Kamu Muslim, dia Kristen atau mereka Buddha? Semua Sama-sama Kolot!

batu-breakpos.com

Melihat reaksi netizen atas kasus penindasan etnis Rohingya saat ini, semakin memperkuat premis tulisan saya yang lalu: bahwa umat Islam dan kristen, atau penganut agama apa pun di Indonesia ––umumnya–– sama-sama kolot, semprul !

Berkali-kali saya katakan, kalau kita ––manusia yang mengaku beragama–– masihlah berada di maqam yang amat rendah di mana ego pribadi maupun kelompok masih menjadi pegangan kuat. Maksudnya begini bosque. Jika terjadi sesuatu yang buruk yang mana kita merasa tergolong di dalamnya, maka dengan secepat kilat kita akan bereaksi, bahkan tak jarang sampai menanggalkan akal sehat. Sebaliknya, jika suatu keburukan, kerusakan, penindasan, atau yang semacamnya terjadi tetapi kita merasa tidak memiliki ikatan emosional apa pun di dalamnya, maka, sebagaimana terlihat kita cenderung diam, cuek, dan bodoh amat.

Lihat, bagaimana reaksi orang-orang Kristen saat Ahok ––yang tentunya memiliki ikatan emosional yang cukup kuat dengan mereka–– yang terkesan diperlakukan secara tidak adil atau kasus-kasus lain seperti terjadinya penutupan gereja. Wah, suara mereka lantang sekali. Bilang kalau mayoritas selalu menindas minoritas lah. Bilang umat Islam fundamentalis lah, dan ah sudahlah. Lucunya, di sisi lain umat Islam ––karena tidak memiliki ikatan emosional terhadap Ahok maupun gereja–– cenderung apatis, malah tak sedikit yang bersikap cuci tangan dengan mengatakan bahwa tindak destruktif itu sama sekali bukan ajaran murni Islam. Sebenarnya yang ini masih mending sih, karena yang kefanatikannya berada di tingkat dewa diam-diam maupun secara terang-terangan malah mendukung aksi-aksi tersebut. Takbir !

Sama, ketika umat muslim teriak-teriak soal kegilaan, pelanggaran HAM besar yang terjadi di Palestina maupun ––belakangan–– etnis Rohingya, umat Krsiten cenderung pasif, jauh dari perhatian mereka. Lagi-lagi, karena Palestina ataupun Rohingya tidak merefleksikan diri dan kelompok agama mereka.

Saya melihat postingan hasil sharing-an Dr. Airlangga Pribadi, salah satu sarjana ahli ilmu politik Universitas Airlangga, di akun sosmednya tentang peran Indonesia terhadap kasus Rohingya. Dalam gambar tersebut terurai singkat bahwa pemerintah Indonesia ––melalui menterinya–– telah berperan aktif mengupayakan stabilitas di Myanmar. Tetapi bukan itu yang menjadi sorotan saya, melainkan tulisan kecil di bagian bawah gambar yang kontennya berupa 11 nama organisasi yang sejauh ini telah turun tangan membantu etnis Rohingya. Sebagaimana anda tebak, semuanya berasal dari organisasi keislaman. Tidak ada organisasi sekular-netral, apalagi yang berbau agama (dari Kristen, atau bahkan komunitas Buddha sendiri misalnya).

Distingsi ini semakin menjadi-jadi setelah ada kenyataan bahwa terdapat perbedaan yang begitu tajam antara narasi para cendekiawan dengan para fundamentalis. Yang pertama selalu mengatakan atau menggiring opini bahwa suatu konflik pasti akar persoalannya karena urusan kepentingan ekonomi dan politik, sedangkan yang kedua selalu mengaitkan dengan urusan/konflik antar agama an sich. Saya cenderung tak setuju dengan pandangan keduanya. Mengapa kita tidak mengakui saja bahwa konflik yang sering terjadi, termasuk pembantaian etnis Rohingya,  memang dimasuki oleh konflik agama yang juga karena adanya kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi yang keduanya saling mengisi satu sama lain? Mengapa harus memenggal atau meniadakan salah satunya? Ah, pusing kepala barbie.

Kelompok kedua memang selalu demikian, sulit untuk melihat perspektif lain, dunia ini seakan hanya ada Islam dan musuh Islam. Itu saja. Tetapi kelompok pertama pun tak kalah anehnya, seakan-akan mereka ingin tetap mensakralkan agama. Menyimpan di suatu tempat tertinggi yang tak mungkin disalahkan. Mengapa mereka tidak mengakui bahwa sangat mungkin sekali ada yang salah dari ajaran agama tersebut (baik dari Islam, Kristen, Buddha, atau apa pun namanya). Tidak beranikah kita mengkritik atau merevisi ajaran agama alih-alih mengatakan bahwa agama itu hanya mengajarkan kasih yang tak mungkin menebar kebencian. Baca deh buku Om Dawkins, The God Delusion, yang mengatakan bahwa sebenarnya para agamawan pandai sekali memilah-milah muatan kitab suci yang sebenarnya ––menurut dia–– nilai-nilai moralnya mengandung paradoks berat.

Dalam suasana yang memanas ini, saya malah dibuat termencret-mencret oleh ulah beberapa orang, yang katanya cendekiawan, yang malah sibuk mengurusi respon-respon banalistik para fundamentalis, alih-alih menyoroti isu utamanya yang tiada lain adalah krisis kemanusiaan. Pengen banget rasanya nampol online orang-orang kayak begini. Sudah jelas yang mereka lakukan itu sungguh kontraproduktif, di satu sisi pandangan itu pasti hanya diamini dan di-like oleh orang-orang yang se-frame dengannya saja, sedangkan di sisi lain cacian mereka pun tak akan berdampak apa-apa bagi golongan fundamentalis itu sebab dari dulu mereka memang, selain sudah kebal cacian, juga telah kadung menutup ruang bagi pandangan-pandangan yang berbeda. Alhasil, upaya yang dilakukan oleh cendekiawan ini tak bermanfaat apa-apa.

Semua peristiwa konyol ini akan terus terjadi, berulang kali, selama paham keagamaan kita masih terkungkung dalam sekat-sekat egoistik pribadi maupun kelompok (agama), yang sungguh masih jauh dari apa yang dipraktikkan Isa, Muhammad, dan Sidharta Gauthama, yang empatinya tanpa memandang latar belakang ataupun rasa-rasa keterkaitan emosional. Tetapi kalau nyaman dengan keadaan sekarang, ya sudah. Kita memang kolot !

Sudah dulu yah, saya mau main lagi sama Raline Shah. Ah kalian ini, mengganggu saja.

2 thoughts on “Kamu Muslim, dia Kristen atau mereka Buddha? Semua Sama-sama Kolot!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.