Gerbang itu tertutup. Temaram cahaya lampu malam dipinggir gerbang taman. Hanami malam yang kutemui infonya dari website ternyata sudah tutup. Padahal perjalanan ke Rikugien memakan waktu yang cukup lama, karena lokasinya yang terletak di pinggiran kota Tokyo. Aku berangkat dari stasiun Meguro, kurang lebih memakan waktu tiga puluh menit untuk bisa sampai ke stasiun Komagome, yaitu stasiun terdekat dari pintu Taman Rikugien.
Di bawah pohon Sakura tua yang disinari spotlight, aku melihat seorang gadis sedang berdiri menghadap membelakangiku. Dia memandang ke gerbang taman yang tertutup. “Sumimasen, apakah anda pengunjung juga?” Tanyaku ragu. Gadis yang mengenakan sweater dengan rambut panjang sebahu itu menoleh ke arahku. “Hmm.” Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum ramah. Senyuman yang manis dengan lesung pipi yang cantik. Kupikir dia tidak mengerti susunan bahasa Jepangku yang kurang baik.
“Watashi no namae wa Reiko desu. Azusa Reiko.” (Namaku Reiko. Reiko Azusa) Dia mengulurkan kartu namanya padaku. “Onamae wa nan desu ka?” (Siapa namamu?). “Watashi wa Airi desu. Yoroshiku onegai shimasu.” (namaku Airi. Senang berkenalan denganmu).
Universitas Tokyo (Tokyo Daigaku, disingkat Todai) adalah universitas riset yang terletak di Bunkyo, Tokyo, Jepang. Universitas Tokyo ini memiliki sepuluh fakultas dengan total mahasiswa sekitar tiga puluh ribu mahasiswa, dua ribu seratus diantaranya adalah mahasiswa asing, termasuk salah satu dari mahasiswa asing yang terdaftar sebagai mahasiswa Todai adalah aku, Airi Salsabila.
Beruntung sekali aku bisa masuk perguruan negeri Sakura ini. Itu artinya salah satu mimpiku telah kuraih, yaitu mendapatkan beasiswa kuliah di Universitas Todai dan masuk fakultas Farmasi. Ya, jurusan kedokteran tentunya. Universitas yang didirikon di zaman Meiji ini merupakan salah satu universitas bergensi di Jepang.
“Mau minuman Sakura Frappucino?” Tawar Reiko tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Eh bukan, aku tidak sedang melamun. Aku hanya mengingat nikmat-Nya. Karena taman Rikugien sudah tutup, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di rumah Reiko yang letaknya tidak terlalu jauh dari taman. Rumah yang begitu sederhana, namun sepertinya hangat dan tenang. Kedua orang tua Reiko adalah pekerja kantoran, kadangkala mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing hingga jarang pulang. Di rumahnya, Reiko kini bersama adiknya Makoto Azusa.
“Eu.. Ya. Tentu saja, terima kasih.” Tanpa menunggu jawabanku Reiko sudah menghidangkan secangkir Sakura Frappucino. Minuman yang berwarna pink Sakura dengan rasa almond yang nikmat. “Apa ini?” Tanyaku ketika Reiko menghidangkan makanan yang dibungkus daun di atas piring.
“Sakura Mochi. Makanan khusus menjelang musim semi.” Jelasnya sambil meneguk Starbucks Coffee buatannya sendiri. “Makanan ini juga dimakan saat diselenggarakannya festival boneka atau hina-matsuri setiap tanggal tiga Maret.”
Bentuk Sakura Mochi ini mungil dan indah dengan keseluruhan mochi yang dibungkus daun Sakura yang sudah diasinkan. Wah pokoknya oishi desu. “Sebenarnya Sakura Mochi ini lebih lezat lagi dimakan bersama matcha (teh hijau).” Sambung Reiko lagi. “Kau tahu Ai, membuat Sakura Mochi juga merupakan bagian dari persembahan bagi Yang Maha sebagai rasa syukur kita atas segala nikmat yang diberikan-Nya.”
“Apakah kamu Muslim?” Tanyanya padaku tiba-tiba. “Eh, I.. Iya.” Jawabku sedikit kaget. “Apakah kau sudah melakukan ibadahmu di malam ini?” Mungkin maksud Reiko mengingatkanku untuk shalat Isya. “Ya, tentu saja.” Jawabku tenang. “Baguslah, kau orang yang taat, Ai.” Reiko, ah darimana dia tahu soal shalatnya orang Islam. “Oh iya, aku tahu setelah searching tentang ritual agamamu Ai. Kau beribadah lima waktu sehari.” Kata Reiko seperti yang tahu pikiranku. Tidak Reiko, ibadahku tidak hanya lima waktu saja, setiap detik pun bisa kulakukan dengan nilai ibadah asalkan dengan niatan Lillaah, batinku.
Bulan April udara semakin hangat, meskipun di daerah Hokkaido dan Tohoku masih ada sisa-sisa salju. Udara di beberapa daerah di Jepang sudah mencapai 12 hingga 20 derajat Celsius. Di daerah Utara, yaitu di Kanto, sakura mulai berkembang. Buah plum, cherry dan Azalea Blossom kini mulai bermekaran, terutama di Okinawa yang menjadi daerah pertama bunga sakura mekar. Kemudian merambat ke daerah Kyushu, Shikoku, dan Honshu. Kurang lebih sekitar dua bulan sakura berkembang sampai ke Hokkaido. Itu artinya di daerah Osaka lebih dulu mekar daripada di Hokkaido. Perpindahan mekar sakura yang secara berangsur-angsur ini sering dikenal warga Jepang dengan sebutan Sakura Zensen.
Aku baru tahu ketika memasuki universitas Todai ini, ternyata Reiko juga kuliah di kampus yang sama, bahkan di fakultas yang sama dengan jurusan yang sama pula. “Kyou, atashi wa shiawase desu (hari ini, aku bahagia).” Ketika ini, kami sedang menikmati ramen di sebuah warung ramen Kagetsu Arashi. Sengaja aku memesan Veggie Ramen Nana, yaitu semangkuk besar ramen yang penuh dengan sayuran. Aku memilih ramen ini untuk mencari peluang dengan label halal yang pasti.
“Hari ini aku mau ke kuil Meiji. Kau mau ikut Ai?” Ajaknya setelah menghabiskan ramen hari ini. Apa? Kuil Meiji? Ya, tempat peribadatan orang Shinto. Kuil Meiji ini berlokasi di Shibuya, Tokyo. Saat itu juga aku kebingungan, kupikir jika nanti aku ikut ke kuil kemudian ada salah satu teman Muslimku lalu melihatku berada di sana, apa yang akan terjadi? Nanti mereka mengira aku pindah agama. Ah tidak, aku tidak boleh berpikiran begitu. Reiko saja membiarkanku melakukan shalat dan membaca Alquran di rumahnya. “Ya, aku ikut.” Yakinku dengan senyuman.
Seandainya aku bisa mengajak Reiko memeluk Islam, itu adalah hal yang paling luar biasa jika kulakukan. Mengislamkan Reiko sekarang masuk ke daftar seratus mimpiku. “ Kau harus tahu Ai, setiap bulan Oktober kuil Meiji selalu menyelenggarakan upacara Ningyo Kanshasai (Festival menghargai boneka).” Kini Reiko berjalan di depanku. Saat ini kami diperjalanan menuju kuil. “Eh.” Kataku terheran setengah tak percaya. Festival menghargai boneka, apa maksudnya coba? “Ah kau ini. Orang Jepang tidak pernah merusak ataupun membuang boneka ke tempat sampah. Jika itu dilakukan, maka… kutukan akan menghampiri kehidupannya.” Katanya dengan menekankan kata ‘kutukan’ itu. “ Dalam upacara itu, pendeta Shinto akan melakukan penyucian boneka-boneka yang ingin dibuang oleh para pemiliknya. Mereka kemudian membacakan mantra dan doa-doa agar arwah yang bersemayam di boneka itu mau keluar dengan tenang.” Penjelasan Reiko membuatku teringat pada ibu yang selalu membuang atau membakar boneka-bonekaku yang sudah rusak. Ah, itu kan bukan di Jepang. Dasar, Jepang terlalu kental dengan kisah mistisnya.
“Hai, Salsa!” Sebuah suara meneriaki nama, ah dia selalu memanggil nama panjangku. Aku dan Reiko mencari sumber suara. Tak perlu waktu yang lama untuk menemukan pemilik suara, kini dia berlari menghampiri kami. “Hasan!” Kataku pada lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak cokelat itu. Dia Hasan, temanku dari Indonesia. Hasan juga masuk fakultas dan jurusan yang sama denganku. “Ini punyamu kan?” Hasan menyodorkan sebuah kotak ukuran kecil dengan sampul hitam dari bahan kulit. “Ah ya, ini Alquran terjemahku.” Aku langsung mengambil Alquranku dari tangan Hasan. “Dari mana kau menemukannya San?” “Kau meninggalkannya di mejamu Sal.” Jawabnya jujur. “Ya Tuhan aku sampai lupa begini. Makasih San.” “Oke Sa. Eh ngomong-ngomong kalian mau pergi ke mana?” Selidik Hasan.
“Kami mau pergi ke Kuil Meiji.” Jawab Reiko mendahului. Wajahku sweatdrop seketika. Aku takut Hasan akan salah paham dengan situasi ini. “Owh, yasudah hati-hati ya.” Katanya sambil berlalu. Tidak ada ekspresi mencurigakan di wajah Hasan. Keadaan aman terkendali.
“Rasanya lelah sekali setelah seharian berjalan-jalan.” Reiko melempar badannya ke kasur. Sepulang dari kuil Meiji, aku kembali menginap di rumah Reiko. Bukan karena aku tidak berani pulang, tapi Reiko sendiri yang memintaku menemaninya lagi di rumah. Setiba di rumah Reiko aku mengambil air wudhu untuk melakukan shalat Maghrib. Segarnya air di rumah Reiko. Seandainya Reiko bisa menikmati kesegaran airnya ini di wajah cantiknya dengan berwudhu. “Segar juga membasuh wajah sepertimu Ai.” Tiba-tiba Reiko sudah berdiri di samping kiriku dan membasahi wajahnya.
Seusai shalat Maghrib seperti biasa aku harus membaca ayat-ayat suci yang selalu menjadi petunjuk hidupku selama ini. Belum sempat aku melanjut ke ayat berikutnya, suara orang masuk terdengar dari arah pintu rumah. “Tadaima! (Aku pulang!).” Begitulah kata yang selalu diucapkan orang Jepang saat memasuki rumah setelah bepergian. Ah jangan-jangan itu…
“Otousan! Okaasan!” Suara Makoto menghampiri orang yang datang itu. Tidak salah lagi kedua orang tua Reiko pulang. Ah bagaimana ini, aku sedikit gugup. “Tenanglah Ai, itu ayah dan ibuku.” Kata Reiko kemudian keluar dari kamarnya, aku pun mengikuti langkah Reiko di belakangnya. Wajah kedua orang tua Reiko terlihat begitu lelah. Terutama wajah perempuan separuh baya yang kukira adalah ibunya Reiko. Wajah yang kurang bersahabat. Menurutku.
“Ah, Reiko no tomodachi desu ka? (apakah teman Reiko).” Suara laki-laki yang sedikit lebih tua dari perempuan paruh baya tadi menyapaku ramah. Sementara ibunya Reiko hanya tersenyum dan segera masuk ke kamarnya. Tersenyum? Ah itu hanya terpaksa. Aku tahu. “Hai (ya).” Jawabku sambil membungkuk sebagai penghormatan. “Namae wa Airi desu (namaku Airi).” “Watashi wa Reiko no Otousan desu (Aku ayahnya Reiko). Onegai shimasu.”
Sudah terlambat. Malam sudah larut. Aku tidak mungkin pulang ke kosan. Malam ini aku tidak bisa tidur. Kuputuskan saja untuk membaca Alquran lagi. aku menoleh ke sebelah kananku. ‘Reiko sudah terlelap’ batinku. Aku mulai dengan membaca surat Thaha. Baru juga kubaca lima ayat, “Apa yang kau bacakan itu Ai?” Suara dari ranjang tidur itu kembali mengagetkanku. Ternyata Reiko belum tidur. “Ini ayat-ayat Alquran.” Aku memperlihatkan Alquran terjemahku kepada Reiko. “Owh itu yang diberi Hasan-kun tadi siang kan? Apakah itu isinya syair atau ..” “Iya ini pemnnberian Hasan. Ini bukan syair atau apapun itu namanya.” Kataku memotong pertanyaan Reiko. Rasanya aku tidak terima jika Alquran ini disebut dengan syair, meskipun Reiko belum tahu apa-apa tentang ini. Tetap saja, sakit. “Ini adalah wahyu Tuhanku yang diturunkan kepada Nabiku yang dijadikan pedoman dalam hidupku.” Aku bersusah payah menyusun kalimat itu dalam bahasa Jepang. Tidak boleh sampai salah mengartikan.
Reiko manggut-manggut. Entahlah, dia paham atau tidak dengan kalimatku tadi. “Maukah kau membacakan artinya padaku dalam bahasa Jepang?” pinta Reiko selanjutnya. “Kau bisa baca sendiri, di sini ada Romajinya jadi kau tidak perlu khawatir.” Aku meyakinkan Reiko. “Alquran ini aku pesan dari Dubes Indonesia yang berada di Jepang sebelum aku mencari kosan.” Reiko tak bersua. “Kau bisa baca huruf Romaji kan?” Aku sedikit meragukannya. “Tentu saja, kau jangan meragukanku begitu Ai.” Katanya dengan gurauan khasnya. Aku pun memperhatikan Reiko yang berusaha membaca huruf Romaji yang tertera di Alquranku. Tidak salah lagi, terjemahan surat yang ku baca tadi. Surat Thaha.
Tidak terasa seminggu sudah kulewati dengan bergelut bersama istilah-istilah ilmiah yang menjadi cirri khas fakultas Farmasi ini. Tanpa sadar aku hampir melupakan sesuatu. Sesuatu yang kutemui dulu di gerbang taman Rikugien. Reiko Azusa. Sudah tiga hari tidak masuk kuliah. Kemana dia, kenapa dia tidak masuk kuliah. Apa kau sakit Reiko? Tapi kenapa kau tidak mengabariku juga. Ah mungkin sedang liburan bersama keluarganya. Sekarang kan kedua orang tua Reiko sudah pulang. Mungkin saja kan.
“Hei Sal, mana sahabat Nihonmu itu?” Seperti biasa, setelah pulang kuliah Hasan selalu mengikuti langkahku. Eh bukan begitu. Kebetulan kosan kami memang satu arah. “Reiko maksudmu?” Aku balik nanya. “Ya. Siapa lagi?” Ah percakapan penuh pertanyaan tanpa jawaban. “Siapa bilang cuma Reiko. Ada Mayumi, Kotomi, Yuki, Miura,.. “ “Oke stop!” Sial, Hasan memotong kalimatku. Kebiasaan buruknya. “Sudah tiga hari berturut-turut Reiko tidak masuk.” Sambungnya lagi. “Justru itu San, aku mengkhawatirkannya.” Aku menunduk lesu.
‘DRRRRTT… DDRRRTT’ Tiba-tiba handphone-ku bergetar di saku bajuku. Aku menekan tombol ‘yes’ dan sebuah short message dari seseorang yang namanya sudah ada di phone book-ku “Reiko !”. Seruku pada Hasan. ‘Ai. Kita ketemuan di seafood ramen di Kaijin hari ini jam satu, aku menunggumu.’. “Kenapa Sal?” Sepertinya Hasan penasaran. “Reiko memintaku menemuinya di ramen Kaijin sekarang.” Aku melihat jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Setengah jam mungkin cukup untuk sampai di sana. Tanpa berlama-lama lagi aku segera pergi ke sana. Warung ramen itu letaknya tidak jauh dari stasiun Shinagawa. Hasan. Sepertinya dia juga mengikutiku dari belakang. Dasar bocah itu.
“Airi-chan!” Suara itu sudah tidak asing lagi di telingaku. Sementara aku masih mengatur nafasku, begitu juga Hasan. Setelah kurasa cukup, aku memeluk Reiko. Betapa aku merindukannya. Eh tunggu dulu. Ada yang aneh dengan sahabat Nihonjin ku ini. “Reiko, kenapa pipimu merah dan bengkak seperti itu?” Saat aku menyadari ada sesuatu yang beda di wajah Reiko. “Lenganmu juga, seperti bekas pukulan.” Aku asal tebak saja. “Hmm.” Reiko hanya tersenyum. Senyuman yang sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Senyum ketulusan itu lagi. Apa maksudnya coba?
‘”Apa?!! Ibumu memukulmu?” Aku dan Hasan sempat dibuat shock oleh Reiko. “Aku ingin masuk ke dalam agamamu Airi-chan.” Reiko menundukkan kepalanya. “Tapi, Oka-san tidak menyetujuinya. Bahkan dia terus memarahiku dan mencaciku.” Detik ini, menit ini, jam ini, hari ini aku dibuat super shock, eh bukan. Hatiku terenyuh ketika Reiko ingin menjadi Muslim sepertiku. Dari sini, entahlah aku harus bahagia atau bersedih. Bahagia karena mimpiku akan terwujud dan Reiko menjadi mualaf atau aku bersedih karena perjuangan Reiko masuk pintu Islam ini dengan siksaan-siksaan dari ibunya. Gadis yang malang.
“Apa kau yakin Reiko-chan?” Tanyaku lebih memastiksn. Reiko menganggukkan kepalanya mantap. Subhaanallaah ini adalah hidayah yang luar biasa. Belum lama aku mengenalmu Reiko, kau sudah bisa menilai Islam dengan positif. “Sebenarnya kemarin itu hari terakhirku ke kuil Meiji.” Sambungnya lagi. “Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mengikuti agamamu Ai. Aku merasakan ketenangan ketika kau membaca kitab sucimu.” Aku dan Hasan merasa takjub dengan keputusan Reiko kali ini.
“Lalu bagaimana dengan ibu dan ayahmu?” Tanyaku mengingat luka di tubuhnya Reiko. “Ibu memang tidak akan pernah merestuiu sampai kapanpun. Tapi, ayahku tidak terlalu mempermasalahkannya. Dia bilang agamaku terserah aku.” Reiko tersenyum manis. “Reiko-chan.” Aku memeluk Reiko erat. ‘Terima kasih yaa Tuhan, engkau telah membukakan hati Reiko untuk menerima hidayah-Mu.’ Kataku dalam hati. Setelah itu aku dan Hasan mengantar Reiko untuk menemui ustadz Ali yang kebetulan bekerja di Dubes untuk membimbing Reiko menjadi mualaf. Ini adalah kado terindah untukku darimu yaa Rabb. Tidak akan bisa dibeli dengan materi, tidak bisa ditukar dengan intan permata. Membawa seseorang untuk kembali ke jalan-Mu adalah sebuah usaha yang mulia. Namun, tentu saja dengan bimbingan hidayah-Mu semuanya menjadi mudah dan lancar.
Beberapa hari setelah Reiko masuk Islam, ia mulai menampakkan dirinya sebagai pribadi muslimah. Dia berpenampilan layaknya seorang muslimah. Meskipun harus menerima tamparan dan cercaan ibunya setiap hari. Dia tetap dengan keputusannya memilih Islam. “Besok keluargaku akan pergi ke Hokkaido.” Reiko memulai pembicaraan. Kali ini kami berada di sebuah perpustakaan umum. “Waah, seru dong.” Kutanggapi dengan sedikit candaan. “Hmm. Eh ini untukmu Ai.” Reiko memberikan sesuatu padaku. Sebuah kotak kecil berwarna ungu, ya warna favoritku. “Apa ini?” Tanyaku heran. “Nanti di bukanya di kosan saja.” Jawab Reiko malu-malu. Apa ya isinya? Hmm aku jadi penasaran. Tapi…. Ah sudahlah.
Hari ini mungkin tiba saatnya bagi Reiko untuk pergi ke Sapporo, Hokkaido. Aku mendapat pesan lagi darinya, ‘Hari ini aku berangkat ke bandara Hanada.’ Ah aku tidak berniat untuk membalas pesannya. Lima menit kemudian, pesan masuk lagi dari Reiko, ‘Airi-chan, Sayounara J (Airi, selamat tinggal).’ Hanya itu. Perasaanku tidak enak, rasa sedih mulai meny irami hatiku. ‘Gomen, aku tidak bisa mengantarmu ke bandara Hanada.’ Ucapku dalam hati sambil menyimpan ponselku ke saku jaket.
“Kecelakaan pesawat-tunggal yang berlokasi di Gunung Takamagahara, Gunma. Jenis pesawat yang digunakan Boeing 747-146SR asal Bandar Udara Internasional Tokyo-Hanada.” Telingaku mulai dipertajam, tatkala aku mendapati sebuah berita di salah satu stasiun televisi Tokyo yang baru saja ku nyalakan. Stasiun Hanada? Tidak. Ini tidak benar. Aku mencoba mengalihkan ke stasiun TV yang lain. tetap saja dengan berita yang sama. Berita kecelakaan pesawat, bahkan lebih parah. “… dengan jumlah penumpang yang diperkirakan sekitar 85% tewas. Dan sisanya belum ditemukan.” Berita itu semakin memperburuk keadaan. Kini, di layar televisi itu disorotkan pada korban tewas. Dan diantara jenazah yang sedang dievakuasi aku mengenal wajah itu. Reiko Azusa.
‘Maskapai penerbangan JAL 123 itu lepas landas dari Bandara Hanada. Ketika pesawat mencapai ketinggian jelajah di atas Teluk Sagami, bagian penyekat buritan belakang pesawat pecah dan menghasilkan ledakan dekompresi, yang merobek ekor pesawat…’ Sudah cukup! Berita itu terlalu menyakiti hatiku. Berita itu merebut kebahagiaannku, merebut sahabatku Reiko. Kupikir ini adalah sebuah mimpi, namun adalah kenyataan yang pahit dan menyakitkan. Tak kusadari air mataku semakin deras membasahi pipiku. Reiko dan keluarganya tidak selamat dari kecelakaan itu. Saat ini juga ingin rasanya aku berlari ke Bandara itu. Ingin aku memeluk Reiko sekali lagi. ingin aku ucapkan salam perpisahan. Tapi, semuanya sudah terlambat.
Tubuhku lemas, terkulai di atas tempat tidur, air mata terus mengalir tak bisa kubendung lagi. Aku menangis, sesak sekali dadaku ketika mendengar kenyataan ini.
Reiko, sekarang aku sadar ucapan ‘sayounara’ mu itu di sms. Itu artinya salam perpisahan yang tidak akan pernah kembali. Aku tahu, sekarang yang tertinggal hanyalah bingkai foto kita yang berlatar warna ungu yang kusimpan di atas meja belajarku. Hadiah pertama dan terakhir darimu. Aku tahu, kau sekarang adalah seorang muslim. Allah pasti sudah menerima taubatmu. Semoga kau di tempatkan di tempat yang layak di sisi-Nya.
Reiko-chan, Sayounara!