Saya katakan saya adalah salah satu produk gagal itu. jadi siapapun yang membaca ini tidak perlu marah, toh ini tulisan produk gagal. tapi jika mau meneruskan membaca sampe akhir silahkan, biar tahu bahawa tulisan ini berasal dari kemuakan luar biasa yang di pertontonkan manusia manunia berilmu.
Semua dimulai dari kemelut soal orasi kebangsaan, atau sebagian yang lain menyebutnya ceramah yang dilakukan oleh Gus Miftah seorang tokoh publik diacara peresmian greja di Jakarta. sebetulnya hal-hal kontrofersi seperti itu buat saya biasa saja terjadi di Indonesia, tapi entah kenapa saya tertarik membaca dan menelusuri komentar-komentar netizen atas kejadian tersebut dimedia sosial. sialnya yang saya temukan kebanyakan hanya perang komentar yang bikin gemes. bagaimana tidak gemes, mereka yang berkometar ada yang dari kalangan santri, dan pasti ada dari orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan formal kebanyakan.
Tidak berhenti disitu, saya menelusuri lagi dan menemukan tokoh2 beragama yang juga turut mengomentari kejadian orasi kebangsaan Gus Miftah. awalnya saya tidak masalah jika para tokoh dengan kemampuan yang mempuni untuk memberikan komentar, toh beliau- beliau ini memang bekomentar sesuai bidangnya, meski komentarnya tidak sependapat dengan apa yang dilakukan oleh Gus Miftah. Tapi rasa-rasanya saya keliru, hal tersebut justru tak menyelesaikan persoalan. malah membuat perang komentar semakin berlarut laut diberbagai media sosial yang membahas soal Gus Miftah. saya membaca banyak komentar yang isisnya menurut saya tidak ada gunanya. karena kebanyakan hanya soal hujat menghujat yang membuat saya berkesimpulan kalo pondok pesantren, sekolah formal nampaknya gagal mendidik manusia manusianya terlihat dari isi komentarnya.
Disini seharusnya tokoh-tokoh agama Islam berperan lebih aktif, temui Gus Miftah, pintai keterangan atas kejadian tersebut. jika tidak sepaham jelaskan sesuai pendapatnya, sampai titik dimana pertemuan itu mengahasilkan penyelesaian yang mendamaikan semua pihak.