Peribahasa lama mengatakan, “seperti katak dalam tempurung”, yang bermakna orang yang tak memiliki wawasan yang luas. Nampaknya peribahasa tadi pas untuk menggambarkan kondisi pendidikan Islam saat ini. Bukan tanpa alasan, saya melihat bahwa pendidikan Islam sudah lama tertidur pulas dan perlu untuk dibangunkan kembali. Pendidikan Islam sudah lama stagnan dan cenderung jalan di tempat. Entah, pendidikan Islam masih lekat dengan frame terbelakang dan kuno. Padahal Islam diyakini sebagai agama yang relevan dengan kemajuan zaman, namun nyatanya hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
Kungkungan taqlid menjadikan Islam alergi dengan manuver-manuver dinamis yang dilakukan oleh orang-orang berpikiran terbuka. Logika tidak lagi dijadikan sebagai instrumen berharga untuk memahami dan mengembangkan domain agama. Logika akan tunduk seketika jika sudah keluar kata “darisananya udah gitu” yang seolah-olah membuat logika berhenti berpikir. Padahal logika merupakan daya yang luar biasa yang hanya dimiliki oleh manusia. Bahkan Descartes pun mengatakan bahwa “cogito ergo sum”, tandanya seorang manusia adalah manusia yaitu dengan berpikir. Jika logika manusia tak digunakan dan dijadikan alat pengembangan diri dan peradabannya, maka manusia sudah kehilangan salah satu definisinya.
Dalam Islam, penggunaan logika bukanlah sebuah hal yang tabu atau bahkan haram, tidak sama sekali. Logika diberikan ruang tersendiri untuk memahami ayat-ayat kauniyah dan bahkan juga ayat-ayat qauliyah yang bertebaran di muka bumi dan dalam kitab-Nya. Logika seharusnya dikembalikan ke posisinya semula, yaitu sebagai instrumen pencapai kebenaran, sehingga jika dikaitkan dengan agama, logika berperan menjadi instrumen pencapai kebenaran-kebenaran ilahi yang terkandung dalam wahyu. Sebagai contoh, dalam Al-Qur`an tercatat dengan indah kisah petualangan Nabi Ibrahim mencari Tuhan yang tertuang dalam Surat Al-An’am ayat 75-80. Nabi Ibrahim pada awalnya mengira bintang adalah Tuhan, namun tak mungkin Tuhan tenggelam dalam selimut mentari. Kemudian beliau mengira bulan adalah Tuhan, namun pula tenggelam manakala pagi. Maka muncullah matahari yang lebih besar daripada bintang dan bulan, namun matahari terbenam pula. Hingga pada akhirnya beliau berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang lebih “besar” daripada benda-benda langit tadi, yaitu suatu Zat yang menciptakan mereka, yang mengatur alam semesta dengan sedemikian teratur. Nabi Ibrahim menggunakan logika berpikir yang maju pada zamannya, yang mana logika tersebut digunakannya untuk mematahkan kepercayaan kaumnya yang masih menyembah berhala dan benda-benda langit.
Berkaca kepada sejarah perkembangan Islam, logika pernah berjaya manakala Islam memasuki masa-masa golden age. Bahkan zaman Nabi dan sahabat oleh dunia Barat dikenal dengan sebutan Liberal age, sebagai simbol pembebasan manusia jahiliyah yang terbelakang menuju kemajuan fikriyah yang penuh kegemilangan. Liberal age inilah yang kemudian menyokong lahirnya peradaban Islam yang pesat di bawah kekuasaan dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Terlepas dari pro-kontranya, penggunaan logika pada saat itu begitu banyak melahirkan tokoh-tokoh kenamaan yang mengharumkan nama Islam di mata dunia. Tentu kita sudah tak asing lagi dengan nama-nama semisal Ibnu Sina, Al-Ghazali, Al-Khawarizmi, Al-Razi, Ibnu Rusyd hingga Ibnu Thufail. Nama-nama tersebut menjadi trade mark kejayaan peradaban Islam, sekaligus sebagai simbol kemajuan berpikir Islam di atas bangsa-bangsa lain. Mewarisi filsafat Yunani, para sarjana Muslim abad pertengahan berhasil mengembangkannya jauh dari perkiraan. Filsafat menjadi pintu gerbang menuju gudang ilmu pengetahuan yang tak terbatas. Filsafat Yunani ini diterima secara luas oleh para sarjana muslim kala itu dikarenakan ajaran filsafat Yunani sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Bahkan sejarah mencatat bahwa filosof-filosof Yunani sempat berguru kepada tokoh-tokoh ‘Islam’ kuno. Pythagoras (570 – 470 SM) telah belajar banyak hal dari ‘sahabat Nabi Sulaiman.’ Empedokles (495 – 435 SM) pernah belajar dari Luqman al-Hakim. Socrates (469 – 399 SM) belajar tentang Hermes (nama lain Nabi Idris a.s). Oleh karena itu, banyak sarjana muslim yang menerima filsafat Yunani, karena filsafat Yunani mengadopsi, mencampur, melakukan sintesa, dan mengembangkan ‘ajaran Islam’.
Kejayaan peradaban Islam diyakini luntur dan runtuh manakala keterbukaan berpikir ditutup. Filsafat tidak boleh dipelajari karena diyakini mendekatkan seorang hamba pada kemusyrikan. Kitab Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali (1059-1111) dijadikan kambing hitam atas tertutupnya pintu ijtihad dalam Islam. Memang, lebih kurang kitab tersebut memberikan influence yang luas pada mayoritas Muslim sehingga kaum Muslim saat itu sudah tidak lagi menggandrungi filsafat. Walau ada usaha untuk mengkritisi dan menjawab kerancuan filsafat oleh ibnu Rusyd (1126-1198) dalam kitabnya yang berjudul Tahafut at-Tahafut, namun nampaknya usaha tersebut tak jua menutupi luasnya pengaruh dari kitab karya Al-Ghazali di atas. Bahkan karena usahanya ini, Ibnu Rusyd mendapat cacian dan makian dari kaum Muslim saat itu yang sudah terdoktrin oleh Tahafut al-Falasifah. Hingga akhirnya Ibnu Rusyd dihukum oleh Khalifah yang memimpin saat itu, yakni Khalifah Al-Mansur. Ibnu Rusyd diusir dari Cordoba dan dibuang ke daerah perkampungan Yahudi di Lucena. Walau pada tahun berikutnya Ibnu Rusyd dibebaskan akibat desakan para ulama yang pro terhadapnya, namun sekali lagi, tetap tak mampu menghentikan pengaruh Tahafut al-Falasifah. Ibnu Rusyd pun wafat tak lama setelah ia dibebaskan pada tahun 1198 Masehi dalam usia 72 tahun.
Pada akhirnya, kitab Tahafut at-Tahafut beserta ide-ide Ibnu Rusyd yang tertuang di dalamnya diterima dan dikembangkan hingga diadopsi oleh kaum Kristen dan Yahudi. Bahkan di Barat, kitab Tahafut at-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof Kristen untuk mengkritisi otoritas dan doktrin Gereja, dan dari sinilah kemudian abad pencerahan di Barat bermula. Bahkan Voltaire dan Rousseau, tokoh penting masa renaissance secara terang-terangan terinspirasi setelah membaca karya-karya Ibnu Rusyd. Maka tak berlebihan jika filsafat Ibnu Rusyd ini menjadi gerbang terbukanya masa golden age di Barat.
Di saat Barat menyongsong masa keemasannya, Islam tengah menghadapi masa kejumudannya. Filsafat yang telah dituduh mendekatkan seseorang pada kemusyrikan perlahan ditinggalkan, roda peradaban yang semula dinamis perlahan tapi pasti memudar dan terhenti. Kemerosotan peradaban ini kemudian diperparah dengan runtuhnya khalifah-khalifah Islam ke tangan Barat, daerah kekuasaan Islam semakin berkurang pesat, bahkan daerah-daerah Islam berhasil diduduki dan dijajah oleh penjajahan kolonialisme. Potret tersebut semakin menegaskan bahwa dunia intelektual Islam terhenti dan berimplikasi kepada masa depan Islam.
Kini, berabad-abad setelah kejadian di atas berlalu, geliat intelektual Islam perlahan mulai terlihat. Kembalinya bermunculan tokoh-tokoh Islam berpengaruh membawa angin segar, bahkan banyak diantaranya berhasil menyabet penghargaan Nobel, sebuah penghargaan dunia di bidang fisika, kimia, fisiologi atau kedokteran, sastra, ekonomi, dan perdamaian. Sejak penghargaan Nobel ini dihelat, Islam telah menyumbangkan sebelas tokohnya, dari sebelas tokoh tersebut hanya dua tokoh saja yang meraih Nobel di bidang sains, selebihnya meraih Nobel di bidang perdamaian, ekonomi dan sastra. Dua tokoh tersebut adalah Prof. Abdus Salam (1926-1996) dan Dr. Ahmed Zewail, keduanya merupakan ilmuwan asal Pakistan. Prof. Abdus Salam telah menorehkan namanya di kalangan sains dunia sebagai seorang periset akbar mengenai hukum interaksi partikel nuklir elementer dan strukturnya. Sedangkan Dr. Ahmed Zewail menerima penghargaan tersebut karena jasanya menemukan femtokimia, studi mengenai reaksi kimia melintasi femtoseconds.
Dua tokoh tersebut berasal dari Pakistan dan bukan berasal dari Indonesia. Bukan maksud mengkerdilkan Indonesia di mata dunia, akan tetapi harus diakui bahwa pendidikan Islam di Indonesia belum memberikan pondasi kuat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam di Indonesia cenderung seperti dakwah, yang terkesan hanya menularkan taqlid. Ini karena logika sudah tak lagi digunakan, dan filsafat—sebagai produk dari akal—sudah lama ditinggalkan. Bahkan jika pun ada sarjana-sarjana Muslim Indonesia yang berusaha merkonstruksi filsafat dan juga menuangkan pemikirannya berlandaskan filsafat, maka seketika akan ada hadangan dan tuduhan liberal, sekuler, hingga kafir kepada mereka.
Bahkan baru-baru ini, publik Indonesia dikejutkan dengan tulisan “Agama Warisan” karya Afi Nihaya Faradisa yang dengan usianya baru berumur 18 tahun, namun telah memiliki pemikiran yang melampaui usianya. Terlepas dari pro-kontra seputar tulisannya di lini masa facebook, saya melihat ia sudah berani menunjukkan eksistensinya. Logikanya terbilang pesat di usianya yang masih muda, di saat remaja-remaja seusianya masih asyik pacaran dan main game di gadgetnya. Hanya saja perlu bimbingan yang komperhensif kepadanya agar dapat menggunakan logika sebagai alat pencapai kebenaran. Karena memang usia muda seperti dirinya masih sangat rentan ‘kebablasan’.
Berbeda dengan seorang bocah di ujung utara Sumatera, Aceh, yang berhasil menemukan aliran listrik pada pohon kedondong. Naufal Raziq namanya, usianya baru berumur 14 tahun. Namun potensinya sudah melampaui usianya. Berawal dari pelajaran di sekolah, Naufal akhirnya berhasil menciptakan tenaga listrik dari batang pohon. Pertama kali eksperimen itu dilakukan pada pohon mangga dan ternyata tidak layak. Akhirnya ia menemukan kedondong pagar yang kadar asam atau getahnya mampu menghantarkan listrik. Penemuan ini sangat mengagumkan, ditengah kegersangan karya ilmu pengetahuan generasi muda Indonesia.
Kedua contoh di atas setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa sesungguhnya potensi anak Indonesia itu sungguh mengagumkan. Yang justru menjadi tugas selanjutnya adalah peran orang tua, sekolah/madrasah, serta lingkungan masyarakat yang mendukung potensi mereka. Logika mereka harusnya diarahkan bukan malah ditumpas—seperti kasus Afi. Justru mereka adalah tunas-tunas bangsa yang harus disiram dengan spiritual, dipupuk dengan moralitas, disinari dengan intelektualitas. Guru-guru pendidikan Islam sudah saatnya melek ilmu pengetahuan dan mengajarkan anak didiknya akan luasnya ilmu pengetahuan serta mendorongnya untuk mengembangkan minatnya. Orang tua harus mengambil peran sebagai fasilitator sekaligus motivator, seperti halnya Naufal, ia mengaku bahwa bekal yang dimiliki tidak hanya dari sekolah. Namun juga adanya dukungan sang Ayah yang sangat membantu dalam percobaannya tersebut. Dan yang paling sulit adalah usaha memahamkan masyarakat bahwa logika yang bebas tidak selamanya identik dengan liberal dan kekafiran. Bahkan melabeli seseorang dengan sebutan ‘orang liberal’ pun sejatinya tidak sesuai dengan definisinya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) liberal berarti berpandangan luas dan terbuka.
Yang dibutuhkan pendidikan Islam Indonesia saat ini adalah sifat keterbukaan dan usaha untuk memahami bahwa logika (akal budi; filsafat) bukanlah sesuatu yang tabu untuk dipelajari. Andai semua orang memahami bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Dan andai semua orang tahu bahwa kini pendidikan Islam seperti dalam tempurung.
Sumber bacaan:
http://www.bospedia.com/2015/04/tahukah-anda-siapa-sajakah-tokoh-muslim.html