Berpuasa di Indonesia biasanya terasa jadi seperti festival tahunan. Semua orang akan ramai-ramai merayakannya dengan berbagai macam cara, mulai dari ganti penampilan, pasang status bijak, instastory yang isinya ‘ngabuburit’, sampai tak lupa selfie buka bersama dengan teman-teman dari TK sampai kuliah. Pokoknya, pada bulan Ramadan itu terasa sekali kita ini sedang menjalani bulan puasa.
Saya yang sedang tidak di Indonesia tidak merasakan suasana yang sama. Di tempat saya sekarang, Inggris, bulan Ramadan tidak disambut warga dengan meriah, tentu saja karena mereka tidak tahu apa itu. Mulai terasa lah bagi kami manusia Indonesia, bahwa jadi orang Islam itu paling enak ya kayanya memang di Indonesia.
Di sini kami berpuasa 18 jam sehari karena kebetulan Ramadan jatuh di musim panas, mulai jam 3 pagi sampai jam 9 malam. Kalau membandingkannya dengan Indonesia, awalnya saya berpikir apa kuat ya? Ternyata sebetulnya tidak jauh berbeda, haus dan laparnya sama saja. Yang jadi kekhawatiran bagi kami adalah ngantuknya, bayangkan kalau kami ketiduran jam 8 malam lalu terbangun jam 4 subuh, maka hilanglah buka dan sahur kami sehingga harus lanjut puasa selama dua hari, gereget.
Saya tadinya mau sombong bisa puasa 18 jam dan kuat-kuat saja, tetapi ternyata ketika saya iseng cek, kawan-kawan yang ada di Finlandia kalau ikut aturan puasa dari subuh sampai magrib mereka akan puasa selama 22 jam. Seketika saya menelan ludah, artinya kalau puasa, orang-orang ini akan yang menggabungkan buka dan sahur di waktu yang sama. Tapi alih-alih mengikuti waktu yang justru banyak mudaratnya itu, orang-orang ini dibolehkan berpuasa mengikuti waktu negara terdekat yang sekiranya mereka kuat menjalani puasanya. Katakanlah Inggris, maka mereka bisa bersahur dan berbuka di waktu yang sama dengan kami.
Saya jadi berpikir, bagaimana kalau kebetulan ada orang Islam di kutub utara, yang siangnya enam bulan dan malamnya enam bulan. Kemudian mereka berpuasa ikut aturan awal maka bukannya dapat berkah, yang ada mereka modar jika puasa di sana.
Jadi rasanya kalau definisi puasa hanya menahan lapar, haus, dan libido dari subuh sampai malam, rasanya jadi tidak adil bagi semua orang. Berpuasa pastilah dimaksudkan menggapai sesuatu melalui latihan mengendalikan lapar, haus, dan sanggama. Pernah dengar kan orang-orang dulu yang melakukan tapa geni supaya mendapat kesaktian, mereka tidak makan, tidak minum, dan sedikit tidur. Ada juga kan hadis yang bilang soal anjuran berpuasa bagi orang yang belum sanggup menikah, ini bukan semata-mata agar libido tidak berkeliaran ke tempat-tempat yang tidak lazim. Tapi juga untuk menaikkan kapasitas dan daya ‘sakti’ seseorang hingga ia layak menikah.
Sehari berpuasa badan terasa lemas dan kepala pening bukan main, tapi di hari-hari berikutnya badan menjadi terbiasa. Sesekali perut berguncang dan seperti menggigil tapi tidak jadi masalah, tubuh mengeluarkan hawa panas karena sel-sel mulai beradaptasi. Karena tidak dapat suplai energi dari luar, ia dipaksa mengeluarkan energi dari dalam dirinya sendiri. Isi perut kita terbarukan dan organ tubuh kita mulai mencapai fungsi maksimalnya. Karena itulah puasa identik dengan pertapaan dan perubahan, disadari atau tidak, indera-indera kita menjadi jauh lebih peka ketika berpuasa.
Berburu Tajil
Berpuasa di luar negeri tidak menghilangkan naluri saya sebagai mahasiswa Indonesia. Berburu tajil gratis itu semacam keseruan tersendiri ketika bulan Ramadan, dan ternyata di sini pun ada. Bagi mahasiswa yang masih single tentu tidak ada gunanya berharap ada yang masakin di rumah, jadi lebih baik pergi ke masjid atau Islamic Society terdekat untuk ikut antre di sana.
Kurang lebih sama kondisinya seperti di Indonesia, sepuluh menit sebelum buka kami sudah berada di ruangan, dan bukan hanya tajil yang diberikan, tapi juga makan beratnya. Setiap hari kalau Anda kuat makan makanan India dan Pakistan maka insya Allah, satu bulan penuh tidak perlu mengeluarkan sepeser pun uang beasiswa. Karena meskipun menu buka porsinya segede gaban, masih ada sisa yang bisa dibawa pulang untuk sahur. Subhanallah, berkah anak-anak (mendadak) saleh yang ingin irit.
Tapi sejujurnya alasan saya menjadi pemburu buka puasa gratis bukan karena ingin irit. Lebih karena buka puasa bersama banyak orang lebih terasa menyenangkan. Karena jumlah muslim sedikit, perasaan kelaparan bersama bisa menyatukan kami jadi seperti saudara. Lagi pula di sini tidak ada spanduk “hormati orang yang berpuasa” atau warteg yang ada gordennya, sehingga, sedikit saja ada nuansa puasa bisa menjadi sangat membantu.
Dengan berpuasa di sini, saya menyadari betapa nikmatnya berpuasa di Indonesia, betapa enaknya jadi orang Islam di Indonesia. Sayangnya, karena saking enaknya itu kita jadi agak manja. Sayangnya, karena itu juga kita jadi tidak peka dan tidak pernah memikirkan perasaan orang lain.