Di tengah hingar-bingarnya berita receh (Inisialnya hoax), Breakpos malah loyo. Alasannya karena sistemnya sedang diperbaiki, kemudian data web-nya hilang, harus repost lagi, dan alasan-alasan lain yang membuat perempuan tidak percaya lagi, dan lagi. Lucunya, setelah Breakpos “terlahir kembali” dengan tampilan yang lebih segar, tulisannya malah makin jarang. Entah karena stok tulisan habis, penulisnya capek, atau mungkin pihak Breakpos-nya yang kebingungan. Entah apa, entah mengapa. Entahlah, karena kemungkinan selalu ada di tengah ketidakmungkinan yang lain. Oke. Kita berhenti dulu memaki Breakpos. Haha
Saya guru, katanya. Apakah saya layak digugu dan ditiru, itu persoalan lain. Yang penting orang-orang menganggap saya guru. Mungkin karena saya S.Pd? Atau karena saya mengajar? Saya juga tidak tahu. Karena yang saya pahami dalam aturan kekinian, hari ini guru adalah sebuah profesi. Untuk menjadi guru perlu ke-profesional-an, yang oleh sebagian banyak kita dianggap lulus PPG. Terserah dia menghayati ke-guru-annya atau tidak, yang penting lulus PPG, punya NUPTK, jadi PNS, dapat Sertifikasi, nyekolahin SK di Bank, beli mobil, dan seterusnya. Saya tidak akan terlalu banyak membahas guru, karena sebenar-benarnya profesi saya hanyalah seorang kuli sekolah. Beda, kan? Dan juga, InsyaAllah saya secepatnya pensiun. (Amiin).
Bagi anda yang seprofesi dengan saya, pasti tiga bulanan kemarin telah mengalami sibuk-sibuknya menyelenggarakan atau menyiapkan Ujian Tengah Semester. Capek? Jelas. Memang, kerja apa sih yang tidak capek? Namun disela-sela kesibukan itu, saya cukup terkejut dengan salah satu murid saya. Sebut saja dia Ibra Kadabra (bukan nama sebenarnya). Bukan, dia bukan Ibrahimovic yang lagi subur di MU (baca Manchester United, bukan Madura United) menginjak usia 35-nya. Tenang saja, anda fans MU tidak perlu panik.
Setelah sembilan bulan melakukan pengamatan (bukan terhadap ibu hamil), saya melihat bahwa Ibra adalah anak yang wajar. Ceria, cerdas, baik hati, suka menolong, dan rajin menabung. Secara kasat mata, tidak ada keistimewaan darinya. Namun ketika mengerjakan soal-soal, seperti pada UTS semester ini, saya semakin curiga bahwa dia adalah sosok yang akan menjadi tonggak harapan perpolitikan bangsa di masa depan.
Begini cerita awalnya. Sekitar tiga bulan lalu, saya memeriksa jawaban ulangan hariannya, tepatnya pelajaran PKn mengenai Lingkungan Hidup. Salah satu pertanyaan dalam soal berbunyi “Siapakah yang membuat lingkungan buatan?” Anda tahu jawabannya apa?
Maaf, jawaban Anda keliru. Saya sepakat dengan jawaban Ibra. Dia menjawab “Penguasa”. Bayangkan, seorang anak kelas 2 Sekolah Dasar menjawab seperti itu. Apakah jawaban itu salah? Tidak. Justru itulah sebenar-benarnya jawaban.
Ketika anak lain dan kebanyakan kita menjawab “manusia”, Ibra berani membuka topeng dan berkata dengan lantang. Jawaban “manusia” itu terlalu ambigu. Ibarat ungkapan demonstran “Hidup rakyat Indonesia!” Rakyat yang mana? Bukankah koruptor juga rakyat Indonesia?
Saya membayangkan, berapa jilid buku-buku filsafat yang telah dikonsumsi oleh Ibra hingga dia berani mengungkapkannya dalam jawaban Ujian. Saya malu, karena saya sendiri lebih senang dengan jawaban-jawaban aman. Jawaban yang sekiranya tidak akan membuat saya berada dalam posisi yang tidak nyaman. Anda sama, kan?
Tiga bulan berikutnya, di Ujian Tengah Smester pun Ibra tetap konsisten dengan sikapnya. Masih dalam soal PKn, sebuah pertanyaan berbunyi “Ketika musyawarah, setiap anggota musyawarah berhak mengeluarkan ……….” Anda ingin mencoba menjawab lagi?
Ya, jawaban Anda masih keliru. Bukan karena salah, tapi karena penuh dengan kepura-puraan. Saya kira Anda dan kebanyakan kita menjawab “pendapat”. Namun berbeda dengan Ibra. Dalam jawabannya kali ini pun, saya merasa ditampar habis-habisan. Dengan keyakinan yang mantap dan tanpa mencontek siapa pun, Ibra menjawab “Uang”.
Anda jangan tertawa! Lebih baik Anda berkaca! Saya membayangkan lagi, betapa murid saya itu senantiasa resah dengan perpolitikan negeri ini yang katanya menjunjung tinggi musyawarah mufakat. Nyatanya, uang yang selalu bisa menyelesaikan berbagai macam permusyawaratan. Dan lagi-lagi, Ibra berani berteriak jujur atas keresahannya.
Dari dua jawaban inilah, saya menyimpulkan bahwa Ibra Kadabra memiliki bakat politik yang cemerlang. Ia cerdas, berani, dan jujur. Bukankah seluruh anak itu unik? Di usianya yang baru menginjak delapan tahun, ia sudah menunjukkan potensi besarnya itu. Tugas saya sebagai guru dan orang tuanya lah yang harus mengarahkan agar ia tetap komitmen untuk menggapai cita-citanya, demi Indonesia yang jaya.
Pada akhirnya, saya memaklumi mengapa di DPR tidak ada manusia yang seberani dan sejujur murid saya itu. Karena seperti ucapan mendiang Gus Dur, “DPR kayak Taman Kanak-kanak”, maka Ibra telah melalui fase itu. Ia sudah lelah dengan permainan-permainan, perkelahian-perkelahian, rebut-rebutan, nangis-nangisan, dan nyanyian-nyanyian busuk.
Tetaplah membuat kejaiban dengan mantramu, Ibra Kadabra!