Kita Tidak Tambah Tua, Cuma Jadi Vintage

tua vintage

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya berpikir bahwa usia 30 tahun adalah usia tua. Tua dalam artian sudah melewati fase yang berbeda. Pada saat itu, ada dosen di kampus saya yang usianya masih 29 tahun, artinya, usia 30 tahun itu bahkan lebih tua dari dosen. 

Sehingga, pada saat itu saya punya perasaan bahwa setelah usia 20 tahun, kita memulai fase vintage, memudar mendekati senjakala. Sungguhlah pada saat itu saya adalah seorang yang pandir, karena justru ketika mencapai usia tersebut, saya malah merasa batin saya sedang menuju kemantapan. Betapa naifnya saya di sepuluh tahun yang lalu itu. 

Rasulullah saja diangkat jadi Nabi dan Rasul di umur 40 tahun. Sungguhlah umur kepala tiga itu masih jauh dari kata tua. Tapi itu artinya juga di umur itulah seseorang menuju kematangan hidupnya. 

Pertambahan jumlah usia seringkali seiring dan sejalan dengan pudarnya impian-impian atau penumpukan penyesalan. Saya melihat itu hal yang wajar dan amat normal. Tidak ada hal yang paling konsisten selain waktu, ia menyapu segala hal yang tinggal. Karena itu demi mengurangi jumlah penyesalan dalam hidup, jangan sampai menghardik waktu dengan berlaku malas. 

Itu hal yang menurut saya paling harus diwanti-wanti dalam menapaki perpindahan usia. Dulu cuma perlu memikirkan kebutuhan sendiri, kok, sekarang sudah harus survey sekolah anak. Eh, ternyata juga, dalam memasuki fase yang baru, ada perasaan ingin memedulikan orang lain secara lebih besar daripada diri sendiri.

Jika menilik ke belakang, saya bersyukur sepertinya hidup saya sama sekali tidak buruk, tidak semua hal menyenangkan, tetapi tidak semua hal sedih juga. Seperti salah satu bait puisi Weslly Johannes dalam kumpulan puisi Bahaya-Bahaya Yang IndahBaik lagu senang, ataupun lagu sedih, keduanya sama-sama merdu.” 

Saya juga bersyukur dipercaya Tuhan untuk sudah berkeluarga di usia ini. Itulah mungkin tujuannya diciptakan kasih dan sayang, karena tanpa orang lain sia-sialah perasaan itu. Pasangan tidak selamanya sesuai harapan, tapi cukup sadar diri saja, toh kita juga tidak selalu sesuai harapannya. 

Hadirnya anak juga menjadi pembeda dalam kehidupan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada teman-teman yang memilih child-free, bagi saya, menjadi ayah adalah hal yang sangat membahagiakan sekaligus menakjubkan. Pada satu titik, saya punya motivasi internal yang tidak ada padanannya untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Selain itu, saya juga seharusnya melihat hal dalam sudut pandang yang lebih luas. Yang menjalani usia kepala tiga ini bukan hanya saya seorang, orang-orang yang seumuran saya itu pastilah sedang mengalami hal yang sama, kecemasan yang sama juga. 

Jika seseorang bukan anak pejabat atau anak sultan, pastilah ia menghadapi persoalan yang sama seperti umumnya orang biasa. Yaitu mereka yang sedang bingung karena jadi sandwich generation, yang sedang pusing karena harus bayar cicilan KPR, yang masih belum menemukan pasangan hidup, yang masih gamang untuk menetapkan karir yang tepat, yang bingung untuk merintis usaha atau bertahan di tempat kerja, dan lain sebagainya. Tapi di antara kesusahan itu, pastilah ada hal yang berjalan lancar.

Misalnya saja usaha sampingan yang mulai menghasilkan, atau dapat diskon untuk uang sekolah anak, atau dapat bos yang baik, atau juga berhasil jadi PNS. Intinya, selama kita tidak merasa jadi manusia paling sengsara di dunia, pastilah kita sadar bahwa kehidupan itu ya memang selalu berbarengan antara dua sisi yang berbeda kutub. Bersama kesulitan ada kemudahan. 

Selama hidup, pastilah seperti itu, karena itu ketetapannya. Banyak juga yang saya lihat orang-orang di usia ini mulai akrab dengan kata “realistis”, contoh di dalam kalimatnya adalah, “Sekarang mah kita harus mulai realistis.” Lalu dilanjutkan dengan memilih opsi kehidupannya dengan nada setengah menyesal. Hal ini jamak saya temui, tidak hanya satu atau dua orang.

Namun, saya merasa aneh, apa selama ini mereka memang tidak pernah realistis? Apa yang dimaksud dengan realistis? Saya sendiri menghindari mengucapkan kata tersebut, karena kita tidak pernah seutuhnya memahami realitas untuk berlaku realistis. Selain itu, dengan mengucapkan kata tersebut, saya merasa bahwa diri kita yang dikondisikan keadaan, bukan kita yang mengondisikan. 

Untuk menghadapi situasi itu, saya menukil isi ceramah Kyai Fahruddin Faiz yang berseliweran di media sosial. Bahwa masa depan itu boleh dirancang tapi tidak dikhawatirkan, masa lalu itu boleh diingat tapi tidak disesali. Penyesalan dan kekhawatiran itu yang membuat batin sengsara. Apa yang ada di hadapan sekarang, yang bisa dilakukan, dan membuat hati nyaman, itu yang dijalankan. Jadi marilah tidak berpusing ria, dan semoga kita menua seperti mas Duta SO7 atau Ariel Noah yang semakin ke sini semakin sedap luar dan dalam. Aamiin