Pesantren Nurul Qalbi ramai. Para santri memperbincangkan dua orang santri yang sangat fenomenal di lingkungan itu.
“Aku menjagokan Umar. Dia santri paling cerdas yang pernah kutemui”, ungkap Qasim kepada teman-temannya dalam sebuah forum ngopi sore, menunggu dekatnya waktu Magrib.
“Iya, aku juga. Meskipun santri baru, kepintarannya tidak bisa kupercaya. Dia bisa hafal kitab ‘Imrithi dalam waktu seminggu”, tambah Unang setelah menyeruput kopi hitam.
“Beberapa santri senior tidak berkutik menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya”, seru Nandang. “Namun dia agak sombong sih. Pilih-pilih pelajaran. Dia kerap bolos pada saat jadwal pengajian Akhlaqu lilbanin atau Ta’limul Muta’allim”.
“Mungkinkah Gusti membekalinya dengan kecerdasan di atas rata-rata?” Celetuk Qasim seraya menatap ke atas sambil menghembuskan asap dari mulut dan hidungnya.
“Meskipun gayanya terlalu arogan, tapi jujur saja, dia memang pintar”, kata Anom. “Namun aku justru penasaran dengan Kang Bakar. Kok dia mau saja ditantang untuk debat dengan si Umar itu”, tambahnya.
“Eh iya ya. Kang Bakar kan santri paling senior. Kuncennya santri lah. Mau-maunya dia meladeni bocah cerdas itu. Kalo kalah kan malu” ucap Unang lagi, menanggapi Anom.
“Pokoknya kita lihat saja nanti lah. Siapa diantara mereka yang bisa membuat lawannya membisu!” Nandang mengobarkan semangat. “Apalagi nanti ditonton sama Neng Fatma, putri Kyai itu. Siapa tahu dia bisa kepincut sama kepintaran mereka.. hehe”.
“Hahaha..” semua tertawa mendengar ocehan Nandang.
Sebulan sekali Pesantren selalu mengadakan kegiatan untuk menunjang perkembangan keilmuan dan bakat para santri. Biasanya diisi dengan Tablighan (ceramah dan dakwah), Musabaqoh, Bahtsul Masail, dan lainnya. Bulan ini dilakukan debat keilmuan untuk mengisi kegiatan itu. Di antara berbagai pasangan debat, yang paling menyita perhatian adalah duel antara Umar yang notabene santri baru yang sangat cerdas dan Kang Bakar yang tidak lain adalah santri paling senior.
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Agenda-agenda pesantren berjalan secara tertib, meski terkadang dihiasi dengan kenakalan-kenakalan ala santri. Pengajian, shalat berjama’ah, wirid, hafalan, dan lainnya. Sampai tibalah hari yang sangat dinantikan.
Seluruh santri berkumpul di Aula Utama. Di depan telah disediakan panggung kecil, di atasnya terdapat dua sajadah yang saling berhadapan untuk peserta debat, dan satu sajadah di tengah-tengah untuk moderator, masing-masing dilengkapi microphone. Bulan ini ada lima pasang peserta debat. Sebagai partai paling seru, tentu saja pertemuan antara Umar dan Kang Bakar disimpan di akhir.
“Sekarang saatnya kita panggil peserta debat yang terakhir, Umar dan Kang Bakar. Silahkan maju ke depan” kata Kang Miftah selaku moderator.
“Huuuu..” gemuruh para santri yang menonton debat begitu meriah. “Umar.. Umar.. Kang Bakar. Kang Bakar” ucap para pendukung.
Umar melangkah dengan penuh keyakinan menuju panggung. Dengan berpakaian rapi, sarung, plus peci hitam di kepala, menyiratkan bahwa ia telah siap menguji dan menunjukkan keilmuan yang dia miliki. Ia duduk sila dengan badan tegak, wajahnya memandang ke bawah, sesekali ke atas memperhatikan para penonton dengan penuh rasa percaya diri. Setelah beberapa saat, ia mulai heran karena peserta yang menjadi lawan debatnya, Kang Bakar, belum juga naik panggung.
Para penonton mulai kebingungan. Sebagian merasa kesal, sementara bagian yang lain mulai panik. “Kayaknya Kang Bakar takut kalah. Ia gak mau kena malu” celetuk salah satu penonton kepada orang yang ada di sekitarnya. “Gak mungkin. Paling ia sedang di jamban. Kita tunggu beberapa saat lagi”, bela yang lain.
Waktu telah berlalu sekitar sepuluh menit. Belum juga tanda-tanda bahwa Kang Bakar akan datang. Para penonton mulai berasumsi macam-macam. Suasana pun menjadi hening. Hingga tiba-tiba pintu terbuka, memberikan harapan bagi hadirin yang telah menunggu di sana.
“Iiiihh.. kirain Kang Bakar. Yang nongol malah si Tara Mandi” ungkap seorang penonton, meluapkan emosinya karena yang dilihatnya bukan Kang Bakar, melainkan Zaid yang dilandih dengan sebutan Tara Mandi (malas mandi).
“Mau ngapain kamu ke sini. Gak bakal ngerti kamu mah nonton juga” kata yang lain.
“Iya. Kamu mah mending tidur aja di kobong (asrama) sana!”
Zaid hanya cengengesan. Ia melihat mata para hadirin yang tajam kepadanya, seakan-akan menelanjangi. Kemudian ia melangkah ke depan, duduk di tempat yang seharusnya diisi oleh Kang Bakar.
Sontak saja hal itu membuat para hadirin kaget. Mereka berteriak agar Zaid turun dari tempat itu, “Ngapain kamu duduk di sana?”.
Zaid hanya tertawa melihat tindakan para penonton. Ia kemudian berbisik ke telinga moderator sambil memberikan selembar kertas yang telah dilipat.
“Para hadirin, Santriyin dan Santriyah yang dimuliakan Allah, pada kesempatan ini Kang Bakar tidak bisa datang ke forum karena dipanggil oleh Pak Kyai. Beliau disuruh menemani Pak Kyai untuk menghadiri rapat dengan Kepala Desa dan Ketua RW” Kang Miftah mengumumkan informasi yang dia terima dari Zaid. “Sebagai gantinya, Kang Bakar mendelegasikan Zaid untuk menjadi lawan debat dari Umar.
Seluruh hadirin tertawa, antara kelucuan dan ketidakpercayaan. “Haha.. Jangan bercanda! Zaid mah ngajinya juga tidur mulu. Masa mau lawan Umar!” Kata seorang penonton.
Ya, Zaid memang terkenal dengan tingkahnya yang aneh. Pakaiannya sering kucel, jarang ngaji, sekalinya ikut pengajian pun malah tidur. Banyak berbicara aneh, kadang melamun lalu menangis. Sewaktu-waktu ia sering menghilang tanpa ada yang tahu. Tapi meski begitu, ia sangat ta’dzim kepada Pak Kyai. Apa pun yang Kyai suruh, dikerjakannya dengan baik.
Ketika para hadirin sibuk menanggapi kejadian tidak terduga ini, Zaid berbicara melalui microphone yang ada di hadapannya, “Jika yang ingin kalian dapatkan adalah tontonan dari kehebatan Kang Bakar, maka ia tidak disini. Namun jika yang kalian harapkan adalah ilmu dan pelajaran, bukankah dari seekor semut pun kita bisa mengambil pelajaran?”.
Ucapan Zaid cukup menghentakkan hati para hadirin. Meski masih ada yang tidak setuju dengan terpilihnya Zaid yang menjadi lawan debat Umar, mayoritas hadirin diam. Mereka merasa tersindir dengan ucapan Zaid.
“Tidak apa-apa, saya lawan Kang Zaid dulu saja. Nanti kedepannya kan bisa berhadapan debat dengan Kang Bakar”, kata Umar, membakar lagi suasana yang mulai sedikit mati.
Penonton mulai memberikan lagi semangat kepada kedua peserta debat, meski tidak semeriah sebelumnya. Moderator sedikit berdiskusi dengan Umar dan Zaid untuk menentukan format debat.
“Karena Zaid merupakan peserta dadakan, maka telah disepakati bahwa format debat dirubah. Umar bertindak sebagai penanya, dan Zaid yang akan menjawab” kata Kang Miftah melalui microphone.
Para penonton kembali bersorak memberikan semangat, kemudian terdiam untuk menyimak perkataan dari kedua peserta debat.
“Mangga kepada Umar..” Kang Miftah mempersilahkan.
Meski sedikit tegang, Umar mulai memegang dan mendekatkan mic ke mulutnya. “Ehm.. Pertama, ilmu tauhid. Menurut Imam Abu Hasan Al-‘Asy’ari, Allah memiliki sifat. Sedangkan dalam paham Mu’tazilah, Allah tidak memiliki sifat. Bagaimana menurut Anda?”
Penonton cukup kaget. Pertanyaan pertama seperti serangan dadakan yang tajam. “Pasti si Zaid kebingungan” cetus salah satu penonton, berbisik kepada orang di sebelahnya.
Dengan santai dan masih cengengesan, Zaid mulai berbicara. “Gusti Allah adalah Tuhan yang haq disembah di antara berbagai hal yang sering kita pertuhankan. Dia bukan makhluk, tapi Khaliq. Tidak ada yang serupa dengan-Nya, termasuk persepsi kita tentang-Nya. Jika kau memandang sifat Allah seperti sifat manusia atau benda, maka kau keliru. Mu’tazilah berpandangan bahwa sifat itu melekat pada benda. Gusti Allah kan bukan benda. Maka wajarlah ketika mereka berpandangan Allah tak bersifat” terangnya.
Para hadirin sangat kaget dan terpana dengan penjelasan Zaid. Mereka tidak menyangka bahwa santri yang kesehariannya nyeleneh, kucel, dan terkesan bodoh itu bisa menjawab pertanyaan Umar dengan lancar.
“Paham ‘Asy’ariyah menjelaskan bahwa Gusti Allah harus kita kenali, meskipun sejatinya kita tidak akan pernah bisa mengenal-Nya. Agar kita mencintai-Nya. Agar kita bertuhan hanya kepada-Nya. Dan sarana untuk mengenal-Nya adalah dengan memahami keterangan-keterangan tentang-Nya dalam Wahyu-Nya. Setelah dikaji, Abu Hasan Al-‘Asy’ari memformulasikannya menjadi 20 sifat Wajib dan 20 sifat Mustahil, serta satu sifat Jaiz bagi Allah. Namun sifat itu bukan seperti sifat yang menempel pada benda. Sifat Allah tetap berbeda dengan mahluk, dan Allah tidak memiliki ketergantungan terhadap apa pun, termasuk terhadap sifat. Pengasihnya Allah berbeda dengan kasih manusia. Kekalnya Allah berbeda dengan kekalnya benda”, ungkap Zaid meneruskan.
Umar tidak panik, meski sedikit kaget. Ia masih percaya diri, karena pertanyaan ini bukanlah kartu As yang dia siapkan. “Jawaban Anda benar, Kang Zaid” ia memberikan penilaian atas jawaban Zaid. “Allah adalah Yang Awal, sejak kapan? Dan Allah adalah Al-Akhir, sampai kapan?” Umar melanjutkan pertanyaannya.
Zaid tetap tertawa kecil. “Kau tahu, bilangan berapa sebelum angka nol? Kau tahu, kapan ujungnya bilangan?.. hehe” Jawab Zaid masih santai.
Umar mendapat serangan balik, karena pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan lagi.
Penonton pun mulai bersorak. Bukan ditujukan kepada Umar, melainkan Zaid. Mereka mulai bersimpati terhadap Zaid, seorang santri yang sebelumnya mereka anggap bodoh. Sontak saja suasana itu membuat Umar kurang nyaman. Kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit mulai tergoyahkan, meski masih tetap kuat.
Pertanyaan demi pertanyaan Umar terus dijawab oleh Zaid dengan lantang dan jelas. Tidak ada sepatah kata pun yang tidak dimengerti oleh hadirin dari penjelasan Zaid. Tidak terasa, debat tersebut hampir menghabiskan waktu 120 menit. Sampai tiba pada pertanyaan terakhir.
“Ini pertanyaan pamungkas saya. Jika Anda bisa menjawab, maka saya mengakui kehebatan Anda” kata Umar penuh yakin bahwa Zaid tidak bisa menjawabnya, karena memang ia sendiri tak tahu jawaban dari pertanyaan yang akan dilontarkannya. “Masih tentang ilmu manthiq (logika). Mana yang lebih dulu, ayam atau telur?” Ungkapnya.
Para hadirin terdiam, menanti jawaban cerdas dari Zaid sebagaimana pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Di sisi lain mereka takjub dengan pertanyaan tidak terduga yang disampaikan Umar.
Zaid diam sambil cengengesan, matanya melirik ke atas seakan-akan memikirkan sesuatu. Sementara penonton masih tetap menunggu. Cukup lama Zaid terdiam, sekitar 5 menit. Suasana sangat hening namun menyiratkan aura panas. Perang dingin.
“Bagaimana, Anda bisa menjawabnya, Zaid?” Kang Miftah selaku moderator angkat bicara.
“Hemm..” Zaid hanya menggumam dengan mata masih melirik ke atas. “Aku gak tahu.. hehe”.
“Haaa…” Para penonton kecewa mendengar ucapan Zaid. Mereka berharap Zaid menjawab dengan lancar lagi.
“Ah.. Dasar si Tara Mandi!” Celetuk salah satu penonton.
“Kita terlalu berharap lebih sama dia! Huuh!” Ungkap yang lain.
Ditengah-tengah kekecewaan penonton, Kang Miftah menutup debat. “Dengan ini, debat malam ini berakhir. Pemenangnya adalah Umar” Ungkap moderator. “Terima kasih telah hadir pada debat keilmuan ini, semoga kita bisa mengambil pelajaran. Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh”.
“Ye.. ” Para hadirin bertepuk tangan atas kemenangan Umar. Para peserta di depan bersalaman, juga dengan moderator.
Zaid langsung ke luar, meninggalkan Aula Utama dengan tertawa-tawa kecil. Sementara Umar menghampiri para penonton dan teman-temannya yang memberikan ucapan selamat sambil bersalaman.
Cukup lama Umar bercakap-cakap dengan santri-santri yang belum meninggalkan Aula Utama. Hanya tinggal beberapa orang saja yang ada di sana.
“Eh Mar, ini ada titipan dari Zaid untuk kamu. Tadi sebelum debat dimulai, dia menitipkan ini kepadaku. Katanya suruh dikasihkan sama kamu kalau debatnya uda beres” Kang Miftah menghampiri Umar yang sedang ngobrol-ngobrol dengan teman-temannya. “Aku duluan.. Assalamu’alaikum” kata Kang Miftah seraya pergi.
“Wa’alaikum Salam” Umar dan yang lainnya serentak menjawab.
Umar tidak langsung membuka kertas itu, karena tidak enak dengan teman-temannya. Hingga satu persatu teman-temannya pergi, menyisakan dia seorang diri di Aula Utama. Karena merasa sudah aman, Umar membuka kertas dari Zaid yang di titipkan ke Kang Miftah tadi.
“Astagfirullah” Umar kaget sekali. Jantungnya berdetak kencang. Sekujur tubuhnya berkeringat. Tangan yang memegang kertas pun gemetar, hingga akhirnya kertas itu terjatuh. Ia sangat tersentak setelah membaca tulisan yang ada di kertas itu. Tulisan yang ditulis oleh Zaid sebelum debat dimulai.
Seketika itu juga Umar berlari ke luar Aula Utama. Ia menuju asrama, mencari Zaid. Dikelilinginya asrama yang mempunyai 30 kamar itu, dilihatnya tiap kamar satu persatu. Ia tidak juga menemukan Zaid. Kemudian ia berlari menuju Masjid, barangkali dapat melihat sosok yang kucel itu. Nihil.
Umar menyusur setiap tempat yang biasanya Zaid berada, setelah sebelumnya bertanya kepada santri yang lain tentang keberadaan Zaid. Saung di sawah, bawah pohon beringin di kebun Kyai, atas batu besar di pinggir sungai, semua tidak ada. Ia sangat ingin bertemu dengan Zaid saat itu juga. Namun pencariannya gagal.
Umar masih termenung di atas batu pinggi sungai. Matanya mulai meneteskan air. Ia menatap ke langit.
“Ampuni saya Ya Allah..”
“Allah tidak akan terlihat hanya dengan memandang ke langit” tiba-tiba suara menjawab.
Umar kaget, karena di sampingnya telah ada seseorang. “Kang Zaid!” umar segera bersalaman dan mencium tangan Zaid, layaknya seorang junior kepada seniornya.
“Ada apa Mar? Tadi aku habis beli kopi dari koperasi pesantren. Ada santri yang bilang kalau kamu nyari aku” kata Zaid dengan cengengesan khasnya.
“Maafkan saya Kang” ucap Umar dengan wajah masih menempel di tangan kanan Zaid.
“Kau tidak salah padaku. Mengapa harus meminta maaf? Sudahlah.. Angkat wajahmu.. Kita nikmati kopi dan kretek ini.. hehe” ungkap Zaid.
Sedikit demi sedikit Umar mengangkat wajahnya. Tentu saja Zaid memaksa agar Umar berhenti menangis dan meminta maaf.
Sambil menghisap kretek, Zaid membuka pembicaraan. “Kamu tahu, Allah sangat menghargai orang berilmu. Banyak keterangan yang menunjukkan keutamaan orang berilmu. Namun, tahukah Kamu, apa itu ilmu?”.
Umar hanya menunduk dan menggelengkan kepala.
“Ilmu adalah cahaya akal yang menerangi hatimu. Dengan cahaya, hatimu bisa melihat segala sesuatu, baik atau buruk. Bukankah hati tidak bisa dibohongi? Namun kau harus ingat, bahwa hati itu mudah sekali bolak-balik” Zaid meneruskan ucapannya, seakan-akan guru yang sedang menasehati muridnya.
“Kecerdasanmu adalah anugerah Allah. Banyak sekali manusia yang diberikan kelebihan oleh Allah, namun justru bertindak semena-mena. Dia dibekali kecerdasan, kekuasaan, harta, atau kelebihan apa pun, namun kemudian merasa sombong dan bersikap layaknya Gusti Allah. Bukankah kelebihan itu dari Allah, milik Allah, bahkan kita sendiri adalah milik Allah?”. Zaid berhenti sebentar untuk meneguk kopi panas.
Umar masih tertunduk dan menghayati setiap ucapan yang keluar dari mulut Zaid.
“Ilmu adalah sarana untuk mendekatkan diri pada kebenaran sejati, yaitu Gusti Allah. Ilmu bukan untuk dijadikan pembenaran atas nafsu kita”. Zaid menepuk pundak Umar. “Pahamilah Akhlaq. Pelajari Adab. Makanya di pesantren kita para santri diwajibkan ngaji Ta’limul Muta’allim, Akhalaqu Lilbanin, bahkan Ihya Ulumuddin” kata Zaid, memberikan semangat kepada Umar.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar..” Suara Muadzin dari Masjid pondok membuat Zaid segera mematikan kreteknya.
“Yuk kita ke Masjid.. Sudah subuh”, ajak Zaid sambil berdiri.
Meski masih ingin mendengarkan lebih banyak nasihat Zaid, Umar dengan berat hati mengikuti langkah kaki seniornya itu menuju pondok.
Sementara itu, Qasim, santri yang kebagian tugas mengecek santri lain yang belum bangun, sedang memasuki Aula Utama. Ia menemukan secarik kertas tergeletak. Dengan sangat cermat, ia baca kertas itu yang bertuliskan “Telur dulu, karena telur tidak bisa mengetahui kehadiran ayam. Sebaliknya, ayam bisa mengetahui kehadiran telur. Bukankah hidup itu berawal dari tidak tahu, mencari tahu, menjadi tahu? Tapi percayalah, semakin banyak yang Kamu ketahui, Kamu akan semakin sadar bahwa lebih banyak hal yang tidak Kamu ketahui”.
Terinspirasi dari Cerpen Gus Mus, “Gus Ja’far”.