Sebagai anak SMP medio 2006-2007, pengalaman pubertas yang saya syukuri yang mungkin membentuk saya sampai saat ini adalah saya memilih musik sebagai kanal avontur dalam menjejaki belantara ruang dan waktu, beserta onak hariannya. Sebagai media dalam mencari jati diri, istilahnya. Setelah merasa jenuh dengan asupan-asupan Pop macam Padi, Dewa 19, Ari Lasso, Kla Project, Sheila on 7, dan band-band semacamnya, saya memilih mendaku menjadi penikmat musik Underground. Padahal mentok di The Used, Saosin, Underoath, atau yang paling kenceng The Black Dahlia Murder, Trivium dan God Forbid.
Irisan pertama saya dengan Keane melalui kanal Mtv beberapa tahun silam ternyata berlanjut sampai detik ini, bahkan semakin intim. Lewat single “ Is it Any Wonder? “ yang padahal entah bercerita tentang apa, bodo amat tentang lirik, yang jelas Lagu ini terdengar sangat Pop, dan ngeunaheun. Dan yang paling antik untuk saya waktu itu adalah, di klip itu saya tidak menemukan adanya pemain gitar. Memang secara auditif pun yang saya bisa tangkap hanya suara Vokal, Piano, dan Drum. Berbanding terbalik dengan musik lain yang sedang saya dengarkan waktu itu, yang harus ada scream-nya, gitarnya harus kasar dengan distorsi gaspol, drumnya kalau bisa menggunakan pedal ganda. Pokoknya harus Underground, harus Rebel. Tentu saja dengan keterbatasan penafsiran dan pemaknaan saya yang arbitrer waktu itu.
Teknologi Internet yang mulai menjadi fenomena baru di masa itu, ternyata merupa kapsul waktu yang melontarkan saya dua tahun ke belakang, Tahun 2004, Keane menelurkan albumnya yang menurut saya paling fenomenal, juga personal. Hopes & Fears dirilis melalui label Interscope Records. Di Indonesia, dicetak melalui label Universal. Merujuk informasi dari discogs album ini dicetak sebanyak 88 versi, baik official ataupun unofficial. Hopes & Fears merupakan debut album bagi Trio asal inggris ini. Dibentuk pada tahun 1995 di East Sussex, Inggris dengan formasi Richard Hughes pada Drum, Tim-Rice Oxley pada Keyoard & Piano, Tom Chaplin mengisi vokal.
Nomor single “ Somewhere only we Know “ dan “ Everybody’s Changing ”, saya kira merupakan nomor milik Keane yang paling familiar dan memang banyak diputar. Meskipun keduanya digarap dengan iringan nada major, yang secara alamiah memberikan kesan riang dan gembira, tapi sedu-sedan yang lirih dari lirik tidak bisa disembunyikan dari dua lagu diatas. Semacam kombinasi padu dari Appolo dan Dyonisos. “ I came across a fallen tree, I felt the branches of it looking at me “, semacam deklamasi bagi ke-ter-asing-an dalam momen eksistensial.
Mendengarkan penuh album Hopes & Fears, setidaknya bagi saya, semacam pengantar menuju sebuah ruang sunyi, ruang paling kedap. Sebab realitas berjalan semakin gegas dan banalitas harian yang keras kepala, acapkali hanya membenturkan kita dengan dimensi material saja. Dunia yang kita tinggali sekarang bergerak semakin jauh, semua nyaris maya dan virtual.
Dunia berjalan semakin asing, atau saya yang asing? Tarik pedal gas sampai titik mentok, toh kita kadung terlempar ke dunia. Hidup memang brengsek, tapi kadang-kadang masih layak untuk dijalani. Meski berlumur getir. Saya kutip satu bait larik goresan si Binatang Jalang,
“ Aku suka pada mereka yang Berani Hidup “.
Jika kamu merasa informasi ini bermanfaat silakan bagikan ke jejaringmu. Sempatkan juga untuk berdonasi jika punya rezeki lebih agar kami bisa terus memberikan informasi menarik lainnya.