Sebetulnya saya tidak begitu peduli dengan alasan pemerintah melahirkan perppu, karena bagi saya pendapat (bukan ideologi) apa pun selagi itu disampaikan dengan cara-cara yang dibenarkan, bukanlah bagian dari penghianatan terhadap pancasila. Saya sendiri juga cukup bingung kenapa tiba-tiba tidak ada angin tidak ada hujan, buntut dari perppu ini adalah pembubaran HTI. Terlepas dari pernyataan Cak Nun mengenai dana yang ‘katanya’ diterima PBNU, pribadi saya enggan untuk menyatakan dan bahkan sependapat dengan pemerintah soal pembubaran HTI.
Saya bukan orang yang aktif di organisasi HTI, saya juga tidak berada di lingkungan yang sering kali menilai tatanan demokrasi itu adalah produk manusia yang harus ditinggalkan. Apalagi saya dibayar untuk ini, sue. Tapi sebagai seorang warga negara yang punya hak mengemukakan pendapat, saya rasa pendapat saya mengenai perppu ini adalah hak yang tidak bisa dilarang, begitu juga pendapat HTI yang tidak perlu dinilai berlebih sebagai tindakan anti pancasila.
Sebagai seorang anak, saya disekolahkan oleh ibu bapak saya di lingkungan sekolah yang setiap hari senin mengadakan upacara, dimana dalam salah satu sesinya ada pembacaan pancasila, selama hampir 12 tahun saya sekolah tentu sudah ada sebanyak 576 kali saya mendengarkan petugas upacara membacakan pancasila, itu pun belum dikuragi dengan jumlah bolos-bolosan. Selama itu pula saya meyakini bahwa pada dasarnya pancasila itu bukan suatu ideologi yang mempertentangkan pendapat dan komentar yang sering dikemukakan HTI.
Karena jika iya, pendapat mengenai Islam bertentangan dengan pancasila juga dapat dibenarkan, sedangkan para tokoh agama dan nasional sepakat, tidak ada satu butir bahkan tafsir pancasila yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Kekeliruan pemerintah yang memposisikan pancasila sebagai bodyguard nyatanya agak aneh, pancasila menurut saya bahkan merupakan ideologi yang sangat bijak, yang bisa menerima dan menampung setiap pendapat, kecuali jika benar-benar jelas negasi-nya terhadap ke lima silanya.
Kewas-wasan pemerintah terhadap bakal hilangnya ideologi pancasila karena kegiatan-kegiatan atau pendapat-pendapat HTI bisa dikatakan salah memosisikan pancasila, begitu rendahnya pancasila jika harus dikatakan terancam oleh sekelompok, hanya sekelompok orang. Tentu saya pun menghargai apa yang dikatakan Pak Wiranto tentang “pemantauan” terhadap organisasi-organisasi yang mengancam NKRI dan pancasila. Namun sayangnya Pak Wiranto tidak membagikan hasil pantauannya itu kepada publik, sehingga wajar saja publik mempertanyakan, naha kitu gening?
Saya sudah mengemukakan sikap saya soal perppu, sekarang saya juga akan mengeluarkan hak berpendapat saya kepada HTI, saya memandang bahwa selagi dakwah yang dilakukan oleh HTI tidak mengganggu secara fisik (teror misalnya), itu wajar-wajar saja dan boleh jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia. Saya juga tidak akan banyak mengomentari soal khilafah, saya yakin jika didebat oleh pak Ismail Yusanto saya pasti kalah.
Namun ada beberapa hal yang menurut saya juga harus diperhatikan oleh HTI, sebelum itu saya ingin mengingatkan bahwa setelah lahirnya perppu dan sebelum HTI resmi dibubarkan, TVONE khususnya ILC menyajikan diskusi soal perppu, salah satu pembicara yang berasal dari LSM Sosial Politik yang sayangnya tidak ditulis nama LSM-nya, ia mengemukakan kritiknya kepada HTI, dan kritik tersebut hanya mengarah kepada prinsip khilafahnya serta terlalu tendensius dan sangat tidak pancasilais meskipun objek yang dibelanya adalah pancasila. Bukan kritik demikian yang akan saya sampaikan.
Sekali lagi bagi saya prinsip khilafah silahkan saja, selagi HTI tidak melarang saya berprinsip demokrasi, oke. Pertanyaan saya dari sejak dulu mengenal HTI adalah sebetulnya khilafah seperti apa yang akan ditegakkan? Telah banyak buletin AL-ISLAM bahkan hampir semua, yang menyebutkan istilah “khilafah minhaj nubuwah”, saya sebagai orang awam tidak mengerti, malah bisa jadi pengertian saya salah soal khilafah minhaj nubuwah, karena saya tidak menemukan penjelasan HTI tentang seperti apa sebenarnya sistem, mekanisme dan prosedur yang berlaku dalam prinsip yang selalu digaungkannya. Buletin AL-ISLAM hanya menegaskan sistem khilafah yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, padahal untuk membangun suatu tatanan negara, seperangkat hukum positif, regulasi serta mekanisme mesti juga dirancang.
Selain itu, HTI juga harus konsisten ketika benar-benar menyebutkan bahwa ia akan mendirikan khilafah dan membuang ideologi apa pun dalam kekhilafahannya. Karena pada faktanya di salah satu program KompasTV Aiman Wicaksono mewawancarai Pak Ismail Yusanto mengenai pancasila dan nasib pancasila ketika ‘misalnya’ khilafah yang dimaksudkan tegak. Wawancara itu dilakukan Aiman pada momentum pak jokowi akan meng”gebuk” organisasi yang dinilai anti pancasila atau lebih tepatnya berdekatan sebelum hari lahirnya perppu, jawaban yang dikeluarkan Pak Ismail Yusanto kurang memuaskan saya, karena beliau hanya bilang kurang lebih “kita tidak tahu, kita akan menunggu instruksi dari pusat.”
Sebagai Jubir, beliau tidak benar-benar tegas sebagaimana jubir KPK, beliau tidak menyatakan “betul” bahwa pancasila tidak akan digunakan, meskipun pertanyaan Aiman hanya pertanyaan imajiner, Pak Ismail tidak benar-benar jujur atau memang benar-benar tidak tau, tapi masa iya tidak tau? Ada ketidak-istiqomahan dari jubir HTI dalam konteks itu (wawancara Aiman). Bukan soal HTI menggugat perppu ke MK, itu soal basi bagi saya, kalo HTI menolak demokrasi kemudian meminta perlindungan MK wajar-wajar saja, memangnya kenapa? Masalah? Sebagaimana air, HTI juga harus beradaptasi dengan waktu dan tepat dimana ia berada, karena itu wajar jika ia mengajukan gugatan melalui mekanisme demokrasi, daripada pemberontakan?
Lalu ketidak-istiqomahan lainnya terlihat dalam acara ILC, waktut itu pak Fadli Zon sebagai orang yang menolak perppu berbicara sambil melayangkan pendapatnya kepada pak Ismail Yusanto yang berada di sampingnya bahwa “HTI mendukung pancasila (iya kan pak Ismail?)” pak Ismail mengangguk-angguk, bahkan saat bagiannya bicara, beliau menyindir pemerintahlah yang malah bertentangan dengan pancasila, dengan fakta-fakta yang disebut pak Ismail waktu itu. Pak Ismail seakan-akan ‘membenarkan pancasila’ dengan memanfaatkan kesalahan-kesalahan pemerintah. Padahal beberapa sumber resmi HTI mengatakan secara implisit bahwa tidak ada ideologi yang diperjuangkan di dunia ini oleh HT kecuali ideologi bernegara yang dimaksud HT itu sendiri.
Nah, keduanya sudah sama-sama saya kritik tinggal sekarang antara HTI dan pemerintah sama-sama dewasa, silahkan saling berdamai, jika memang HTI punya kritik terhadap pemerintah, kritik saja soal kapitalismenya, ketidakadilan sosialnya, keterlibatan asingnya, saya sangat setuju, tapi berbeda halnya jika kritik tersebut pada ujungnya dinilai akibat sistem demokrasi dan pancasila. Mau bagaimanapun kesalahan akan tetap salah, tidak ada jaminan dari sistem negara ataupun ideologinya, begitu pun kebenaran.
Jika HTI mau mendakwahkan prinsip bernegaranya yang merupakan bagian dari muamalah, silahkan saja dakwahkan jangan mengait-ngaitkannya dengan kekufuran atau hal-ihwal ubudiyah lainnya. Begitu pun pemerintah, biasakan bijak, jangan terlalu tegang dan jangan banyak diam di kantor, harus banyak piknik, kenapa pemerintah tidak sesekali berkunjung ke kantor HTI, untuk mendengarkan dan memberi pengertian kepada HTI. Saya rasa yang bermasalah bukanlah antara “Pancasila Versus Khilafah” tapi yang bermasalah adalah pribadi-pribadinya.
“Mbok ya anumu itu jangan dianukan ke anunya anu” kata Markesot kepada bapaknya.
Apa susahnya maaf-maafan? Jangan nunggu lebaran, nanti keburu raisa nikah, hari patah hati nasional jilid dua, trus benci-bencian lagi? Kaya gini lagi? Jatuh ke lubang yang sama lagi? Gak iri sama Korea Utara yang udah punya nuklir? Gak iri sama Qatar, kecil-kecil maung? Gak iri sama Inggris yang punya Liga sepakbola terbaik?
Sekali lagi musti dipahami, saya tidak menulis ini karena HTI dibubarkan, juga tidak menulis ini karena menilai pemerintah yang berpotensi otoriter (itu terlalu berlebihan). Sebab saya juga akan menulis hal yang sama jika nasib pembubaran menimpa kepada organisasi lain yang hanya menggunakan hak berpendapatnya dan melihat sebagian orang memosisikan pancasila sebagai ‘barang’ yang harus dijaga, padahal sejatinya pancasila-lah yang melindungi hak kita semua, maka hafalkan dan bersyukurlah. idealna mah siga kitu mereun barudak?