Manic Street Preachers :  Pamflet Radikal di antara Belukar Rimba Budaya Arus Utama

Sekira tahun 2007-2008, Padarincang yang merupakan sebuah Kecamatan di Serang, Banten, menjadi target eksploitasi sebuah Perusahaan air minum dalam kemasan ternama, Pt. Aqua-Danone,  dengan restu dan legalitas berupa Surat Keputusan yang ditanda-tangani langsung oleh Bupati Serang, H. Ahmad Taufik.

Sontak warga menolak Pembangunan pabrik tersebut. Bersenjatakan analisis dan beberapa referensi empirik yang meyakinkan mereka, bahwa keberadaan korporasi, apapun bentuk dan namanya, ekses negatif dan bencana alam akan menjadi kemungkinan paling besar yang akhirnya harus diterima masyarakat. Dengan berdirinya pabrik air minum, kemungkinan paling dekat adalah, kekurangan air bagi pemenuhan kebutuhan harian masyarakat. Rasanya tidak butuh kajian akademisi untuk memahami itu.

Selang 2 tahun, pabrik berhenti karena derasnya penolakan dari masyarakat, namun dipenghujung tahun 2010 pabrik kembali beroperasi. Audiensi yang diinisiasi warga beberapa waktu sebelumnya kepada pihak pemerintah terkait, maupun pihak pabrik acap kali membentur dinding buntu. Hingga akhirnya ratusan warga memilih menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri.

Gerakan masif dan spontan warga yang terdiri dari ibu-ibu, pemuda, LSM, jawara bahkan Ulama, berkerumun di sekitar pabrik dengan membawa perkakas apapun yang mereka miliki, menggasak dan merangsek Pos Pabrik yang dijaga aparat, untuk selanjutnya membakar gudang logistik milik PT. Aqua-Danone, dikhatamkan dengan membakar kendaraan milik aparatur polisi.

Sebuah laku arsonis yang sangat artistik!. Pemerintah setempat dan pihak manajerial pabrik tidak cukup berani untuk mengambil resiko dengan melanjutkan proyek tersebut. Mereka memilih mundur teratur, setelah peristiwa pembakaran tersebut. 

Kamu tentu bisa membayangkan, apa yang terjadi jika masyarakat banten marah?

Tulisan diatas hanya sebagai pembuka dan kabar lampau terkait solidaritas dan perlawanan masyarakat terhadap maraknya modus kapitalisme ekstraktif disetiap penjuru nusantara yang hendak merampas ruang hidup mereka.

Manic Street Preachers, -saya akan singkat penulisannya menjadi Manic’s-merupakan band Alternative-Rock asal Wales yang digagas oleh James Dean Bradfield, Sean Moore, dan Nicky Wire pada tahun 1986 di Blackwood. Baru setelah perilisan single “Suicide Alley”, Richey Edward bergabung sebagai Gitaris tambahan dan salah satu pengurus divisi lirikal.

Kesan pertama mendengarkan Manic’s, kamu hanya akan disuguhkan musik Alternative-Rock seperti pada umumnya, gitar overdrive dengan layer-layer reverb, dan drum yang ketukannya lebih menghentak pada bagian bridge, menuju Reffrain. Tidak ada yang berbeda dalam tataran auditif. Tapi coba baca lirik dibaliknya. Kamu akan menemukan bentangan kutipan-kutipan dari tokoh dunia sekaliber Karl Marx, Sylvia Plath, Mao, Heidegger, Jackson Pollock, Andy Warhol, J.P. Sartre sampai Francis Bacon.

Simak salah satu nomor Manic’s bertajuk “The Masses Againts the Classes”, yang dibuka dengan Narasi Chomsky  “This country was founded on the principle that the primary role of government is to protect property from the majority,” dan diakhiri dengan Kutipan Albert Camus “The slave begins by demanding justice and ends by wanting to wear a crown.” Manic’s memilih jalan yang lebih terjal dan berliku dalam tataran lirikal, dibanding sejawatnya macam Suede, The Charlatans atau Blur.

Pengalaman mendengarkan Manic’s merupa ruang kelas Filsafat Seni atau Ilmu Politik yang menyenangkan, dengan James Dean sebagai Pengajar yang seolah meminjam Persona ke-Bapak-an Yasraf Amir Piliang. Tanpa harus dibuat bingung dengan mahalnya biaya SPP tahunan tentunya.

Hal yang harusnya menjadi mafhum kalau akhirnya oleh banyak pendengarnya, Manic’s didaku sebagai Band yang berada disamping kiri jalan yang menggeret Isu dan Wacana Politik Radikal ke tengah gemerlap sorot lampu dan layar flatron komersil. Di salah satu wawancaranya, Wire mengungkapkan bahwa “..musik sebagai marka bagaimana kita menghargai hidup, Manic’s sebagai medium perantara pengembaraan ide terkait Buku, Film, dan Politik”. tandas Wire.

Dengan berada ditengah samudera arus utama kebudayaan, mereka seolah meludahi dengan sopan sikap abai terhadap laku-laku Politik-Militeristik jalur kanan yang semakin hari semakin represif, Alienasi dan Kejenuhan Massal,  serta krisis eksistensial sebagai ekses dari babak kapitalisme mutakhir. Banyak dugaan bahwa Tragedi “Hilang”nya Richey Edwards, salah satu gitaris dan pembuat lirik Manic’s hilang pada tahun 1995, berhubungan dengan aktivitas atau pandangan politiknya, yang baru dinyatakan meninggal pada tahun 2008. Wallahu’alam Bisshawab.

Saya kira ada dimensi lain dalam musik yang kerap menjadikan realitas sebagai dasar pijakan atau landasan kreasi. Sesuatu yang memang konkrit dan menubuh, melampaui perkara auditif dan estetika semata. Lirik yang merupakan sisi koin yang lain dalam entitas musik, yang acapkali menjadi Katarsis, dan nyawa tambahan untuk sebuah musik. Serupa Kuku Bima anggur ditengah perhelatan 17-an.

Kita tarik contoh, bait “Ternyata Kita Harus Ke Jalan/Robohkan setan yang mendiri menantang” dari SWAMI, konon menjadi 100 kali lebih bernyawa -meskipun getir- , ketika digaungkan pada Demonstrasi Mahasiswa tahun 1998, dihadapan ribuan aparat berseragam lengkap dengan tameng dan laras panjang.

Begitu halnya dengan bait “if you tolerate this then your children will be next”, semacam wanti-wanti dari Manic’s terhadap kerja dunia yang semakin arogan dan tidak selalu baik-baik saja. Wawancara Nicky Wires oleh Britain’s “New Musical Express” pada tahun 1998, “if you tolerate..” merujuk pada Tragedi Perang Sipil tahun 1936 di Catalan, dimana banyak warga belahan dunia lain berkumpul di Spanyol dan menggagas International Brigade, -Dua orang diantaranya adalah Novelis Britania, George Orwell dan Novelis sohor asal Amerika, Ernest Hemingway– sebagai bentuk Solidaritas dan upaya menolak tunduk pada Rezim Fasistik Jendral Franco. 

Bait “if you tolerate this..” ini juga dikutip oleh salah satu unit Rock Oktan Tinggi Ibu Kota, Seringai dalam nomornya “Mengadili Persepsi”. Sebuah nomor yang mengutuk Sikap Puritan yang menggejala di awal 2000-an, bahkan sampai detik ini. Menjadi shout yang sangat antemik, dengan frasa yang memang beken dan trendy, namun disisi lain mengusung elan progresif, “Dan Kalau kita membiarkan saja, Anak kita berikutnya!”. Dengan aransemen musik yg lebih berat dan tebal, bait tersebut menjadi lebih Provokatif, tentu saja.

Ikhtiar menjaga alam dan lingkungan dari tindak serakah dan destruktif invasi kapitalisme, yang sudah di inisiasi sedikitnya oleh Masyarakat Padarincang, Suku Samin di Rembang Jawa Tengah, Warga Kulon Progo di Jogjakarta, Teluk Benoa, dan Puluhan titik api, di sepanjang  Aceh sampai Papua, tidak lain sebagai peng-ejawantahan “Khalifah fil Ard” yang patut kita teladani, sebagai ikhtiar merawat dunia yang pantas untuk anak dan cucu mereka tinggali. Kepada mereka semua kita berhutang nyawa dan nyala api.

Saya tidak punya cukup nyali untuk membiarkan anak saya tinggal dan hidup di dunia yang usang, dimana embun dan pelangi hanya ada dibuku cerita atau layar sentuh digital.

Jika kamu merasa informasi ini bermanfaat silakan bagikan ke jejaringmu. Sempatkan juga untuk berdonasi jika punya rezeki lebih agar kami bisa terus memberikan informasi menarik lainnya.