Dilema Seorang Afi

154

Sebagai seseorang yang menyatakan dan mengaku-ngaku independen, saya selalu berusaha keras untuk berlaku objektif, bebas (tanpa paksaan), dan adil dalam menempatkan atau menilai sesuatu. Sekuat tenaga menghilangkan tindak laku tendensi yang akhirnya membuat bias, makanya meski saya mengagumi salah seorang tokoh, tak berarti keobjektifan saya menghilang. Itu nyata dalam penilaian saya terhadap Prof. Quraish Shihab, tokoh panutan saya dalam beragama. Dan kali ini pun berlaku bagi Afi, seorang anak perempuan yang postingan-postingan hebatnya telah saya ikuti sejak lama, jauh, jauh sebelum tulisan “warisan” muncul.

Langsung saja pada poin utama. Walaupun Renald Kasali, guru besar UI, di mana saya juga cenderung mengamini pandangan ini, menyatakan bahwa apa yang dilakukan Afi bukanlah suatu bentuk plagiasi (argumentasi bisa dibaca di website kompas), tetapi menurut saya hal tersebut tetaplah kurang etis, terlebih untuk seorang Afi yang tulisan-tulisannya selalu menjunjung tinggi persoalan karakter/moral. Yang lebih disayangkan, dalam postingan terbarunya ia terlihat sama sekali tak menyesali hal tersebut, tidak ada sepatah kata “maaf” malah mencoba untuk membela diri dengan mengatakan, “apakah aku pernah melakukan plagiasi? Ya, kita semua pernah. Siapa yang tidak pernah melakukannya…” paradoks dengan postingan-postingan terdahulunya yang sangat menekankan konsep meminta maaf dan atau memaafkan. Memang, mempraktikkan sesuatu tak semudah menulis atau mengucapkannya.

Dengan meminta maaf, sebenarnya Afi dapat memulai lembaran baru lagi dengan hati yang lebih lapang tanpa beban, lanjut menuliskan ide-ide brilian yang dimiliki. Usah meladeni orang-orang pentol korek yang selalu reaksinoner, layaknya cacing kepanasan, yang tak bisa diam selama melihat ada orang yang senada dengannya. Meskipun dipersekusi, dicaci maki, disuspend akun, teror bahkan ancaman pembunuhan, dianggap agen misionaris, disangka/dituduh hendak menyebarkan pemikiran pluralism agama, hingga dihubung-hubungkan orang-orang “hitam” yang berada di belakang punggungnya, tak perlu takut sebab jihad besar pasti selalu menemui rintangan yang besar pula. Mulai sekarang Afi tak perlu berusaha keras untuk senantiasa tampil sempurna, yang membuat diri menjadi tertekan. Tak perlu kejar setoran. Lakukan saja yang terbaik sebab Afi bukanlah sebuah produk jadi yang siap perang di dunia nyata.

Apa yang dapat kita petik dari Kasus Afi ini?

Terlihat sekali Afi, yang masih sangat muda, bersusah-payah ingin berkontribusi terhadap bangsa di saat anak muda bahkan orang-orang dewasa sibuk mencaci-maki dan bersenang-senang. Lihat, bagaimana anak muda zaman sekarang yang lebih gemar menyibukkan dirinya mati-matian mengobral badan hanya untuk mendapatkan like, atau pengakuan eksistensi. Bagi saya, Afi adalah berlian di tumpukan jerami. Nah, setelah menemukannya, kita malah beramai-ramai hendak menghancurkannya.

Sampai saat ini saya tetap bingung mengapa para pentol korek ini mati-matian hendak mengorek-ngorek keburukan dan kekurangan Afi, padahal borok yang ada di dirinya sendiri semakin hari semakin bernanah. Saya pribadi, sangat takut jika banyak orang yang mengetahui borok saya, makanya saya lebih condong untuk menghindar dari mencari-cari kesalahan orang. Alih-alih lebih baik memperbaiki diri sendiri.

Saya menyadari, kita adalah makhluk yang sulit melakukan refleksi ke dalam (internal) dan mudah sekali untuk merespon hal-hal yang datangnya dari luar. Tetapi belakangan, saat saya berada di Kampung Inggris, Pare, di waktu di mana saya memiliki cukup lama waktu senggang, saya mencoba untuk berkontemplasi selama sebulan. Dan wah, saya mendapatkan suatu kenikmatan yang tiada tara, sesuatu yang saya amat berarti bagi kematangan spiritualitas saya.

‘Ala kulli hal, saya sudah terlanjur mengagumi dan mungkin akan selalu mengagumi ide-ide Afi, bahkan jikalau ia tak pernah viral sedetikpun. []

Nilai kualitas konten