Celengan Haji Chatib

celengan-haji-breakpos.com

Langit diatas kampung cihonje mulai memerah pertanda adzan maghrib akan segera berkumandang, anak-anak kecil mulai dipanggil orang tuanya untuk membersihkan diri dan bergegas pergi ke masjid. Di kampung ini tiap selesai shalat magrib  berjamaah, anak-anak akan dikumpulkan dan diajari tentang agama atau mendengarkan cerita, yang biasa menjadi gurunya Haji Chatib, ilmunya luas, pertanyaan apapun asal ada singgungannya sama agama dia pasti bisa menjawab, bahkan terkadang pertanyaan yang nyeleneh dan tidak ada singgungannya sama agama sekalipun, dia bisa menjawabnya.

Usianya 80-an bahkan ada yang bilang sebentar lagi ia berusia 90 tahun. Tidak ada yang  tahu pasti, mungkin karena sekarang di kampungnya ia adalah manusia paling tua. Tidak ada juga yang tahu apa benar ia sudah pergi haji atau belum, tapi bagi warga Cihonje, dengan melihat kepribadiannnya selama ini dan ilmunya yang dalam dan luas tentang agama, mereka tidak perlu repot-repot memeriksanya ke kementrian agama buat memastikan Haji Chatib benar-benar sudah berangkat haji.

Isterinya sudah lama meninggal, anaknya pergi merantau ke kota bersama cucunya yang kini sudah menikah dan tingal menunggu waktu hingga ia punya buyut dari cucu perempuan pertamanya itu. Untuk mengisi waktunya sehari-hari, ia senang memperhatikan anak-anak kecil bermain, bahkan terkadang ia menyeru  anak-anak itu untuk berkumpul dan bermain di depan halamannya. Jika anak-anak mulai terlihat lelah, ia memanggilnya  dan membagikan makanan, tidak tentu makanan apa yang ia bagikan, tergantung pada tukang apa yang kebetulan hari itu lewat di depan rumahnya, kadang cincau, kadang tahu gejrot bahkan baso sekalipun ia pernah belikan untuk anak-anak, kadang tukang dagangnya ia ajak untuk makan bersama dan kalau bayar, ia suka membayarnya dengan uang recehan.

Kadang anak-anak kebingungan melihat Haji Chatib yang selalu menraktir mereka, karena tiap kali membayar ia pasti menggunakan uang recehan.

“Tadi kan mbah baru nyokelin celengan, makannya bayarnya pake recehan.” Begitu jawaban Haji Chatib tiap kali ada anak yang bertanya perihal uang recehnya.

Anak-anak tidak pernah ambil pusing dari mana uang itu ada, yang penting mereka makan gratis, dan itu sudah cukup. Kadang sambil makan, Haji Chatib senang menceritakan kisah-kisah pada mereka. Cerita yang ada di otaknya tidak pernah habis, tiap kali anak-anak makan, pasti ada saja yang minta diceritakan kisah-kisah, dan haji chatib kadang menceritakan kisah nabi-nabi, kadang kisah dulu saat penjajahan dan kadang kisah hidup Haji Chatib sendiri.

Selepas shalat maghrib ini anak-anak dikumpulkan lagi, tapi ternyata para orang tua pun tertarik untuk mendengar ocehan Haji Chatib, ceritanya selalu menarik, tidak pernah membuat mengantuk pendengarnya sedikitpun. Ia berbalik dari duduknya yang menghadap kiblat selepas mengimami shalat maghrib, khalayakpun langsung mengitarinya membentuk lingkaran besar di dalam masjid, anak-anak duduk dipaling depan, semua tertarik ingin mendengar cerita haji chatib dan mungkin karena senang melihat kakek tua itu tersenyum dengan gigi depannya yang sudah habis, jika senyumnya terlalu lebar, mata sipitnya hanya menyisakan guratan garis apalagi jika sesekali ia buka kopeahnya, anak-anak akan langsung menutup mulut menahan tawa melihat kepala hampir botaknya itu di sapu tangannya seolah rambutnya masih banyak, padahal tinggal secomot.

“Mau mendegar cerita apa?” Begitu pembukaan Haji Chatib setelah ia ucap salam di awal.

Para orang tua hanya menunduk dan menanti ada yang berbicara, anak-anak saling tengok dan sebagian berbisik pelan.

“Cerita mbah pas naik haji aja!” kata seorang anak menyeru lantang.

Haji Chatib tersenyum lebar, matanya menyipit. Perlahan ia buka kopeahnya dan ia sapu kepala botaknya dengan tangan kanan. Anak-anak saling memandang dan menutup mulutnya menahan tawa.

“Dulu kalo orang mau naik haji, harus berbulan-bulan tapi tidak semahal sekarang, si mbah lupa, kalo ga salah  hampir setaun dulu kesana, dan mbah pergi cuman bawa uang sedikit tapi si mbah tetep pergi kesana.”

“Trus makan gimana mbah?” tanya anak-anak.

“Ya beli makan.” Jawab si mbah sambil senyum.

“Kan uang nya cuman sedikit mbah”

“Ssssst! Biarin si mbah cerita!” kata anak di sebelahnya sambil menyubit temannya yang  bertanya terus itu.

“Pergi naik haji itu bagi yang mampu, mampu menjalankan rukun islam satu sampai empat, baru pergi ke sana, uang mah nyusul.” Jawab pak haji sambil senyum lebar.

Anak-anak tersenyum, mereka ingat haji chatib punya celengan yang ia selalu cogkel buat menraktir anak-anak, uang  nya tidak pernah habis meski celengan itu tidak pernah ia isi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.