa, bahkan yang dari Ledeng naik angkot Ledeng-Kalapa. Semua pake angkot yang berbeda, namun punya tujuan yang sama dan jalan yang ditempuhnya jelas. Lalu, setelah kalian sampai di sekolah, kalian sama-sama duduk di kelas yang sama melakukan aktivitas yang sama, tanpa membedakan angkot apa yang kalian tumpangi. Kurang lebih seperti itulah gambarannya.” Jelas saya.

Murid-murid nampak mengangguk, meski demikian ternyata beberapa murid terpancing nalar berpikirnya, dan mengajukan pertanyaan tambahan. Hingga Alhamdulillah dengan penjelasan yang lugas dan sebisa mungkin dimengerti oleh anak muda zaman now itu, mereka mengerti. Dan yang penting si murid penanya tadi sudah terbantu menjawab pertanyaannya.

Namun di balik itu semua, ada sebuah tanda tanya besar yang menyeruak, mengapa si murid penanya tadi bisa berpikir demikian? Pastilah ada penyebabnya. Isu eksklusivisme sempat terpikir oleh saya. Dalam ilmu teologis, ada istilah yang dikenal dengan tipologi tripolar, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Tipologi ini dipopulerkan oleh Alan Race. Secara singkat mungkin dapat dipahami sebagai berikut; eksklusivisme merupakan paham yang menganggap “aku benar dan kamu salah”, inklusifisme adalah paham yang berdasar “aku benar, tapi mungkin kamu juga benar, namun kebenaranku superior”, sedangkan pluralisme bernegasikan “kita semua sama-sama benar dan sedang menuju kebenaran”.

Meski sebetulnya tipologi di atas dikritik oleh sarjana kontemporer karena cacat secara metodologis, tapi tipologi di atas masih sering digunakan para teolog di Indonesia, dan juga maksud saya membahas tipologi ini bukan kaitannya antar agama, namun lebih kepada intra agama itu sendiri, condong kepada sekte satu dengan sekte lain.

Kembali kepada isu eksklusivisme. Seperti yang disebutkan di atas, paham ini menganggap bahwa kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh kelompoknya, dan diluar kelompok mereka dianggap salah. Isme ini berimplikasi kepada sikap mengisolasi diri dari nilai-nilai, pandangan-pandangan, dan kebenaran yang datang dari luar. Bahkan yang lebih parah adalah sikap takfiri atau mengkafirkan orang di luar kelompoknya. Tentunya hal tersebut dapat menjadi biang keladi perpecahan intra bahkan antar agama.

Saya menganggap bahwa pemicunya adalah kurang piknik. Saya tidak bercanda. Saya berasumsi orang-orang semisal tadi dengan segala sikap eksklusif yang dimilikinya enggan untuk  bersosialisasi dengan orang-orang “luar”, seolah alergi dengan kehadiran pemikiran-pemikiran baru diluar kebenaran yang dianutnya. Mungkin perumpamaannya tidak jauh berbeda dengan alegori “Manusia Gua” dari Plato. Dalam bukunya yang berjudul Politeia, Plato menceritakan alegori manusia gua ini kepada Sokrates. Ringkasan ceritanya saya sadur dari Wikipedia, sebagai berikut:

“Maka adalah sebuah gua, di mana ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja.

Akan tetapi mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua.

Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa keluar. Ia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. Akan tetapi api membuat matanya silau, ia lebih suka melihat bayangannya. Lama kelamaan ia bisa melihat api dan lalu ia mulai terbiasa dan melihat orang-orang yang lalu lalang.

Kemudian ia keluar dan melihat matahari (simbol daripada kebenaran), yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat, sungai, padang dan sebagainya.

Lalu ia dipaksa kembali ke gua lagi dan hal pertama yang akan dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu ilusi mereka. Akhirnya mereka bukannya terima kasih tetapi akan sangat marah dan membunuhnya.”

Anda tentu paham bukan maksudnya? Manusia gua tersebut sibuk melihat bayangan yang semu dan lupa dengan realitas yang nyata di sekitar mereka. Mereka tidak beranjak dari dalam gua dan bahkan menolak piknik ke luar gua.

Jika analogi tersebut terlalu ribet, saya ajak Anda beralih memahami analogi dari Ulil Abshor Abdalla, pentolan JIL yang kabarnya kini sudah bertransformasi menjadi lebih sufistik. Ulil memakai istilah “kacamata kuda” untuk menganalogikan orang-orang eksklusif tadi. Seperti yang kita ketahui, mata kuda yang monocular menjadikan kuda lebih fokus melihat ke sisi samping dan lemah dalam melihat objek yang tepat di hadapannya.

Kacamata kuda sering kita lihat di kuda-kuda yang digunakan untuk delman. Tujuan dari digunakannya kacamata itu sederhana, agar kuda tidak kaget melihat kendaraan-kendaraan yang lewat di sampingnya. Dan agar kuda mudah menuruti kendali si kusir. Tapi imbasnya, penglihatan dan jarak pandang kuda menjadi berkurang, ia dipaksa melihat sesuai dengan apa yang dilihatnya di balik kacamata itu. Si kuda tak lagi bisa melihat objek-objek yang ada disampingnya, sehingga realitas yang ditangkap oleh matanya terbatas.

Itu pula yang terjadi pada orang-orang eksklusif tadi, mereka seolah-olah memakai kacamata kuda yang membatasi pandangan mereka dari realitas kebenaran di sekitarnya.

Dan kini sudah saatnya bagi saya, Anda, dan orang sekitar kita untuk membuka kacamata kuda itu, dan segera melihat realitas kebenaran yang bertebaran di muka bumi. Berpandangan luas itu harus dan seru! Coba saja kita mendaki gunung sampai ke puncaknya, apa yang bisa kita lihat di atas sana? Pemandangan indah nan menakjubkan bukan? Lalu bandingkan dengan sebuah kamar sempit yang minim penerangan dan tanpa jendela, apa yang kita lihat? Adalah sekat tembok yang memisahkan dan mengisolasi kita dari dunia luar.

So, kuy ah! Kita piknik, dan buang kacamata kuda kita. Berpandangan luas itu asyik kawan.

One thought on “Bukalah Kacamata Kudamu!

  1. Stepen Rikardo says:

    Ekslusifisme adalah wajah karakter sebagian masyarakat di belahan negeri kita, setuju tidak setuju fakta berbicara seperti itu, boleh-boleh saja ber’ekslusif’ tapi kalau eklusif menjadi ‘isme’ sepertinya tidak lebih baik.

    Allāh Mahabenar ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.