Fix, Bullying Emang Udah Gak Lucu Lagi

KALEM.ID – “Hujat menghujat, caci maki, hate speech, bar-bar sudah terlanjur menjadi bagian dari hidup dan berkembangnya iklim media sosial kita.”

Lagi-lagi kita dibuat geram dengan sekelompok makhluk yang dinamakan “Anak Sekolah”. Betapa tidak, kasus pengeroyokan yang terjadi di Pontianak menyisakan begitu banyak bekas baik itu fisik maupun psikis. Audrey adalah salah satu dari sekian banyak korban kekerasan yang terjadi di Indonesia khususnya dalam dunia anak. Yang kebetulan juga beritanya ‘up’ ke berbagai media sosial. Pelaku dan korban dalam kasus ini masih dikategorikan sebagai anak-anak, sehingga ini menjadi pertanyaan kita, ada apa dengan dunia anak di negara berflower ini?

Ya siapa lagi biang keladinya kalau bukan sesosok makhluk bernama ‘Bullying’. Bagi anak-anak seusia sekolah, tak jarang kita menemukan kasus Bullying. Dan paling banter, kasus tersebut hanya masuk dalam catatan BK yang entah bagaimana solusi penyelesaiannya selain hanya ceramah dan nasihat yanga ada. Apa ada penyelesaian yang tegas terhadap kasus Bullying? Di beberapa sekolah mungkin ada dalam bentuk aturan dan program, namun di sebagian sekolah lainnya belum tentu. Khawatirnya, jika ada pihak sekolah yang menganggap Bullying sebagai dinamika anak. Mudah-mudahan tidak

Kita mungkin hanya berpikir bahwa kasus Audrey hanyalah ketololan dari si pelaku yang dikabarkan punya motif karena urusan asmara semata. Tetapi please check your fact before comments. Polisi sampai saat ini bahkan belum menentukan apa motif di balik pengeroyokan Audrey. Jadi tolong sekali lagi jangan jadi bodoh karena status atau postingan teman dan influencer anda oke.

Namun intinya, tidak dapat dipungkiri semua pihak sepakat bahwa kasus ini termasuk dalam kategori Bullying. Sementara semua media mengabarkan kampanye stop Bullying sebagai sesuatu yang klise. Hujat menghujat, caci maki, hate speech, bar-bar sudah terlanjur menjadi bagian dari hidup dan berkembangnya iklim media sosial kita. Inilah mengapa kita selalu akan menemukan video-video viral tentang perundungan.

Ya karena memang iklim media sosial kita terus begitu sirkulasinya, ada pembela ada pembully. Jangan salah loh, media atau media sosial juga turut serta terhadap perkembangan perilaku kita secara tidak sadar. Program-program TV yang makin hari makin jadi, menayangkan adegan Bully dalam arti bercanda juga tak akan pernah peduli dengan kondisi ini. Because advertising is more important than value.

Lalu perilaku Bully di program TV itu akan dengan mudah diterapkan oleh anak-anak di tempat yang dimana terdapat banyak teman seusianya, dimana lagi kalau bukan sekolah. Sekolah akan menjadi semacam laboratorium yang tepat untuk melakukan itu, dan bisa dibilang satu-satunya tempat paling mungkin. Sedangkan sekolah secara antropologis merupakan tempat berkumpulnya anak-anak dengan berbagai kondisi psikis yang berbeda.

Terbayang kan? Di TV kamu bisa dibully dan setelahnya kamu dibayar. Tuntutan media memaksamu yang tadinya tidak terima bully-an, menjadi harus bisa dan rela dibully jika ingin masuk frame. Cara kerja yang tidak mendidik tapi menghibur memang akan selalu menang di hadapan sesuatu yang edukatif. Dan kita suka dengan itu semua, sehingga ketertarikan kita mendatangkan nilai jual terhadap program TV tersebut. Dan pengiklan, sudah tentu ngiler melihat rating program yang melonjak. Sungguh kompleks kan masalahnya? Kita yang ciptakan kita pula yang menyangsikan.

Sedangkan kasus bully di sekolah, boro-boro dibayar. Maksud bercanda bagi pelaku terkadang selalu tidak tertangkap dengan baik bagi para korban bully. Dan itu juga tidak bisa jadi alasan mengapa bully diwajarkan, karena tadi, tidak setiap anak memiliki kondisi psikis yang kuat terhadap objek candaan dan tertawaan. Setelahnya, terkadang mereka melampiaskannya dengan menangis, marah dan bahkan berkelahi untuk membalas bullying.

Setelah itu terjadi, ada kondusifitas baru bagi anak-anak di sekolah, ya betul, contoh kekerasan sebaya. Itu terus menjadi fokus perhatian mereka, belum lagi berita dan konten visual dari berbagai tayangan di media sosial. Entah itu kekerasan supporter, kekerasan rumah tangga dan kekerasan-kekerasan lainnya yang terjadi di lingkungan sekitar.

Bijimana dong kalo sudah bijini? Tentu bukan perihal yang mudah diperbaiki. Namun setidaknya kita jangan pernah lelah untuk mencontohkan perilaku mendidik. Dari mulai kita sendiri, putuskan secara perlahan hasrat banyak berkomentar tentang sesuatu yang tidak kita ketahui.

Luapan amarah yang tidak dibarengi dengan fact checking memang akan lebih bergemuruh. Jadi, bisa kok sebenarnya kita melakukan penghentian atas segala kasus kekerasan di kemudian hari agar tidak ada lagi Audrey-audrey lainnya. Tapi masalahnya kamu mau atau tidak? Its so simple.

Aku percaya, kasus Audrey ini merupakan bahan yang sangat kontemplatif bagi kita sebagai bagian dari masyarakat dewasa. Patut menjadi perhatian bagi kita bahwa mendidik bukan cuma tugas guru, sekolah, Kemendikbud apalagi. Sekali lagi, kita yang berprofesi sebagai apa pun sebetulnya bisa dengan mudah mendidik anak-anak di lingkungan sekitar kita untuk menjadi pribadi yang anti-bullying. So, yuk mulai berbenah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.