KALEM.ID – “Andai saja, Hidlirnya Musa pengikut HTI, pasti lain lagi ceritanya”
Andai saja, Hidlirnya Musa pengikut HTI, pasti lain lagi ceritanya. Tak ada cerita Nabiyuna Musa gagal ujian tes penerimaan santri baru. Alih-alih melubangi perahu, Hidlir malah akan menghiasi perahu si nelayan. Ia akan melenggang setelah hiasannya selesai dan menganggap telah menjadi teladan yang baik bagi muridnya. Tanpa tahu bahwa di belakangnya, si nelayan Indonesia meratap karena kapalnya dirampas penjajah.
Alih-alih membunuh anak yang berbakat mengkafirkan orang tuanya, ia malah akan memberi permen anak itu dan berkata pada Nabiyuna Musa, “Anak kecil harus kita sayangi.” lalu beberapa tahun kemudian, si anak menjadi malapetaka bagi akidah daerahnya.
Alih-alih menegakkan bangunan gubuk yang reyot hampir rubuh, ia akan merubuhkannya sebagai dendam kepada penduduk kampung itu karena mereka tidak menghormati tamu, apalagi tamu mereka adalah seorang Nabi dan seorang utusan Tuhan yang legal. Beberapa tahun kemudian, dua anak keturunan orang sholih itu menjadi perampok karena himpitan ekonomi. Dua anak itu menjadi antipati pada agama. Keduanya menganggap bahwa kesholihan kedua orang tua mereka tiada gunanya karena mewariskan kemiskinan pada keturunannya. “Sana, masuk surga sendirian sana, lalu sisakan neraka dunia untuk anak kalian…” umpat dua anak itu. Kalaupun Hidlir mau memperbaiki gubuk reyot itu, ia akan meminta upah pada warga sekitar. Menyisakan tradisi meminta upah untuk kebaikan yang tak diminta. Tradisi pungli.
Untung Hidlir bukan HTI dan Islam garis simbol lainnya.