Indonesia sudah mengganti kurikulum kurang lebih sebanyak 11 kali sejak tahun 1947. Ya, pergantian kurikulum tentu perlu pertimbangan yang matang, termasuk di dalamnya analisis kebutuhan peserta didik pada setiap zamannya.
Pada kurikulum pendidikan 1984, dalam data yang saya rangkum dari web kemendikbud.go.id setidaknya ada beberapa titik tekan yang sama dengan kurikulum terbaru yang sampai saat ini disebut dengan K13, yaitu siswa sebagai subjek pembelajaran.
Sekitar 36 tahun lalu Indonesia pernah membuat aturan dimana model belajar CBSA harus dominan di dalam kelas. Hanya pada K13 perbedaannya ada embel-embel karakter. Pendidikan karakter alias pendidikan moral, alias lagi sikap. Titik tekannya sekarang pada aspek afektif.
Pemerintah menyadari bahwa murid-murid harus menanam nilai-nilai integritas dalam dirinya sejak masih duduk di bangku sekolah. Sikap anti-korupsi, anti-intoleransi, anti-bullying dan anti-anti lainnya. Aspek karakter inilah yang sedang disisipkan oleh pemerintah dalam seluk beluk teknis pembelajaran. Misal, dalam setiap mata pelajaran siswa perlu menganalisis hikmah dari substansi materi yang tersedia.
Dalam pembelajaran Matematika misalnya, guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara proses penjumlahan angka 1+1=2 dengan nilai-nilai kejujuran yang boleh dibilang sedikit memaksa. Dengan keterbatasan yang ada, guru akan mencoba cocok menyocokkan berbagai argumen bahwa matematika adalah mata pelajaran paling jujur. Seluruh umat manusia dari yang profesor, tukang bakwan, anak presiden atau selebgram sekalipun akan menjawab dua, dari pertanyaan satu ditambah satu.
Ya, meskipun agak memaksa, demikianlah yang bisa dilakukan oleh guru-guru pada umumnya. Bahkan dalam mata pelajaran yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan karakter, guru diharuskan menelaah, dan kemampuan menelaah itu bukan sesuatu yang ajaib dan bisa dibeli secara eceran. Jadi, alih-alih menyelaraskan substansi materi dengan nilai karakter, guru terkesan cocokologi.
Nah, susah-susah sulit memang mengintip nilai karakter apa yang terkandung di dalam setiap mata pelajaran. Tetapi jika mau sedikit jeli, tanpa adanya kurikulum sekalipun, nilai-nilai karakter bisa didapat dari setiap proses hidup manusia. Termasuk dari hal yang paling sepele, yaitu cuci piring.
Pernahkah kamu melihat westafel rumah yang isinya penuh dengan piring kotor? Apa yang kamu bayangkan setelah melihat itu? Sejatinya pendidikan karakter memiliki beberapa kunci, salah satunya adalah kesadaran. Nah, proses membangun kesadaran ini yang meski gak gampang-gampang banget tapi ya nggak mustahil juga.
Ketika kamu memperhatikan sesuatu dengan cermat atas stimulus eksternal, maka itu yang dinamakan conscious atau tingkat kesadaran menurut pandangan Freud. Melihat piring kotor, tetapi tidak merasa bahwa itu adalah tanggung jawab yang mesti dituntaskan? Sulitlah di kemudian hari ia memiliki responsibilitas yang jauh lebih besar dari sekadar mencuci piring.
Proses membangun kesadaran tidak bisa dilakukan tanpa adanya praktik, anak-anak mesti ditugaskan mencuci piring yang sangat menumpuk itu, mereka harus merasakan bagaimana orang tua disamping harus cari uang, harus juga nyuci setumpuk piring dan panci bekas masak sayur asem.
Cuci piring sejatinya bikin berkeringat, ada beberapa proses di dalamnya. Pertama, kamu harus membersihkan sisa-sisa makanan, kedua membilas piring tersebut dengan air, ketiga proses penyabunan, ke empat pembilasan kembali. Dari ke empat proses itu sedikit banyak ada nilai yang terkandung. Cobalah sekali saja kamu mencuci piring yang biasanya dikerjakan oleh ibumu, lalu rasakan sendi-sendi dan otot kakimu.
Mulai lelah dengan mencuci piring, cobalah lihat lantai rumah yang kotornya bukan main bekas roda motor yang basah karena hujan. Lalu beranjak melihat pakaian kotor yang menumpuk satu, dua bahkan tiga ember. Baju kusut belum disetrika, dari mulai seragam sampai daster. Siapa yang mengerjakannya? Biasalah.
Bahwa mencuci piring setumpuk saja rasanya seperti badan mau copot, apalagi harus jadi pekerjaan sehari-hari. Hei anak muda, itulah yang dirasakan ibumu setiap hari. Dari proses ini, karakter lainnya adalah memiliki empati, bila seseorang telah berempati terhadap suatu masalah yang terjadi pada orang lain, maka kepribadiannya mulai beranjak dewasa, dan kesadaran sosialnya tumbuh.
Jika sudah mulai paham, maka tidak harus lagi ada kurikulum-kurikulum pendidikan karakter yang saya tebak tiga atau empat tahun mendatang akan berubah lagi sesuai siapa yang jadi menterinya. Pilihannya adalah membangun kesadaran, atau menyesuaikan diri dengan setiap kurikulum, pilihan kedua adalah pilihan melelahkan.
Ya memang, kurikulum adalah alat pendidikan bagi sekolah dan guru-guru. Tetapi, tidak perlu dijadikan patokan mutlak bagi proses belajar. Buktinya, jika begitu, Indonesia akan menciptakan masyarakat berbeda jenis sesuai masa kurikulum yang berlaku, setidaknya ada 11 kurikulum yang pernah diterapkan dan sepuluh diantaranya tergantikan.
Manusia dan belajar adalah dua entitas yang punya hubungan spesial. Setiap hal merupakan pelajaran, masalah adalah bentuk evaluasinya. Dan kesadaran bagian dari hasil belajar terpenting. Sedangkan empati merupakan nilai tertingginya, alih-alih angka seratus.
Oh ya, tentang cuci piring ini saya jadi ingat sebuah kaidah fiqih ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh. Jika tidak sanggup mencuci semua piringnya, jangan tinggalkan begitu saja seluruh piring kotor itu, minimal cucilah bekas piringmu sendiri.