Entah sejak kapan kata liberal memiliki konotasi negatif, padahal jika kita kembali merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah liberal cenderung bernuansa positif yang berarti berpandangan bebas (luas dan terbuka). Bahkan kata ini direlasikan dengan term permisif, terbuka, toleran; maju, progresif, radikal, reformis, dan revolusioner. Adapun saya pribadi memiliki sintesa lain sebagai bentuk kompromistis terhadap dua pandangan konfrontatif (positif-negatif), yakni sebuah sikap atau pandangan minor yang berbeda dengan kebanyakan (anti mainstream), atau yang biasa disebut dengan out of the box. Dan pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan beberapa buku “liberal” yang agaknya wajib dibaca oleh setiap kalangan yang mencintai ilmu.
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan sederhana ini yakni, pertama mengajak pembaca supaya melihat realita secara lebih luas lagi di mana keragaman adalah suatu keniscayaan, dan kita selaku manusia harus dapat menyikapinya dengan bijaksana, meski tak harus menyetujuinya. Kedua, adanya dialektika pemahaman lama dengan informasi baru diharapkan akan semakin mematangkan dan menyempurnakan pola pikir kita. Saya kira sikap berani merevisi pemahaman lama adalah sebuah keberanian yang besar dalam rangka meraih kebenaran hakiki.
- Andre Comte-Sponville. (2007). Spiritualitas Tanpa Tuhan. Jakarta: Alvabet
Dari judulnya saja seharusnya kita telah mengetahui pesan apa yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Ya, benar, buku tipis berhalaman 237 ini ditulis dengan maksud ingin memberikan informasi kepada para penyembah Tuhan bahwa orang-orang ateis itu tidaklah melulu bersikap materialistis, ada pula di antara mereka yang memilih menjadi ateis “saleh” dalam artian bahwa mereka juga menyadari betapa penting spiritualitas dalam kehidupannya.
Sponville, filsuf kontemporer asal Perancis, hendak menawarkan konsep way of life yang tak bertuhan tetapi tetap spiritualis di mana nilai-nilai moralitas universal dan humanisme dijadikan sebagai fondasinya. Di dalam bukunya ia menyatakan bahwa untuk menjadi orang baik tidaklah harus bertuhan. Ia mengatakan “apakah kita harus percaya kepada Tuhan untuk diyakinkan bahwa ketulusan hati lebih baik ketimbang sikap pengecut, kemurahan hati lebih baik daripada egoisme, kelembutan dan kasih sayang lebih baik daripada kekerasan dan kekejaman, cinta lebih baik daripada kebencian? tentu tidak.”
Ia melanjutkan, bahwa moral dapat berdiri sendiri tanpa sebuah agama ataupun Tuhan dengan menyitir ucapan Immanuel Kant, “jika seseorang menahan diri dari tindakan membunuh tetangganya hanya karena takut pada hukuman Tuhan, berarti perilakunya didikte bukan oleh nilai-nilai moral melainkan oleh kewaspadaan, ketakutan kepada polisi agama, egoisme. Dan jika seseorang melakukan kebaikan hanya karena alasan keselamatan (akhirat), dia sebenarnya tidak melakukan kebaikan karena perilakunya didikte oleh kepentingan pribadi ketimbang kewajiban –sebagai manusia– atau cinta dan karenanya tidak dicatat sebagai amal kebaikan.”
Walaupun mencoba untuk membantah tiga buah dalil (ontologis, kosmologis, fisio-teologis) yang biasa diajukan oleh orang-orang yang mengakui keberadaan Tuhan, terasa jelas dalam bukunya bahwa Sponville tidak memiliki tendensi negatif terhadap kaum agamawan. Alih-alih mencaci para penyembah Tuhan, Sponville mengajak para ateis lain untuk tidak menentang ajaran-ajaran moral yang telah diajarkan oleh agama-agama.
Ada yang unik dari pemikiran Sponville ini. Sama halnya fanatik dalam beragama adalah suatu keburukan, ia juga mengungkapkan bahwa adalah buruk jika ada seseorang yang fanatik dalam keberateisannya, sebab menurutnya setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Ada yang membutuhkan sandaran (Tuhan), dan ada pula yang tidak. Ia sangat menghargai orang yang meyakini bahwa Tuhan itu eksis. “keyakinan mereka sama sekali tidak mengganggu saya. Mengapa saya harus menentangnya?”
Selanjutnya, dalam bagian bukunya yang lain ia menarasikan bahwa jika orang-orang beragama sangat menekankan pada harapan, terutama harapan akan perolehan kebahagiaan. Berkaitan dengan hal ini ia mengatakan bahwa orang ateis tidak perlu mengharapkan apa-apa. Meski demikian, hal ini tidak menghalanginya untuk tetap berjuang demi keadilan. Menurutnya orang-orang yang selalu mengharapkan kebahagiaan sejatinya tidak akan pernah meraihnya. “kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus diharapkan melainkan sesuatu yang dialami di sini dan saat ini. Ini sama sekali tidak menghilangkan tragedi. Tapi mengapa harus dihilangkan? jauh lebih baik untuk menerimanya segembira mungkin.”
- (2015). Islam Sontoloyo. Bandung: Sega Arsy
Sebagian kita menyangka bahwa Soekarno hanya memiliki keahlian dalam bidang sosial perpolitikan, dan jarang yang mengetahui bahwa ia pun ternyata memiliki concern yang cukup kuat terhadap khazanah keislaman, bahkan mungkin sangat sedikit yang menyadari bahwa Soekarno sangat rasional dan liberal dalam memahami nilai-nilai Islam. Adalah penerbit Sega Arsy yang dengan baik hati menyuplai kepada kita, anak kemarin sore, beberapa pemikiran keislaman Soekarno yang tertuang dalam beberapa tulisannya.
Dalam buku Islam Sontoloyo, Soekarno berkali-kali mengatakan bahwa jika umat Islam ingin maju, maka mereka harus berani meninggalkan beberapa hal, seperti pengultusan tokoh yang mana seakan-akan telah memegang kebenaran absolut (taklid). Salah besar jika umat Islam menganggap bahwa tidak akan ada lagi ulama yang memiliki kapasitas di atas empat mazhab tradisional sebab setiap zaman pasti mempunyai kebutuhan dan masalahnya masing-masing, maka tak mungkin segala persoalan melulu dicocok-cocokkan dengan pemahaman ulama mazhab. Manusia modern, masih menurutnya, bukan saja perlu anti taklid yang berarti kembali kepada Alquran dan hadits, melainkan wajib merujuk pada keduanya melalui kendaraan pengetahuan umum. Sudah seharusnya bagi umat muslim untuk meninggalkan segala hal yang berbau kekolotan, takhayul, khurafat, dan anti rasionalisme. Tentang Isra Mi’raj misalnya, jika dapat dirasionalkan, mengapa harus terpaku pada hal-hal yang irasional.
Di eranya, dan mungkin masih terjadi sampai saat ini, para ulama sangat “mendewakan” fikih. Apa-apa selalu fikih oriented. Tak terhitung berapa puluh juta jilid buku yang telah ditulis oleh para ulama perihal fikih, yang membuat Islam terkesan serba hitam-putih, kaku, rigid, dan malah terkesan kehilangan ruh atau substansi yang hendak dicapai oleh Alquran itu sendiri. Hadits-hadits daif dielu-elukan sedangkan yang shahih justru diabaikan. Tak lupa ia juga mengkritik para pengguna tabir/hijab yang dianggapnya sebagai suatu simbol perbudakan terhadap perempuan.
- Subhan Nurdin. (2006). Benarkan Isa dan Dajal akan Turun? Jakarta: Qultum Media
Mengimani hari akhir merupakan hal yang sangat pokok dalam Islam, bahkan mayoritas menyatakan bahwa jika seseorang tidak mengimaninya, maka Islamnya tertolak. Salah seorang ulama besar mengungkapkan bahwa sebenarnya dari keseluruhan rukun iman itu jika hendak diperas maka hanya akan menyisakan dua saja, yakni iman kepada Tuhan yang implikasinya harus mengimani hari pembalasan (the day after death). Hanya saja bagaimana detailnya prosesi hari akhir itu, mulai dari permulaan hingga menuju tahapan akhir, terdapat perbedaan di kalangan cendekiawan, salah satunya ialah perihal kemunculan Isa Al-Masih dan Dajjal.
Adapun nilai keliberalan buku ini karena, jika jamaknya umat muslim meyakini bahwa Nabi Isa dan Dajjal akan turun ke bumi menjelang kedatangan kiamat, maka Subhan Nurdin, menyangkalnya, setidaknya dalam konteks pengertian yang selama ini dipahami oleh umat muslim.
Surat Az-Zukhuf ayat 61 yang biasa dijadikan dalil turunnya Isa menjelang kiamat sebenarnya sangat lemah, sebab ayat itu cenderung sedang mengungkapkan bahwa kedatangan Nabi Isa menandakan dekatnya waktu kiamat, sebagaimana kedatangan Nabi Muhammad pun demikian. Juga frasa “pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” dalam surat Maryam ayat 33 yang bukan berarti kedatangan menjelang kiamat, sebab masih menurut Subhan, kalau begitu seharusnya Nabi Yahya akan dibangkitkan juga, sebagaimana tertera dalam ayat sebelumnya (Maryam: 15).
Sejurus dengan itu, ia juga menyanggah pandangan Harun Yahya yang menafsirkan kata al-kitab dalam surat Ali Imran ayat 48 sebagai Alquran, yang jika dipahami demikian maka Nabi Isa akan menyebarkan ajaran-ajaran Alquran di waktu kebangkitannya di muka bumi. Semua tafsir, tuturnya, tidak ada yang memiliki penafsiran aneh seperti itu. Alih-alih, ahli tafsir memahaminya sebagai “tulisan dan khat” atau bisa jadi adalah shuhuf nabi-nabi terdahulu.
Selanjutnya kita beralih kepada sumber hadits yang mana seringkali dijadikan rujukan utama umat muslim dalam meyakini kebangkitan Isa dan Dajjal. Saking banyaknya hadits yang memuat berita ini, konon berjumlah 46 buah, membuat mereka berkesimpulan bahwa informasi turunnya Isa dan Dajjal berstatus mutawatir. Padahal jika ditelaah secara saksama, maka hadits-hadits ini hanya akan bermuara pada beberapa orang sahabat saja seperti Wahab bin Munabbih dan Ka’ab Al-Ahbar (keduanya adalah ahli kitab yang masuk ke dalam Islam) yang menurut pakar jahr wa ta’dil kredibilitas periwayatan keduanya perlu dipertanyakan kembali karena mereka seringkali memasukkan riwayat-riwayat israiliyyat sehingga hadits turunnya Isa dan Dajjal hanya berhenti pada status ahad gharib. Adapun ulama yang senada dengan pandangan Subhan, ialah Syaikh Mahmud Syaltut (mantan rektor Al-Azhar) dan Quraish Shihab (pakar tafsir Indonesia). Satu hal yang ingin penulis utarakan, bahwa persoalan akidah hanya bisa disandarkan kepada sesuatu yang sifatnya Qath’i dan mutawatir. Adapun jika masih berstatus ahad, maka tidak ada kewajiban untuk mengimaninya.
- Abd Moqsid Ghazali, Luthfi Asyyaukanie, Ulil Abshar Abdalla. (2009). Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Siapa yang tak kenal dengan ketiga nama ini, para pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang senantiasa masif meyerukan “kebebasan” dalam memahami tuntunan agama. Sebuah buku mini yang diberi kata pengantar oleh Prof. Dawam Raharjo ini mereka tulis guna memberikan pemaknaan baru terhadap Alquran dari sudut normatif dan historis, sebab dualitas unsur (universal dan partikular) yang terdapat di dalamnya tak putus-putusnya berdialektika.
Sepintas, buku ini tidak ada bedanya dengan buku-buku Ulumul Quran yang biasa dipelajari oleh mahasiswa pengkaji keislaman karena terlihat adanya, pada bagian awal, beberapa diskusi seputar sejarah kitab suci, mushaf dan kodifikasinya, standarisasi, perdebatan seputar variasi bacaan Alquran, serta sakralisasi Alquran. Kalau mau dikata berbeda, itu hanya karena penyajiannya saja yang begitu segar dan dinamis, sebab para penulis mengemasnya dengan perpaduan aneka literatur sarjana Barat, khas para pemikir “liberal”.
Barulah saat memasuki bab IV (Menghindari Bibliolatri, Menangkap Visi Etis Alquran) keliberalan tulisan ini cukup terasa di mana penulis hendak mendiskusikan sejauh mana Alquran yang otentik/tetap dapat bersinergi dengan zaman yang terus-menerus berubah. Mengawali dengan sebuah pertanyaan “apakah demi mengikuti perkembangan yang terus berubah, kita boleh meninggalkan makna lahiriah teks atau tidak? Sejauh mana teks agama bisa tetap dipertahankan dalam pengertiannya yang lahiriah?” penulis memberikan sebuah jawaban bahwa berdasarkan konsep takrim (pemuliaan pada martabat manusia) yang juga berarti mengakui kompleksitas pengalaman hidup manusia sebagaimana dikenalkan oleh Alquran itu sendiri, maka penulis meragukan sebuah pemahaman yang berkeyakinan bahwa semakin tekstual penafsiran manusia terhadap teks, semakin dekat pula ia dengan kehendak Allah dan rasulnya. Yang terakhir disebutkan ini banyak diamini oleh kalangan fundamentalisme agama. Adalah sangat wajar, bagi penulis, jika pengalaman (perkembangan situasi dan kondisi) historis masyarakat dijadikan sebagai sumber yang setara dengan kedudukan wahyu.
Sudah waktunya, menurut mereka, bagi umat muslim untuk go beyond the text dengan merujuk pada visi etis Alquran yang tiada lain adalah maqasid syariah (perlindungan atas agama, akal, harta, keturunan, dan jiwa manusia), tentu dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni.
- Mun’im Sirry. (2013). Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an terhadap Agama Lain. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Banyak yang mengira bahwa Ulil Abshar adalah pentolannya muslim liberal di Indonesia padahal jika mereka melirik pada pemikiran-pemikiran Mun’im Sirry, warga Madura yang berprofesi sebagai asisten professor di Notre Dame University, Amerika, mereka akan terkencing-kencing saat mengetahui bahwa “keliberalan” Ulil ternyata hanyalah sebiji dzarrahnya keliberalan Mun’im Sirry, di mana sebagian kalangan menyebutnya sebagai seorang revisionis yang disebabkan oleh kegemarannya merevisi ajaran-ajaran fundamental yang sudah dianggap paten oleh mayoritas umat muslim.
Buku dengan jumlah lebih dari 450 lembar halaman ini, hendak memaparkan aneka pandangan mufasir reformis dalam karya monumentalnya (Mahasin al-ta’wil karya Jamaluddin Al-Qasimi; Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha; Tarjuman Al-Qur’an karya Maulana Abul Kalam Azad; Tafsir Al-Kasyif karya Muhammad Jawad Al-Mughniyah; Mizan fi Tafsir Al-Qur’an karya Muhammad Husein Thabathaba’i; dan Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka) terhadap beberapa persoalan pewahyuan yang bersinggungan dengan agama-agama lain, seperti apakah Alquran menggantikan wahyu kitab-kitab terdahulu; apakah agama Islam –yang terinstitusikan– sebagai satu-satunya jalan keselamatan; superioritas Islam; bagaimana menyikapi tuduhan penyimpangan kitab-kitab suci terdahulu yang dilakukan oleh Alquran; apa dan siapa yang sebenarnya dikehendaki Alquran saat mengkritisi konsep anak Tuhan, ketuhanan Yesus, dan doktrin trinitas; serta perihal pembatasan dan pergaulan antar-agama.
Yang membuat buku ini saya ketegorikan sebagai “liberal” adalah karena kekayaan literatur atau bukti (fakta) kesejarahan yang jarang ditemui (asing) oleh mayoritas muslim yang akhirnya membuat mereka harus berpikir ulang terhadap keyakinan semulanya. Mun’im, dalam beberapa kesempatan, seringkali mengatakan bahwa bukunya memang tak bisa dibaca oleh orang-orang awam atau mereka yang belum kuat “imannya” sebab mereka akan menemukan kejutan-kejutan bombastis dalam setiap tulisannya.
***
Sebenarnya saya ingin sekali memaparkan dua buku lagi yang keduanya merupakan buku karya Muhammad Syahrur, seorang insinyur teknik sipil, yang berusaha mencoba untuk menggali Alquran dengan pendekatan ilmiah yang amat dipengaruhi oleh paradigma positifistik. Tetapi karena hayati lelah, sudah lama tak memandang Raline Shah, maka sepertinya –tak ada salahnya– cukup memaparkan garis-garis besarnya.
Firdaus, penerjemah karya M. Syahrur yang berjudul Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qiraah Mu’ashirah yang belakangan diterbitkan oleh penerbit Marja (Bandung) dengan judul Epistemologi Qurani, mengungkapkan bahwa pembacaan barunya Syahrur didasarkan pada beberapa hal berikut, pertama, menggunakan analisa kebahasaan Abu Ali Al-Farisi, Ibnu Jinni, dan Abdul Qahir Al-Jurjani; kedua, mememilih untuk menggunakan, dalam ilmu kebahasaan, pendekatan sinkronis dan menolak pendekatan diakronis; ketiga, penafsiran kitab suci harus disesuaikan dengan konteks dan tingkat pengetahuan setiap generasi tanpa harus melupakan perkembangan historis penafsiran yang pernah ada; keempat, karena Alquran diperuntukkan bagi manusia (bukan untuk Allah), maka implikasinya semua konten yang terdapat di dalamnya dapat dipahami oleh manusia; kelima, memberikan penghargaan yang tinggi pada akal.
Buku keduanya yang tak kalah kontroversi ialah yang berjudul Al-Islam wa Al-Iman: Manzumah al-Qiyam yang diterjemahkan oleh penerbit IRCiSoD, Yogyakarta, dengan judul Islam dan Iman: Rekonstruksi Epistemologi Rukun Iman dan Rukun Islam. Buku liberal yang membuat banyak kalangan ortodoks geram ini dikarenakan ia berusaha untuk mengotak-atik format rukun iman dan rukun islam, sesuatu yang amat sakral dalam keyakinan umat Islam. []