Pada awal-awal kuliah di program studi Ilmu Pendidikan Agama Islam UPI (tahun 2012) saya memang mulai meresahkan satu hal yang bersinggungan dengan rusuh hati yang sedang saya bahas. Menentukan pindah dari jurusan yang sebelumnya berkaitan dengan pertanian (llmu Tanah) ke ranah Ilmu Hati tentu bukanlah tanpa risiko.
Memilih memperdalam keilmuan agama mendatangkan konsekuensi untuk mengamalkannya. Pikiran naïf ketika dulu masih belasan terjebak pada persepsi bahwa kenyataan tersebut justru akan membuat saya terpenjara. Saya berpotensi tahu akan hukum satu perbuatan, dan saya mau tidak mau harus mempraktikkan hukum tersebut. Pikiran yang menunjukkan sebuah kepengecutan. Kata seseorang yang saya kagumi dulu di kampus, “Fan itu pertanda kejumudan dalam ilmu.”
Misalnya saya harus mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan mencegah orang-orang melakukan perbuatan munkar. Bagi saya, melakukan hal tersebut tidaklah mudah. Mungkin akar iman yang tak kuat menghujam berimplikasi pada pengamalnya minim beroleh sikap tak berani.
Sebenarnya pertanyaan itu kalau ditelusuri lebih mendalam merupakan pertanyaan yang berpeluang membuat saya ragu. Kalau waktu itu saya mengikutinya, barangkali sekarang tidak akan bertitel mahasiswa calon guru agama. Sepertinya setan sedang menggoda saya untuk mengurungkan niat mendekati jalan kebenaran.
Tapi beruntung, Allah menguatkan hati saya untuk terus melangkahkan kaki memilih pilihan terbaik itu. Saya kemudian memang yakin kalau ini pilihan terbaik. Dosen-dosen pun selalu menguatkan hati-hati kami yang merasakan salah jurusan bahwa pilihan berada di jurusan ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan dalam koridor rencana Allah Yang Maha Baik.
***
Berada dalam lingkungan yang hampir setiap hari mengkaji firman-firman-Nya, menelaah hal-hal yang dicontohkan oleh Rasul-Nya, dan mengasah tools untuk memahami hukum-hukum-Nya tak lantas membuat saya otomatis baik, jadi tahu segalanya. Namun saya merasa beruntung pernah ditempa di sini.
Setidaknya saya jadi cukup tahu tentang hal-hal yang sering diperdebatkan karena tergolong khilafiyah mengenai urusan agama yang hanif ini. Meskipun tidak mendalam, sekilas saya mampu menjawab kalau ada teman atau kenalan yang bertanya tentang suatu kasus tertentu.
Keseharian saya cukup sering bersinggungan dengan diskusi-diskusi yang memang menarik untuk diikuti perihal permasalahan kontemporer mengenai Islam yang kita cintai. Saya tidak bisa bayangkan kalau tak beruntung terpilih menjadi satu dari sekian orang yang menjadi mahasiswa di program studi ini.
Sialnya, penyesalan memang kodratnya selalu datang belakangan. Di awal-awal seringnya pikiran saya mencari seribu satu pembelaan untuk melakukan perbuatan yang padahal saya tahu kalau itu tidak benar. Seringkali saya berlelah-lelah mencari hujjah atas apa yang (akan) saya lakukan. Begitulah, lalu sesal pun datang kemudian seolah seperti pahlawan kesiangan.
Sewaktu dulu saya diberi kesempatan untuk belajar mengenai berbagai cabang ilmu keislaman (bahasa arab, fiqih, ushul fiqh, sirah, hadits, tafsir, pemikiran Islam, tasawuf dll.) saya melakoninya tidak serius. Lebih banyak main-main dan tak menunjukan keinginan kuat untuk memahami.
Sekarang, kekeliruan sikap saya di masa lalu itu mendatangkan kekecewaan luar biasa terhadap diri sendiri. Ketika ditanya dalil kenapa saya membasuh anggota wudu 3 kali dan mendahulukan yang kanan misalnya, dan saya tidak tahu, ah itu sangat menyebalkan. Ketika saya diminta untuk menjadi khatib oleh pengurus DKM lalu saya tak berkompeten untuk berkhutbah, kan itu sungguh mendongkolkan.
Tatkala ada yang bertanya tentang arti bahasa arab tertentu dan saya planga-plongo bengong, hal tersebut membuat saya sangat malu. Saat saya diminta mengurusi jenazah lantas saya menggelengkan kepala tanpa tak berkompeten, di sana saya merasa jadi manusia yang sangat tak berguna. Calon guru agama kok enggak tahu hal-hal semacam itu. Terlalu, kalau kata bang haji Rhoma Irama.
Sewaktu saya diminta menjelaskan tentang sejarah kepemimpinan umat Islam tiap periode dan saya tak mampu, duh itu sangat menyesakkan dada. Lalu saya bisa apa? Saya dapat apa selama kuliah sekian tahun lamanya? Atau hanya buang-buang uang dan waktu saja? Nauzubillah.
Meski penyesalan itu tak mampu mengubah keadaan di masa silam, namun saya tak berkecil hati sepenuhnya. Dengan menyadari kalau yang telah dilakukan itu begitu merugikan tampaknya akan menjadi titik tolak bagi saya untuk berubah ke depannya.
Mudah-mudahan ini semacam kode bahwa hidayah Allah telah diturunkan. Fasilitas untuk mendekat pada-Nya yang tak diberikan ke semua orang hendaknya dimaksimalkan lebih gencar lagi. Ya, semoga saja rasa sesal, bisikan untuk kembali sadar ini bisa ditindaklanjuti, bukan hanya berlalu begitu saja tanpa ada efek sama sekali.
***
Lebih parah lagi sebenarnya dengan beradanya saya di lautan ilmu agama hampir tiap saat ternyata tak serta merta membuat saya jadi pemuda saleh. Shalat seringkali tidak tepat waktu, menghadiri majelis-majelis ilmu selain kelas kuliah wajib pun ogah-ogahan, berpihak pada agama sendiri pun seringnya tak bergairah, dan yang celakanya lagi lisan saya acap membuat hati orang tersakiti.
Kemudian, mengapa apa-apa yang saya pelajari hanya sebatas didengar lantas dilupa dan tak meninggalkan bekas pada tindak-tanduk di keseharian saya? Dalil yang telah dihafal nyatanya tak berimplikasi pada sikap diri.
Untuk menyampaikan mengenai kebenaran yang telah saya ketahui pun seringnya saya malah takut. Saya jadi ngeri sendiri membayangkan ancaman murka Allah terhadap orang-orang yang mengatakan sesuatu padahal ia (sama sekali) tak melakukannya atau bahkan tak berniat menjalankannya (lihat Ash-Shaff ayat 3).
***
Ketika teman-teman saya yang sudah lebih dulu meninggalkan kampus menjadi guru di sekolah-sekolah, saya justru tenggelam dalam pertanyaan yang mendasari tulisan ini. Apakah saya layak jadi guru agama?
Pertanyaan ini lahir bukan tanpa alasan. Seperti yang sudah saya jelaskan di paragraf-paragraf sebelumnya, saya merasa segan dan tak pantas untuk mengajarkan apa-apa yang bahkan belum bisa diri ini lakukan sepenuhnya. Saya malu mengatakan apa-apa yang bahkan pada praktik dalam keseharian malah lebih sering saya hindari.
Saya merasa tak patut jadi guru agama yang memang gerak-geriknya wajar untuk digugu dan ditiru. Disadari atau tidak, saya telah membohongi diri sendiri, membohongi anak-anak didik saya, dan tentu membohongi Allah SWT.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sepertinya tak akan pernah total hilang dari peredaran di pemikiran. Ia akan terus hidup membayang-bayangi kita yang kadang berkesempatan melakukan kebaikan dan berpeluang pula terpeleset mengerjakan keburukan.
Awalnya saya jengah dengan datangnya soal yang sulit dijawab dan meresahkan ini. Namun bila dilihat dari sudut pandang lain, ternyata pertanyaan ini membuat kita selalu mawas diri dan tak pernah berhenti bermuhasabah. Sudah sejauh manakah membuat diri ini pantas untuk disayang oleh-Nya? Sudah sejauh manakah diri ini layak mengajak orang-orang pada jalan kebenaran?
Kelihatannya bukan saya saja yang sedang dan pernah galau dengan pertanyaan-pertanyaan demikian. Kegamangan pikiran dan perasaan ini tampaknya hadir pula di kepala orang-orang yang menghendaki kebenaran dalam hidupnya. Saya jadi sedikit merasa lega. Ternyata ada banyak kawan yang sedang bertarung dengan kekhawatiran serupa.
Sebenarnya pertanyaan di tulisan ini bisa sangat fleksibel. Bagi yang tidak berkuliah di jurusan PAI dan semacamnya, pertanyaannya bisa diubah dengan calon profesi masing-masing.
Misalnya, apakah saya layak jadi dokter? Apakah saya layak jadi akuntan? apakah saya layak jadi advokat? Apakah saya layak jadi engineer? Apakah saya layak jadi politisi? apakah saya layak jadi guru SD? apakah saya layak jadi pengusaha? apakah saya layak jadi arsitek? apakah saya layak jadi penulis? Dan beragam profesi lainnya. Di luar profesi, timbul juga pertanyaan apakah saya layak jadi pendamping hidup seseorang?
***
Semoga saja renungan yang semi kontemplatif ini bisa mewakili kegelisahan teman-teman. Pastinya tulisan ini tidak akan membuat riak-riak pertanyaan itu sirna. Hanya saja mudah-mudahan curahan pemikiran dan perasaan yang dituliskan mampu memberi energi optimisme untuk tak berhenti pada tataran cemas saja, melainkan berusaha untuk semaksimal mungkin mencari jawabannya.
Selamat menjawab. Semoga jawabannya tidak keliru.