Kita Harus Puitis Sejak dalam Pikiran

puitis-breakpos.com

Saya tertarik menulis dengan judul ini terinspirasi dari jurnalnya kang Taufik (taufikadan.tumblr.com) yang berjudul Jujur Sejak Dari Medsos. Ini sebenarnya kata-kata Pram yang aslinya berbunyi “kita harus adil sejak dalam pikiran.” Atau lebih lengkapnya “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” Ini ada di dalam novel Bumi Manusia. Aslinya mah saya belum baca sama sekali. Saya hanya dapat dari google. Pertama kali saya mendengar kata-kata ini yaitu saat Pelatihan Pemimpin Bangsa #8 tahun 2014 lalu di Yogyakarta, Magelang, dan desa Banyuroto (salah satu desa di Jawa Tengah).

Beberapa aktivitas organisasi ekstra kampus mengucapkannya saat berdiskusi. Tapi memang benar apa yang dikatakan Pram. Saat masih dalam pikiran pun kita harus bersikap adil, seimbang, dan tidak berlaku zalim atau berniat melakukannya pada orang lain.

Namun di tulisan ini saya ingin mengubahnya menjadi “kita harus puitis sejak dalam pikiran”. Pikiran nakal untuk memodifikasi perkataan Pram ini jatuh dari langit-langit kamar mandi kosan. Ah jangan terlalu dianggap serius. Saya suatu ketika teringat saja kalau menggantinya dengan “puitis” sepertinya akan menjadi satu tulisan yang menarik. Terlebih di minggu-minggu itu saya memang cukup produktif menulis puisi.

Jangan tanya tentang kualitasnya! Saya pun tak yakin puisi-puisi itu layak disebut puisi. Masa lalu. Eh masa bodo ding. Tapi saya pun jadi teringat kata-kata Panji Pragiwaksono dalam satu kesempatan, bahwa “karya yang pertama kali dibuat itu adalah sampah”. Baiklah, anggap saja saya sedang membuang sampah sebanyak-banyaknya agar suatu saat yang didapat adalah sebongkah berlian.

***

Sampai sekarang saya masih mempertanyakan definisi puisi. Apakah puisi itu? Makhluk seperti apa dia? Sesederhana berkata-kata dengan patuh pada rima, isinya sulit dimengerti orang awam, atau hanya bisa dibuat oleh orang yang sedang jatuh cinta dan patah hati saja?

Saya masih berkutat dalam kebingungan. Hingga akhirnya pemahaman saya tentang puisi jadi sedikit tercerahkan setelah membaca buku pak Acep Zamzam Noor yang berjudul Puisi dan Bulu Kuduk. Buku ini asli sangat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh para penikmat puisi atau yang baru tertarik melakukan pendekatan pada puisi untuk kemudian menjadikannya kekasih, atau ingin belajar membuatnya sendiri agar bisa memberikannya pada sang kekasih.

Dalam buku tersebut, puisi secara singkat menurutnya ialah “seni berbahasa atau berkata-kata.” Yang sebelumnya diawali dengan pemaparan atas berbagai tafsir orang-orang mengenai puisi seperti “kata-kata yang dirangkai indah, kata-kata terbaik dalam susunan yang terbaik, seni bahasa yang berirama, perpaduan dari kegairahan dan kebenaran, luapan perasaan yang bersifat imajinatif, hingga pikiran yang diungkapkan secara kongkrit dan artistik.”

Saya sendiri sepakat dengan yang disampaikan pak Acep bahwa orang-orang yang berpuisi cenderung “berbeda tingkat kepekaannya dengan mereka yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan puisi.” Meski bukan berarti yang biasa saja sama puisi—maksudnya tidak terlalu bergaul banyak dengannya—enggak bakalan punya sifat-sifat itu. Ini akan sangat subjektif memang, karena dinyatakan oleh orang yang memang menyenangi puisi. Dan barangkali pernyataan itu tidak sembarangan dilontarkan melainkan setelah melalui pengamatan dengan saksama dan teliti.

Maksud puitis sejak dalam pikiran di sini artinya bersikap bijak, peka terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungan, penuh pertimbangan, tidak rusuh teu puguh, bahkan termasuk adil di dalamnya. Bukan maksudnya dalam kepala isinya kata-kata yang gombal atau pabaliut dan hanya dipahami diri sendiri. Bukan itu poinnya.

Puitis di sini lebih ke sikap kita yang sedikit banyak meniru bagaimana puisi bekerja. Meskipun pendek dan sulit dimengerti misalnya, puisi selain juga memiliki aspek estesis, ia punya daya simpan atas makna yang sungguh dalam. Selain dalam, tingkatan penyimpanannya pun amat berlapis-lapis. Hari ini bisa dimaknai begini, besok bisa berubah jadi begitu, dan lusa bisa beda lagi.

Maka kita pun bisa meneladani karakteristiknya, mencintai makna-makna yang terkandung di dalam apa pun. Tidak berorientasi hanya pada hasil semata namun mengabaikan cara-cara mendapatkannya. Kan enggak banget kalau berlaku seperti demikian.

***

Puisi lebih lanjut menurut salah satu putra alm. K.H. Ilyas Ruhiyat ini “memiliki potensi yang sangat besar dalam membentuk karakter dan sikap seseorang. Meskipun bukan merupakan jaminan.” Saya sendiri mengalaminya.

Dengan berpuisi, saya jadi cukup terlatih untuk bersikap santai, tidak mudah terpancing, dan lebih peka pada apa-apa yang terjadi. Walau pekanya, hanya di tataran peka saja dan belum peka banget sehingga masih sulit untuk menindaklanjutinya. Misalnya ketika menyaksikan sesuatu yang bertentangan dengan sistem nilai yang diyakini, saya acap masih takut untuk menyuarakannya.

Paham kan apa maksud saya di tulisan ini? Intinya mari berguru pada puisi dan ayo kita puitis sejak dalam pikiran. Ingat, bukan puitis yang kencring seperti sering mengeluarkan gombalan-gombalan yah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.