Lebih Mulia Mengedepankan Akhlakul Karimah

akhlakul-karimah-breakpos.com

Dalam memahami agama, sifat keterbukaan dan orientasi tujuan sangatlah dibutuhkan. Jika tidak, proses beragama dalam tatanan masyarakat menjadi sangat pincang dan tidak stabil, beberapa hal yang menyebabkan masalah pertikaian ialah parsialitas dan dekadensi pemahaman spiritual, yang berakibat pada pembatasan aspek-aspek beragama. Seperti halnya urusan politik yang diusahakan dengan mengabaikan sifat sabar dan ikhlas menerima, sekalipun demi menegakkan panji-panji agama.

Sering kita dengar hadits Nabi yang menuturkan mengenai penyempurnaan Akhlak adalah tujuan utama Nabi Muhammad diutus ke atas muka bumi, namun urusan-urusan lain yang seringkali membiaskan makna Akhlak membuat kebanyakan orang buta dengan makna terpenting agama diturunkan. Sebagaimana contoh perkara sosial yang selalu menjadi langganan telinga untuk turut berpartisipasi mendengarkan sumpah serapah kepada aktivis partai yang berbeda keyakinan, bahkan sesama muslim.

Dan peristiwa yang sering muncul selalu disikapi demikian kerasnya, padahal tidak begitu berdampak besar bagi keberlangsungan hidup manusia, hanya yang berkaitan dengan identitas keagamaan, atau keresahan politik umat. Sebetulnya sekalipun dunia dipimpin seorang non-muslim, apakah kita bisa menjamin kehancuran segera datang? Tidak demikian adanya, karena ini bukan soal identitas, tapi soal sifat dan amal saleh. Panggung sejarah banyak berbicara hakikatnya mengenai sifat buruk penjajahan, kesombongan, kepongahan yang tidak pernah bertahan lama.

Oleh sebab itu, perbuatan yang secara lahiriah timbul kemudian, secara tidak sadar dan tanpa direncanakan ialah pengertian sederhana mengenai Akhlak menurut Imam Al-Ghazali. Tentu kita dapat menilai berapa banyak perbuatan yang tanpa disadari telah menyakiti bahkan merugikan masyarakat luas, semisal salah memahami konsep Jihad atau hanya merasa paling baik. Berangkat dari hal demikian, pemahaman akan amal shaleh akhir-akhir ini seakan terkikis dengan orientasi lain yang setidak-tidaknya hanya bagian kecil dari bangunan agama, seperti mencaci-maki dan berprasangka buruk terhadap sesuatu yang secara fisik terlihat kafir dalam hal-ihwal politik.

Dalam sejarah Islam di Indonesia, sekitar tahun 1900-an kita dapat membaca arah gerak dan alur jawaban para ulama dalam menjawab penjajahan. Sarekat Dagang Islam lahir untuk menjawab itu. Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid 1 menjelaskan bagaimana Haji Samanhudi yang mendirikan Syarikat Dagang Islam mampu menyaingi VOC yang pada saat itu menguasai pasar Indonesia[1]. Sekaliber penjajah yang datang dari negeri sebrang, secara garis primordial tidak sama, datang untuk menjajah dan yang paling parah tidak satu keyakinan dengan mayoritas masyarakat Indonesia pada saat itu dijawab dengan demikian strategiknya serta penuh pemikiran dan tindakan yang mulia oleh Haji Samanhudi. Kenapa ia tidak memilih untuk perang dan perlawanan militer? Padahal saat itu ia dipercaya oleh banyak umat untuk melawan.

Kenyataan telah membuka Haji Samanhudi untuk memilih menghabiskan seluruh hartanya demi membesarkan SDI yang menjadi cikal-bakal kebangkitan nasional itu[2]. Dan di zaman yang penuh dengan urusan yang kian paradoks serta sarat akan materialisme, kita telah gagal bertahan di tengah arus yang sangat kuat, dan malah tergerus oleh nafsu yang tidak terkendali kemudian lebih parahnya mengatas namakan itu perlawanan agama atas penghinaan.

Selain Haji Samanhudi, tokoh Islam Indonesia yang juga merepresentasikan semangat perlawanan dengan cara dan tutur yang santun ialah Ahmad Hasan atau dikenal sebagai Hasan Bandung, salah satu tokoh bersejarah Persatuan Islam, meski ia tidak lahir di Indonesia, namun ia telah lama menetap di Bandung. Sang Pembela Islam melekat pada julukannya karena tatkala Islam dihina, menggelar perkara dengan bungkusan diskusi dan menyampaikannya dengan sifat elegan tanpa kebencian bahkan membuat karya tulis ialah langkah yang dilakukannya[3]. Hal ini dapat dilihat ketika ia menjadi sahabat dekat atau guru agama Islam Soekarno padahal diantaranya selalu bersilang pendapat.

Contoh paling teladan dilakukan oleh Nabi Muhammad saat hendak pergi ke masjid selalu dikisahkan diludahi oleh salah seorang Quraisy yang sangat tidak menyukainya, namun apa yang dilakukan Sang Panutan adalah malah membalas air susu dari pada air tuba. Sebuah penghinaan besar untuk seorang Nabi, manakala martabatnya diinjak dan melawan dengan kelembutan, teladan itu hilang begitu saja sekarang. Dalam Al-Quran[4], Allah pun berfirman tentang bagaimana para nabi berbuat saat dihinakan.

Yang demikian tidak tercermin dalam diri kita saat ini disebabkan oleh manusia yang belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Respon atas kekalahan politik yang sering sekali dicerminkan oleh umat muslim seharusnya tidak terlalu berlebihan sampai membawa alasan perbedaan ras atau agama sebagai dasar perlawanan, justru sebaliknya keikhlasan menjadi kunci yang sangat kuat dalam menyambangi kehidupan dan bertahan dalam arus materialisme. Seorang sufi, Ibn Atha’illah yang dikutip oleh Nurcholish Madjid berpesan bahwa Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriah yang tegak, sedangkan ruh amal perbuatan itu ialah rahasia keikhlasan di dalamnya[5].

Dan pada akhirnya menurut apa yang selama ini kita yakini sebagai itikad baik dalam membela agama hanyalah tindakan yang kontra produktif dengan pesan Allah kepada Nabi Muhammad yaitu menyempurnakan akhlakul karimah. Sejalan dengan itu dalam salah satu karyanya, Komarudin Hidayat berpendapat bahwa tugas seorang rasul adalah menyampaikan amanat Tuhan dan memberi keteladanan pribadi mulia karena iman dan amal seseorang hanya dinilai oleh Allah Yang Maha Adil[6]. Lalu masihkah kita akan terus bertikai meski batin ini sebetulnya menolak untuk bermusuhan?

[1] (Suryanegara, 2009). Api Sejarah. Bandung: Salamadani halaman 349

[2] http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2011/06/25/51081/pemerintah-seharusnya-meniru-semangat-saman-hudi.html

[3] https://tirto.id/si-raja-debat-yang-gigih-membela-islam-cgGY (Artikel : Si Raja Debat yang Gigih Membela Islam)

[4] “dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. dan Sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita Rasul-rasul itu.” (Al-An’am : 34)

[5] Madjid, N. (1995). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. Halaman 48

[6] Hidayat, K. (2012). Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Mizan Media Utama. Halaman 56

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.