Pelangi Kelabu

45

Merah kuning hijau, di langit yang biru” Teriak siswa-siswi kelas tiga Sekolah Dasar Gemah Rahayu. Mereka bernyanyi dengan riang. Di depan kelas, terpampang poster gambar pelangi berbahan kertas. Begitulah kiranya hal yang terlukis dalam pikiran seorang anak yang sedang duduk di teras rumah, menanti redanya hujan yang sejak tadi membuat langit kelabu.

Andi. Dialah anak pendiam yang selalu terpaku dengan hujan. Ketika terdengar tetesan air menerpa genteng rumah, Andi selalu berlari keluar untuk menyimaknya. Ia menunggu penampakkan langit warna-warni yang sejak dulu belum juga ia nikmati. Entah mengapa, ia tidak dapat melihat pelangi yang sudah puluhan kali menampilkan diri.

Bu, Hujannya sudah reda …

Sejak kecil Andi dibesarkan dengan layak oleh ayahnya. Bukan kasih sayang yang tercurah, namun keuangan yang melimpah,. Hanya Ibunya yang selalu di sampingnya, merawat dan mendidiknya. Ayahnya sangat sibuk dengan profesinya sebagai pejabat. Dari ibunya pula Andi mengetahui bahwa hujanlah yang membawa kedatangan pelangi.

Bu, hujan! hujan!” teriak Andi ketika mendengar ribuan tetesan air yang jatuh dari langit.

Dalam sekejap, Andi dan ibunya telah duduk di teras rumah, menanti hujan reda. Mereka berbincang ria, saling bertukar cerita. Ibunya mendongengkan kisah-kisah yang penuh nilai hikmah. Suasana yang indah. Titik-titik air seperti melodi simponi yang mengiringi kehangatan canda ibu dan anak. Hingga tidak terasa, langit kembali cerah.

Lihat Di! Itu pelangi” ucap Ibunya seraya menunujuk kea rah langit.

Yang mana Bu?” tanya Andi dengan heran.

Itu tuh! Warna merah, kuning, hijau, yang membentang itu” tegas ibunya disertai senyum.

“Andi tidak lihat Bu” ucapnya lagi.

Ibu merasa aneh. Dengan jelas pelangi itu menampilkan wujudnya di langit. Warna-warnanya terbentang menghiasi awan-awan di sekitarnya.

Oh, Pelanginya tidak begitu jelas. Sepertinya hujannya kurang deras” ungkap Ibu menenangkan anaknya, meskipun sebenarnya gelisah. “Nanti kalau hujan lagi, mungkin pelanginya lebih jelas.

Semenjak itu, Andi dan Ibunya selalu menikmati hujan. Andi selalu semangat, meskipun pelangi yang ditunggunya tak kunjung ia lihat. Sebaliknya, ibunya semakin khawatir. Keanehan pada mata anaknya ini semakin tidak bisa dipungkiri. Awalnya, Ibunya meyakini bahwa mata anaknya terkena debu atau infeksi mata biasa, sehingga pandangannya sedikit kabur. Namun fakta yang terjadi semakin memperkuat dugaan yang tidak diinginkan.

Beribu tanda tanya menyeruak dalam pikiran Ibu. Dia membawa anaknya, Andi ke rumah sakit untuk diperiksa. Bukan kabar gembira, dokter malah membawa berita duka. Andi difonis memiliki mata yang tidak normal.

Anak Ibu menderita kelainan mata. Ia buta warna, dan dalam waktu dekat bisa mengalami kebutaan” ungkap Dokter.

Kaget, ngeri, mengiringi kesedihan. Mata Ibu berkaca-kaca ketika keluar dari ruang dokter. Dipeluknya anaknya yang duduk di depan pintu ruangan tersebut. Hatinya bersedih. “Tuhan, Mengapa tidak aku saja yang mengalami hal ini? Mengapa harus anakku?” gumamnya dalam hati.

Dia membawa anak satu-satunya itu ke berbagai tempat untuk diobati. Spesialis mata menyatakan tidak sanggup. Pun pengobatan alternatif mengungkapkan tidak mampu. Hingga satu waktu, Ibu bertemu dengan seorang dokter yang sudah tua, dan sudah pensiun dari profesinya.

Hanya ada satu cara untuk mengobati mata anak Ibu. Cangkok mata” ucap dokter tua itu dengan nada pelan.

Dikelilinginya Ibu Kota untuk mencari sepasang bola mata di seluruh Rumah Sakit yang tersebar. Dari A ke B, sampai C, D. Tidak juga Ibu menemukan hal yang dia cari. Hari demi hari pun Sang Ibu lewati dengan pencarian. Teritorial Kota sudah dilewatinya, untuk mengunjungi tempat-tempat besar yang berhubungan dengan dunia medis. Hingga seorang dokter mengungkapkan bahwa usahanya sia-sia.

Seluruh Rumah sakit di Negara ini tidak memilikinya. Kalian harus mencari orang yang bersedia mendonorkan matanya.

Ibu tidak putus asa. Ia memberitahukan kejadian itu kepada suaminya. Meski tidak seperti istrinya, Ayah Andi juga merasakan kesedihan. Pasangan suami-istri itu pun melanjutkan pencarian sepasang bola mata sehat. Mereka singgahi berbagai tempat di bebagai daerah. Mereka kunjungi keluarga-keluarga miskin di kampung, berharap ada yang bersedia menjual mata karena desakan ekonomi.

Pak, Bu! Jangan mentang-mentang kalian kaya, mau membeli mata kami!” ucap warga yang dikunjungi oleh orang tua Andi.

Jika anak kalian buta, itu karena dosa kalian yang pura-pura tidak melihat penderitaan rakyat kecil seperti kami!” warga lain menimpal, seperti mengusir Ayah dan Ibu Andi. Ya, Ayah Andi memang termasuk salah seorang yang sering keluar masuk gedung pemerintah. Profesinya sebagai anggota DPRD Kabupaten membuat rakyat di kampung sangat familiar dengan wajahnya.

Terlebih, Ayah Andi datang ke kampung untuk sebuah hal yang ‘aneh’. Jual-beli organ tubuh, sebuah transaksi yang masih tabu bagi masyarakat, apalagi di desa. Tidak seperti beras, gula, atau sembako lainnya, sangat sulit menemukan orang yang menjual matanya, atau pun menjual mata orang lain. Sesulit orang yang mau membelinya.

Sang Ibu menangis. Ayah memeluk istrinya itu, seraya menenangkan kesedihan  yang meluap berbentuk tetesan air. Semangat mereka belum terhenti, meski anaknya semakin terkurung dalam pemandangan yang ironi. Andi terkucilkan dari lingkungannya.

Andi mulai merasakan keanehan-keanehan pada matanya. Ia sudah tak bisa menangkap objek dengan jelas, apalagi jika sedang berada di ruang yang agak gelap. Harapannya untuk menatap keindahan pelangi pun sirna. Akibatnya, ia menjadi penyendiri. Tidak banyak hal yang terucap dari mulutnya. Dan teman-temannya merespon sikap Andi dengan pengucilan.

Keadaan memaksa Ibu menghubungi seseorang di pasar gelap. Dia berharap menemukan sepasang organ yang cocok untuk anaknya di tempat ilegal itu.

Sepasang bola mata? Ya, Ada. Tapi harganya lumayan …” ucap seseorang di telpon.

Berapa pun akan saya beli” kata Ibu.

500 juta perbutir. Anda bersedia?

Tanpa sepengetahuan suaminya, Ibu mengumpulkan uang agar mencapai nominal yang dibutuhkan. Mobil dan beberapa perhiasannya dijual. Tabungan pun terkuras. Lebih dari dua pertiga kekayaan keluarga habis.

Ibu bertemu dengan penjual gelap itu di suatu tempat. Dia membawa koper yang di dalamnya berisi lembaran tunai. Layaknya transaksi haram, mereka melaksanakannya secara sembunyi-sembunyi. Pertukaran pun terjadi. Sang penjual memberikan sebuah balok persegi panjang berukuran 25 x 15 cm yang ditutupi oleh kain hitam, sementara Ibu Andi merelakan uangnya direnggut. Tergesa-gesa, mereka pergi ke arah yang berbeda.

Sambil bermain petak umpet dengan suaminya, Ibu membawa sepasang bola mata itu kepada dokter tua. Dia mempercayakannya, selagi menyiapkan anaknya untuk proses operasi.

Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, akhirnya tercium juga. Ayah mencium bau mencurigakan isterinya.

Kemana mobil dan uang yang aku simpan?” tanya Ayah.

Aku menyimpannya di Bank. Agar lebih aman”.

Jangan berbohong padaku. Aku bukan orang bodoh. Kemanakan harta itu?” Ayah berteriak keras.

Ibu terdiam. Tidak bicara. Dia tertunduk dengan mata sayu. Suasana hening sejenak. Sampai terdengar isak tangis kecil keluar dari mulutnya. “Maafkan aku Pak …

Ayah Andi luluh. Kemarahan yang sempat memuncak pun ditahannya. Dia duduk di sofa tepat di depan isterinya.

Aku membeli sepasang bola mata dari pasar gelap …” Lirih istrinya pelan.

Ayah tidak berkomentar. Dia kaget, namun berupaya tetap diam. Antara marah dan kasihan. Hingga akhirnya dia berdiri, dan meninggalkan isterinya yang menderu dengan kesunyian suhu dan hati.

Dalam atmosfer kesedihan dan beban yang menumpuk, Ibu tercengang. Keesokan harinya Sang Dokter tua memberikan informasi bahwa sepasang bola mata yang dia terima bukan bola mata manusia.

Itu bola mata dari hewan. Entah monyet atau kambing.” jelas dokter melalui pesawat telpon.

Bagai petir di siang bolong, perasaan Ibu Andi hancur. Harapan yang dengan susah paya muncul, seketika sirna. Dalam perang dingin yang masih berlangsung dengan suaminya, ia harus menerima lagi serangan mendadak yang telak. Pikirannya kacau, hatinya resah, batinnya berkecamuk. Ia kehabisan cara. Otaknya buntu.

Seperti orang stres, Ibu kacau. Raut muka dan fisik tidak bisa menyembunyikan kegelisahan dan kesedihannya yang teramat dalam. Dia sering melamun sendiri. Beruntung di rumahnya hadir seorang pembantu yang baru seminggu bekerja, untuk merawat anaknya yang harus mendapatkan perhatian lebih banyak.

Dan untuk kedua kalinya, Ayah mampu mencium sesuatu hal yang tidak beres.

Bukankah kau sudah membeli sepasang bola mata untuk anak kita? Kapan operasinya?” tanya Ayah kepada Ibu.

Bagi Ibu, pertanyaan itu seperti tombak yang ditusukkan ke dalam jantungnya. Ia merasa terkoyak-koyak. Tidak ada jawaban yang tepat, karena faktanya memang tidak benar. Ibu hanya menangis.

Kenapa menangis Bu? Bukankah Kau hilangkan lebih dari setengah hartaku untuk membelinya?” tanya Ayah lagi dengan nada lebih tinggi.

Dengan kepala tertunduk  Ibu berkata, “Aku ditipu …

Darah Ayah memuncak. Dia berdiri dan membentak istrinya. “Apa! Bodoh sekali! Bagaimana Kau bisa tertipu?

Iya, Aku memang bodoh! Tapi aku tidak membodohi orang lain! Bukankah hartamu berasal dari tipuan busukmu! Aku tahu bahwa uangmu berasal dari penggelapan dana proyek! Dan, dimana Kau saat anakmu membutukan sosok Ayah?

Plak! Ayah menampar istrinya. Wajahnya benar-benar marah. Dia berbalik, meninggalkan sosok perempuan yang mulai meneteskan air mata kesedihan.

Dalam keputusasaan, segera Ibu berlari membawa anak tercintanya, kemudian pergi menuju kediaman dokter tua. Tanpa berpikir panjang, dia tandatangani dokumen-dokumen yang dibutuhkan oleh Sang Dokter untuk melepaskan tanggungjawab jeratan hukum dan kemungkinan-kemungkinan kecelakaan praktik operasi.

Anda yakin dengan keputusan Anda ini?” tanya Dokter tua.

Iya Dok, saya siap dengan segala konsekuensinya.

Beberapa jam saja, segala persiapan telah selesai. Dan semua berjalan tanpa sebuah desain besar yang selama ini diupayakan. Ibu terbaring, Andi terbaring, Dokter melakukan tugasnya yang telah lama tidak ia geluti. Beberapa asisten muda membantu Sang Dokter.

Sementara pertaruhan berlangsung, Ayah Andi tidak mengetahui apa yang terjadi. Ia pergi ke luar pulau untuk menghadiri peresmian proyek pembangunan jalan tol. Naas baginya, pesawat yang ia tumpangi mengalami gangguan dan jatuh ke tengah laut. Segenap masyarakat pun geger dengan kejadian itu. Upaya berbagai pihak untuk mencari lokasi jatuhnya pesawat tak berbuah hasil. Sang Ayah pun tiada, kembali ke rumah dengan sebuah nama.

Sebulan telah berlalu. Andi dan Ibunya tengah duduk di teras rumah yang kini tanpa perabotan mewah. Beruntung Ayahnya masih mewariskan harta yang cukup untuk kebutuhan keluarga selama beberapa tahun ke depan. Mereka menikmati guyuran hujan dari langit yang merekah. Menanti sebuah cahaya warna-warni yang indah.

Bu, Hujannya sudah reda …” kata Andi beberapa saat kemudian.

Bagaimana, kau bisa melihat pelangi?” ungkap Ibu.

Iya Bu, warna-warni membentang, menghiasi langit.”

Apakah pelanginya indah?

Sangat indah.

Syukurlah, Ibu juga bisa merasaknnya. Mari kita berdoa, agar Ayahmu juga dapat melihat pelangi yang indah di alam sana.

Nilai kualitas konten