Mengimpor Barang Aneh Bernama Feminisme

feminisme-breakpos.com

Feminisme mulai muncul di Barat pasca perang dunia pertama. Di awal abad 19 itu, Barat sedang mengalami fase yang sulit. Kerugian pasca perang baik secara materil maupun korban jiwa yang menjadi tumbal bengisnya hawa nafsu manusia membuat Barat berada di tengah paceklik disegala lini. Setidaknya akibat paling ganas dan paling berbahaya dari peperangan itu ialah gugurnya paling sedikitnya 10 juta pemuda dari Eropa dan Amerika di barisan pejuang perang (Quthub, 1984, hlm. 58).

Akibat perang juga, perekonomian merosot diangka yang paling rendah. Perusahaan-perusahaan besar memutar otak untuk mengembalikan stabilitas perusahaan mereka. Untuk mengembalikan sirkulasi produksi itu, perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, sedangkan seperti sudah disebutkan sebelumnya, laki-laki dalam usia produktif malah banyak tumbang di medan perang.

Dari segi ekonomi, kedua hal itu sudah cukup untuk memberikan dorongan kepada pelaku ekonomi untuk mencetuskan satu hal agar terciptanya kembali keseimbangan ekonomi seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Hal itu adalah memperkerjakan kaum wanita. Namun hal ini akan sulit, mengingat di masa itu, Barat masih mengikatkan dirinya pada norma-norma Kristiani yang menganggap tabu bekerjanya seorang wanita. Mesti ada goncangan atas gereja agar tujuan-tujuan ekonomi tetap berjalan sesuai kehendak mereka.

Perang juga mengakibatkan kerugian cukup signifikan atas moralitas Barat. Kehilangan 10 juta pemuda mengakibatkan timpangnya jumlah laki-laki dan perempuan. Akibatnya, berjuta-juta gadis tidak memperoleh kesempatan bersuami meskipun banyak lelaki yang siap menikahi mereka. Namun persoalannya adalah jumlahnya yang tidak berimbang. Maka patut dipertanyakan kemudian, bagaimana para gadis itu dapat memenuhi kebutuhan biologisnya yang wajar secara legal dan bersih? (Quthub, 1984, hlm. 61).

Beruntunglah Barat memiliki Darwin dan Freud. Berkat kedua orang ini beserta teorinya, Barat bisa mengatasi masalah besar yang melanda mereka. Charles Darwin berpendapat bahwa manusia hanyalah binatang yang tidak bermartabat juga tidak memiliki sisi rohani yang mulia. Ia adalah makhluk bebas tanpa terikat tradisi maupun tata susila yang berlaku. Darwin melucuti manusia dari norma-norma yang selama ini mengikat dengan dalih kepalsuan doktrin penciptaan manusia yang serta merta oleh Tuhan karena menurutnya, manusia sama saja halnya dengan hewan yang berasal dari proses evolusi. Pemahaman akan manusia yang bermartabat dan mulia mulai goncang disini.

Tak lama kemudian muncul sigmund freud, menurutnya seks dengan arti hewaniyah semata-mata, dengan pengertian sensasi erotiknya dan dengan arti getaran serta perasaan tubuh, itulah yang sebenarnya penggerak pertama dan pendorong asal dari eksistensi manusia. Seks adalah segalanya dan segala sesuatu bersumber pada seks (Quthub, 1984, hlm. 33).

Goncnagan yang kedua ini ternyata lebih hebat dari pendahulunya. Teori ini kemudian menjadi pembenaran bagi Barat untuk mengumbar nafsu bahkan menjadikan seks sebagai salah satu komoditi pasar. Seks menjadi bumbu yang selalu ada disetiap barang jualan mereka. Film, seni, nyanyian hingga iklan-iklan secara besar-besaran menggambarkan seks ke hadapan wajah semua orang. Pada kesempatannya, hal ini pula yang akan bertaut dengan kehendak ekonomi seperti disebutkan sebelumnya untuk sama-sama melahirkan sebuah faham pesanan. Faham yang sebetulnya secara esensi tidak ada masalah pada mulanya.

Kerugian perang yang sebagaimana dijelaskan diatas, dari sudut pandang ekonomi, kemudian memaksa kaum wanita untuk terjun bekerja. Mereka terpaksa mencari nafkah sendiri karena banyak dari mereka berstatus janda korban perang, atau perawan tua yang tidak dinikah. Mereka menawarkan diri kepada perusahaan-perusahaan yang kedapatan membuka lowongan kerja bagi kaum perempuan. Kebutuhan akan pekerjaan yang tinggi membuat perusahaan tanpa merasa bersalah mematok harga murah untuk menggaji pekerja wanita. Ditambah tabiat wanita yang cenderung tidak berani protes sebagaimana kaum pekerja laki-laki dimasa itu yang banyak menuntut. Hal ini menguntungkan bagi perusahaan yang hendak bangkit dari kerugian perang dunia.

Industri seks bebas pun menjadi yang marak di Barat. Setelah ikatan norma-norma agama diguncang oleh Darwin yang dengan sukses menyebarkan faham bahwa manusia tidak lebih mulia dari hewan, ditambah lagi kegoncangannnya oleh Freud yang membenarkan dorongan seksual sebagai dorongan paling asasi manusia. Tak tanggung-tanggung, industri seks menjadi yang paling laris dikala itu. Manusia tak lagi canggung berhubungan badan dengan lebih dari satu orang, mereka tak canggung lagi menunjukkan kegiatan seksual mereka di depan banyak orang bahkan untuk merekamnya dan menjadikannya sebuah film.

Lagi-lagi, perlu ditekankan disini, bahwa ini semua salah satu bagian dari proses perekonomian. Para wanita pekerja seks itu disamping merasa dirinya tidak ada masalah dengan tubuhnya yang terekspos—mungkin terispirasi Darwin bahwa manusia sama saja dengan hewan dan terinspirasi Freud bahwa Seks adalah dorongan paling azasi—mereka juga terdorong oleh kondisi ekonomi yang sulit, ketiadaan kaum lelaki yang menjaga dan menafkahi mereka, juga dorongan hasrat biologis mereka yang tidak terpenuhi karena tidak menikah atau kehilangan suami.

Keterlibatan wanita dalam proses ekonomi, menjadi pekerja-pekerja bahkan menjadi staf ahli operasional alat produksi, kemudian mendorong munculnya isu kesetaraan hak. Isu yang kemudain hari disebut kesetaraan gender. Lagi-lagi, sebetulnya isu ini pada mulanya tidaklah bermasalah sampai kebijakan-kabijakan dan prilaku sosial di Baratlah yang sebetulnya menjadikannya berat sebelah dan nampak tidak adil bagi kaum perempuan.

Para kaum wanita kemudian menuntut adanya kesetaraan gaji, lalu menuntut kesetaraan pendidikan dan lalu menjadi tuntutan kesamaan hak untuk menjadi pemimpin karena mereka merasa memiliki pendidikan yang sama dengan kaum lelaki, memiliki penghasilan yang sama pula dengan kaum lelaki dan memiliki kesempatan yang sama dengan kaum lelaki.

Di samping itu, eksploitasi seksual terhadap wanita baru mereka sadari kekejianya dikemudian hari. Dengan lantang mereka mengecam segala bentuk superioritas laki-laki dalam hal perlakuan seks. Para wanita itu selama ini merasa dieksploitasi tubuhnya oleh laki-laki, merasa hanya dijadikan barang pemuas nafsu belaka. dan dengan dendam itu, para wanita mengacungkan kepalan perlawanan pada kaum laki-laki. Bahkan cenderung ingin memusuhinya dan membalas perlakuan semena-mena itu.

Mungkin Barat lupa, mereka lah yang membuat semua itu terjadi. Perang dunia, proses ekonomi hingga ekspolitasi seks adalah pilihan yang mereka ambil dan mereka ‘pesan’ dan celakanya, akibat buruk dari itu semua baru mereka rasakan dikemudian hari. Isu feminisme berkembang sebagai pembenaran atas kepicikan mereka dalam menangani masalah-masalah yang menimpa masayrakatnya.

Dilalah, Tanpa pikir panjang, feminisme kemudian diimpor bangsa kita seolah kita punya masalah yang sama dengan Barat. Seolah kaum perempuan di negeri ini mengalami persoalan yang sama seperti yang semula menimpa kaum perempuan di Barat. Padahal mereka hanya terlecut fakta satir yang melatarbelakangi munculnya faham itu.

Dengan kepalan tangan yang terjiwai semangat perlawanan wanita Barat atas penindasan dan eksploitasi seks kaum laki-laki—sekali lagi sebetulnya hal ini tidak terjadi di negeri ini dan semula tidak pernah dianggap masalah—kaum wanita negeri ini menyuarakan feminisme dengan lantang. Feminisme dengan jiwa perlawanan semu itu kemudian hanya membingungkan bangsa ini saja yang sebenarnya sudah nyaman dengan kehidupannya.

 

Sumber :

Quthub, M. (1984). Islam ditengah pertarungan tradisi. (K. M. Agustjik, Trans.) Bandung: Mizan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.