Terpujilah wahai engkau ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S’bagai prasasti trima kasihku ‘ntuk pengabdianmu
Terpujilah wahai Engkau Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S’bagai prasasti trima kasihku ‘ntuk pengabdianmu
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, pembangun insan cendekia[1]
Tidak berlebihan mengatakan bahwa pendidikan merupakan pintu gerbang untuk masuk ke dunianya manusia. Melalui pendidikan kita bisa bersinggungan secara langsung dengan proses kaderisasi yang kompleks perihal generasi mendatang.
Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia sebagaimana diistilahkan Aristoteles adalah zoon politicon yang kehadirannya di dunia tak bisa berlepas diri dari pertolongan manusia lainnya. Dalam istilah lain, Adam Smith menyebutnya sebagai homo homini socious yang tak lain bahwa manusia merupakan sahabat bagi manusia lainnya.[2] Manusia akan dibelajarkan tentang bagaimana caranya berinteraksi dengan manusia lain dalam rangka mewujudkan tujuan masing-masing melalui proses pendidikan. Dalam pada itu, melalui pendidikan potensi tersembunyi yang dimiliki oleh setiap manusia pun berpeluang untuk berkembang.
Membicarakan pendidikan terkhusus di Indonesia tidak bisa selesai dalam satu kali duduk seperti halnya membaca cerita pendek romansa cinta atau membaca sepuluh puisi berdiksi sakti. Tidak sesederhana itu. Beragam masalah yang tengah menggerogoti tubuhnya tidak bisa hanya diberi obat berupa kritikan saja. Lebih dari itu, gagasan-gagasan brilian dari pihak-pihak yang masih peduli begitu dibutuhkan. Tak masalah ketika sekarang masih belum bisa diterapkan karena alasan satu dan lain hal. Suatu saat nanti dengan dinamisasi bidang pendidikan akibat implikasi dari berkembangnya zaman, ada kemungkinan gagasan-gagasan tersebut bisa diterapkan. Ide-ide yang dianggap gila hari ini suatu saat nanti akan dicari-cari. Oleh karenanya, bagi siapapun yang memiliki ide gokil bagi kemajuan pendidikan Indonesia harusnya diberikan tempat khusus untuk merawatnya supaya selalu tumbuh subur.
Hari ini saya mulai jengah dengan teriakan-teriakan di kalangan akar rumput yang selalu menghujat pemerintah tentang tumpulnya gebrakan memajukan pendidikan Indonesia. Bukan apa-apa, mereka hanya menularkan virus kebencian, tidak hormat pada pemimpin, dan hanya menjadi generasi pencela. Namun, miskin menawarkan solusi atas kritikannya itu. Seminimal-minimalnya memberikan masukan bagi pengambilan keputusan pemerintah. Saya ber-husnudzan bahwa pemerintah telah berupaya mengemban amanahnya itu dengan sebaik mungkin dan tentu dalam prosesnya butuh waktu yang tidak sebentar untuk merasakan dampaknya. Jadi, mbok yah sabar, sambil juga kita terus berkarya bagi bangsa.
Saya tidak berdiri di pihak pemerintah hanya karena keberatan atas sikap orang-orang yang mengkritik pemerintah di paragraf tulisan ini sebelumnya. Sama sekali tidak. Pun saya juga tidak berada di golongan orang-orang yang hendak menunjukan kepeduliannya melalui kritik yang dilayangkan kepada pemerintah. Pada tulisan ini saya hanya ingin memproklamirkan diri sebagai orang yang gaya-gayaan berdiri di pihak yang benar. Tengah berusaha menjadi. Oleh karena itu, kalau sekiranya kebijakan pemerintah terhadap regulasi pendidikan dinilai mengundang mudarat yang lebih banyak maka saya akan ikut bersuara untuk mengingatkan. Saya akan bergabung dan memberikan dukungan bagi orang-orang yang menegur pemerintah, dengan tanpa mengesampingkan etika tentunya.
Permasalahan di ranah pendidikan terlalu luas jika hanya dituliskan dalam beberapa halaman kertas ini saja. Bahkan untuk diperbincangkan dalam diskusi demi diskusi dan seminar demi seminar, topik tentang pendidikan akan selalu terus bergulir tak kunjung henti. Karena alasan itu, saya akan membatasi esai ini dengan kondisi guru hari ini dari perspektif seorang mahasiswa pendidikan. Semoga memberikan sedikit kontribusi bagi perbaikan pendidikan Indonesia, sekurang-kurangnya menjadi wacana yang renyah untuk diperbincangkan.
Guru Minim Kompetensi dan Prestasi
“Guru yang baik itu bagai petani. Mereka menyiapkan bahan dan lahan belajar di kelas, memelihara bibit penerus bangsa, menyirami mereka dengan ilmu, dan memupuk jiwa mereka dengan karakter yang luhur. Guru yang ikhlas adalah petani yang mencetak peradaban.” (Ahmad Fuadi).
Saya begitu tertarik dengan quote dari Ahmad Fuadi ini. Menurutnya, sosok guru digambarkan layaknya petani yang begitu telaten mengurusi benih padi di sawah. Padi di sini tak lain yaitu analogi bagi para siswa. Sesuatu yang dibesarkan dengan cinta kasih akan tumbuh dengan sangat baik. Tak terkecuali dalam proses pendidikan di sekolah dengan kesungguhan upaya guru untuk membelajarkan serta mendidik siswanya.
Salah satu komponen pendidikan yang menurut saya urgen untuk dibenahi—tanpa bermaksud mengesampingkan komponen lainnya—adalah mengenai guru. Sebagus apapun kurikulum yang dijalankan, tatkala guru sebagai pelaksananya tidak memiliki kompetensi yang mumpuni, hasilnya tetap tidak akan berubah lebih baik. Menjadi sangat mendesak untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia hari ini.
Guru acap kali mengambinghitamkan kesibukan mengajar di kelas dan mengurusi administrasi untuk tidak belajar menggunakan IT dalam rangka menunjang kesuksesan belajar siswa. Meminjam ungkapan dosen Evaluasi Pembelajaran saya di jurusan, kesibukan adalah konsekuensi yang harus ditanggung ketika memilih jalan hidup menjadi seorang guru. Guru harus terampil mengelola waktu sehingga semua kewajibannya tertuntaskan dengan rapi.
Lagu lama, guru lebih asyik memperagakan kemahirannya bercerita meskipun nyatanya membosankan dalam hal menerangkan materi. Hal yang lebih parah adalah, guru malas membaca buku sehingga materi yang diajarkan hanya itu-itu saja sebagaimana yang diperoleh ketika kuliah S1 dulu. Bagaimana anak didik akan bertumbuh lebih baik kalau gurunya saja ogah-ogahan meningkatkan kapasitas dirinya. Seringkali siswa yang akhirnya menjadi korban tidak berkembang potensi kognitifnya karena guru hanya datang memberikan tugas. Bersembunyi di balik alasan yang dibuat-buat padahal sebenarnya tidak penting-penting amat.
Bila tingkah guru seperti demikian, mau di bawa kemana para generasi muda Indonesia? Nasihat dari Buya Hamka perihal karakter guru berikut, perlu kita renungkan. “Pendidik berkewajiban membangkitkan semangat pada anak-anak yang dididiknya. Anak-anak harus digembirakan dan jangan dipangkas pucuknya yang akan tumbuh. Jangan selalu dipatahkan. Apapun pekerjaan yang dikerjakannya dengan gembira, asalkan jangan melarat, janganlah dilarang, tetapi sambut dan tuntunlah.”[3]
Guru pun sepatutnya setiap tindaknya layak untuk diikuti. Setiap ucapnya membangkitkan percik motivasi untuk lebih berani menghadapi hidup esok hari. Guru selayaknya lebih dikagumi ketimbang super hero mana pun yang kenyataannya hanya sekadar tokoh fiksi. Meski pada akhirnya untuk sampai di tahap ini, harus banyak peluh yang tertetes, mesti berdarah-darah dalam menekan amarah, dan menelan waktu yang tak sebentar dalam menggapainya. Entahlah, apakah saya bisa menjadi sosok guru ideal seperti yang saya karang-karang sendiri di tulisan ini. Setidaknya setiap kecaman yang saya layangkan pada kondisi guru hari ini akan menjadi autokritik bagi diri saya sendiri di suatu saat nanti. Berharap tulisan ini menjadi pengingat atas sikap mengemban amanah yang memungkinkan tergelincir hanya karena kepentingan sesaat, keperluan yang mendesak untuk dipenuhi.
Integritas Guru yang Bias
Permasalahan berkaitan dengan guru bermula dari sistem perekrutaan guru yang dinilai masih kurang baik. Terlalu permisif. Sehingga orang-orang yang hanya bermodalkan keinginan untuk mendapat gaji aman tiap bulan, dengan mudahnya mendapat titel guru. Segala cara ditempuhnya demi mendapat kursi menjadi abdi Negara. Bahkan uang sakti puluhan juta pun diikhtiarkan untuk membeli satu posisi guru PNS. Walau harus pinjam sana-sini atau menjual kerbau hingga menggadaikan sertifikat rumah untuk menebusnya. Mata orang-orang seperti ini telah dibutakan oleh ambisi hidupnya. Tak ada bedanya dengan hidup binatang yang lebih mementingkan kepuasan perut ketimbang cara memperolehnya. Pemerintah terkait yang membukakan pintu bagi orang-orang seperti ini pun ikut andil memikul dosa korupsi yang tak lain buah dari penyimpangan pola pendidikannya terdahulu. Mungkin pula karena didikan gurunya yang berperilaku serupa. Ah, mungkinkah ini dosa turunan?
Mentalitas guru semacam ini patut dipangkas dari semenjak tumbuh. Memang bukan pekerjaan mudah, namun pula tidak mustahil. Guru dengan idealisme mengabdi tingkat tinggi harus mendeteksi sejak dini gejala yang menuju ke perilaku koruptif ini. Praktik kecurangan dalam ujian, pengecekan tugas dengan teliti dan berbagai celah benih berbuat culas harus diperangi secara bersinergi antara siswa, guru, orang tua hingga tenaga kependidikan yang menyaksikan transaksinya di sekolah. Kalau hanya mengandalkan guru saja, walhasil perbaikan yang diharapkan hanya akan menjadi mimpi di siang bolong saja: mustahil
Integritas guru yang kini mulai bias ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk sesegera mungkin dicarikan jalan keluarnya. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah yang mengurusi pendidikan saja atau institusi yang melahirkan para guru-guru baru. Pihak yang memiliki kepedulian terhadap kemajuan pendidikan Indonesia harus merasa berkepentingan untuk menjadi “CCTV berjalan” yang merekam tindak-tanduk guru di persekolahan. Apabila setiap lapisan warga Negara memiliki kepedulian yang mendalam terhadap kondisi perkembangan pendidikan Indonesia terkhusus kondisi guru maka dapat dipastikan kondisi pendidikan akan membaik dari hari ke hari.
Saya sepakat dengan pernyataan sikap dari Wawan Darmawan dalam tulisannya yang berjudul Potret Guru dalam Tiga Zaman tentang suksesnya pendidikan Indonesia yang berpangkal dari guru akan sangat ditentukan oleh lembaga pendidikan pembentuk tenaga keguruan, organisasi profesi, dan sistem kesejahteraan guru[4]. Ketiga unsur ini idealnya mendukung kebijakan sejahteranya para guru. Melalui jaminan perlindungan hak-haknya, guru akan fokus pada pendalaman karakternya selaku pendidik yang bertugas mencerdaskan generasi bangsa. Tidak akan ada lagi cerita guru menjual LKS demi menambah pemasukan untuk uang saku. Tidak akan terdengar lagi guru mengkomersilkan jam tambahan belajar (baca: les) memanfaatkan keluguan siswa-siswa.
Menata Niat Mendidik
Arah motif menjadi guru tak ubahnya sebuah kapal besar yang tengah berlayar di lautan. Perlu dikemudikan dengan cermat sehingga sukses menghantarkan penumpangnya menuju tempat tujuan. Tidak mudah memang, harus ada keahlian tingkat tinggi dan komitmen yang kuat dari sang nakhoda. Namun, percayalah seseorang yang menjadi perantara tersampainya sesuatu pada sesuatu yang ditujunya (tujuan baik) akan terciprati kebaikannya.
Tak ayal lagi, menjadi guru adalah profesi yang mulia. Seperti yang tersurat dalam 3 baris terakhir lirik himne guru di atas, bahwa guru menjadi penerang ketika gelap menyergap, menjadi penyejuk ketika haus menerpa, dan disejajarkan dengan para pahlawan bangsa karena bakti dan ketulusannya memberi arti.
Kalau kapal besar tadi bisa berlayar tanpa kendala karena ada bahan bakar berupa bahan bakar minyak, semisal solar misalnya. Maka untuk menjadikan guru tetap menggebu-gebu semangatnya dalam mengantarkan siswanya menuju ke taraf manusia utuh adalah dengan niat yang ikhlas dan tulus suci. Mari sama-sama menata orientasi niat mendidik tidak semata karena mengejar limpahan materi, namun sebagai wujud syukur telah diberi anugrah ilmu yang luas dari sang Illahi Rabbi.
[1] Romdlon, Nur. (2015). Ternyata Lirik Lagu Hymne Guru Sudah Diubah, Jangan Salah Nyanyinya Ya. [online]. Tersedia: https://www.brilio.net/news/ternyata-lirik-lagu-hymne-guru-sudah-diubah-jangan-salah-nyanyinya-ya-151206k.html, diakses 5 Juni 2016.
[2] Wikipedia. (2015). Zoon Politikon. [online]. Tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Zoon_Politikon, diakses pada 5 Juni 2016.
[3] Hamka. (2014). Pribadi Hebat. Depok: Gema Insani: halaman 150.
[4] Darmawan, Wawan. Potret Profesionalisme Guru dalam membangun Karakter Bangsa, Pengalaman Indonesia dan Malaysia: Potret Guru dalam Tiga Zaman. Bandung: UPI Press: halaman 337.