Kemajuan Kita Dihambat Oleh Yang Terus Menghantukan PKI

hantu-pki-breakpos.com

Tak menarik memang jika peristiwa kekerasan dalam sejarah harus dihapus untuk tidak ditulis. Dan tidak sedikit sejarah Indonesia yang kita temui adalah tentang kekerasan, baik yang menjadi bagian dari Kolonialisme/Imperialisme, maupun yang merupakan rencana kemerdekaan.

Karena bagi para pendahulu, kekerasan/pembunuhan adalah bagian dari pelajaran, strategi dan koentji yang mesti diterapkan. Dan sepakat atau tidak, itu semua adalah bagian dari tegaknya Indonesia sebagai bangsa.

Saya masih ingat betul ketika dengan sangat gelinya nenek dan kakek saya terpaksa harus menceritakan pengalaman mereka bersama Jepang, Belanda, PKI, Gorombolan (DI/TII) dan Orde Baru. Merupakan hal yang sangat menarik bagi saya untuk tau sejarah dari perspektif yang mengalaminya langsung.

Sekurang-kurangnya ada tujuh tragedi pembunuhan massal yang mengiringi proses berdirinya Indonesia sebagai negara. Tujuh itu adalah yang populer dan bisa anda temukan hanya dengan mencarinya di Google. Salah satu yang paling diingat adalah berkaitan dengan apa yang dilakukan PKI dan apa yang diperlakukan kepada PKI, dimana sampai sekarang peristiwa tersebut menjadikan PKI semacam ‘hantu’.

Istilah Genosida awalnya dikenalkan oleh Raphael Lemkin seorang ahli hukum asal Polandia pada tahun 1944, dimana Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang tertulis dalam yuridiksi Internasionational Criminal Court. Pembunuhan Massal dilakukan dengan maksud membuat punah suatu bangsa, kaum, suku atau kelompok tertentu, sebagaimana yang menimpa bangsa Kanaan.

Tapi tentu, motif setiap persitiwa pembunuhan massal masing-masingnya berbeda. Jika dibandingkan dengan pembantaian bangsa Kanaan yang dilaksanakan dengan motif mematuhi perintah Tuhan, beda dengan pengikut Yahudi yang disikat oleh Adolf Hitler karena dilatarbelakangi oleh pemahaman Nazi yang menganggap manusia satu dengan lainnya tidak lebih tinggi derajatnya.

Motif politik dan bisnis adalah yang paling dominan dalam sejarah pembunuhan massal di dunia.

Saat saya masih SMA, salah satu materi pelajaran yang sangat saya suka adalah sejarah. Apalagi saat sub-materinya khusus membahas pemberontakan PKI yang setiap bulan September kita kenal dengan G30S/PKI.

Dulu, dari materi itu saya merasa bahwa PKI adalah sekumpulan orang-orang yang tidak tau malu, bayangkan saja, bagaimana jadinya jika Indonesia yang baru saja menikmati harumnya wangi kemerdekaan, harus kembali disiram dengan amisnya darah bangsa sendiri. Terlepas apa kemudian tragedi yang dimaksud adalah pembantaian para Kyai dan Santri di Madiun atau pembunuhan tujuh Jenderal TNI.

Dari buku sejarah sekolah dulu juga, selain PKI, otak saya telah diwarnai dengan berbagai macam pengetahuan tentang kekerasan terhadap rakyat pribumi yang dilangsungkan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.

Makanyalah kenapa setelah belajar sejarah, saya seperti merasakan amarah yang sulit untuk dipadamkan dan mengunci paksa pintu maaf atas kesalahan-kesalahan para pelaku kekerasan dalam sejarah. Seakan-akan Tuhan tidak akan pernah mencatat kesalahan saya karena terlalu sibuk mencatat banyaknya kesalahan PKI, Belanda, Jepang, DI/TII dan Orde Baru.

Saya telah terbentuk menjadi manusia yang pongah, yang menganggap dosa besar PKI telah meminimalisir dosa-dosa saya selama saya masih membenci PKI. Dan saya diperbolehkan menanam dendam oleh Tuhan, karena PKI atau Kuminis adalah ideologi yang atheis dan halal darahnya sebagaimana informasi yang beredar di broadcast-broadcast.

Jika sejarah kita yang kelam terus diprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, salah satu cara untuk melawannya adalah dengan membaca sumber sejarah yang objektif. Saya kira hal itu nantinya akan melegakan, dibanding anda harus membaca pesan-pesan whatsapp yang sudah dibumbui dengan ajakan balas dendam.

Gusdur pernah berpesan pada Andy F. Noya ketika ditanya apakah Gusdur sudah memaafkan dan melupakan kesalahan Pak Amin? Jawab Gusdur, “Saya ikhlas memaafkannya tapi bukan berarti melupakan.” Jika diamati, Gusdur memberikan contoh bagaimana caranya menyikapi kesalahan orang, bahwa tidak melupakan bukan berarti tidak memaafkan.

Tapi, apa setelah Gusdur dilengserkan lantas almarhum bersafari ke masyarakat untuk menceritakan begini loh kesalahan Pak Amin, begitu loh nasib saya. Baginya, kesalahan Pak Amin cukup untuk diingatnya seorang diri, tanpa harus diceritakan ulang untuk mempengaruhi orang lain supaya jadi benci juga pada Pak Amin.

Gusdur punya visi yang lebih baik ketimbang harus hayoh saja membahas dirinya yang diturunkan oleh orang yang mendukungnya maju. Halah politik

Negara kita telah menghukum PKI secara konstitusional di dalam TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 dengan tidak boleh lagi menghidupkan ideologinya. Pemerintah sudah punya wewenang untuk menjaga Indonesia dari dosa-dosa masa lalu, tapi kok kemudian isu PKI muncul lagi setelah sekian lama isu ini terakhir kali ramai pada tahun 2014 khususnya pada perhelatan Pilpres?

Apa artinya, kreatifitas politik kita sudah mati? Setelah akhir-akhir ini beberapa politisi berhasil menggunakan isu agama sebagai komoditas, dan sekarang isu agama sudah tidak menemukan celahnya, giliran isu PKI yang harus digembar-gembor lagi. Satu pertanyaan yang cocok, kenapa politik kita selalu membuat kegaduhan di tengah kondisi yang telah tenang.

Lalu, ketika budaya politik seperti itu terus menerus dilakukan, apa kita mau disebut bangsa yang tidak kreatif? Karena dianggap selalu membuat rakyat ragu memilih salah satu calon karena bantuan isu-isu negatif? Bukan karena adu gagasan tentang mana yang lebih positif visi misi nya? Pffft

Isu Komunisme memang akan selalu ampuh untuk mempengaruhi masyarakat dari yang tadinya berpihak menjadi tidak berpihak, pun sebaliknya. Padahal kata Buya Syafii “PKI yang sudah masuk kuburan sejarah jangan dibongkar lagi untuk tujuan kekuasaan. Sungguh tidak elok dan tidak mendidik.” Beliau melanjutkan “Generasi baru Indonesia jangan lagi diracuni oleh cara-cara berpolitik yang tidak beradab.”

Sekarang ini, setiap yang berkaitan dengan PKI, Orde Baru, DI/TII atau apa pun yang memiliki dosa sejarah, sudah sama-sama mendapatkan haknya sebagai warga Negara, bahkan Ribka Tjiptaning adalah salah satu anak keturunan PKI yang jadi anggota DPR.

Tidak ada lagi istilah pemerintah yang memandang sebelah mata terhadap mana yang anaknya PKI mana yang non-PKI. Meski memang stigma belum bisa hilang di kalangan akar-rumput, biarlah jangan malah diperparah dengan memijit-mijit koreng yang pasti sakit.

Lambat laun Indonesia akan menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang tidak melulu ‘tok’ harus komunis, khilafah atau sosialis seutuhnya, tetapi bangsa yang punya kebebasan memilih mana bagian dari komunis yang diperlukan dan mana bagian dari khilafah yang dibutuhkan. Itu pun jika kita tidak terus menerus menyalahkan siapa yang salah dari apa yang sebetulnya sudah lewat.

Meminjam kicauan Prof. Mahfud MD di Twitter “Mari melangkah saja ke depan, dan saling menyayangi.” Bukankah untuk memadamkan api harus dengan air?
Dengan begitu saya yakin se-yakin yakinnya, Negara kita ini akan aman tentram dan damai, tidak seperti yang digambarkan pada broadcast-broadcast WhatsApp di grup anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.