MONO : Gelap Paling Pekat Datang Menjelang Fajar

https://monoofjapan.bandcamp.com/album/hymn-to-the-immortal-wind

Pengalaman hidup sebagai manusia, mengajarkan -bahkan seringkali memaksa- saya untuk lebih banyak menerima, alih-alih memilih. Saya acap gagal mendefiniskan ulang makna Rukun Iman ke-6 (?) qada’  dan qadar. Di fase tertentu, hal tersebut mungkin menjadi salah satu dari banyak faktor lain yang membuat saya menyebrang ke dalam barisan pasifis dalam banyak hal.

Sempat memegang teguh salah satu potongan sajak Amal Hamzah,

Kalau Boleh Kupinta dulu

Aku tak usah lahir ke dunia-tipu

Tapi malang!

Aku lahir bukan kehendakku!.

Adalah Ibunda yang ternyata menanam biji berupa hasrat berlebih pada bebunyian. Masa pertumbuhan yang diisi dengan asupan-asupan macam Grace Simon, Titiek Sandhora, Aloysius Riyanto dan Tetty Kadi, lambat laun menjadi tunas yang mencari sinar matahari-nya sendiri.

Musik, setidaknya sampai detik ini, menjadi identitas paling personal yang entah sampai kapan akan saya peluk-lekat. Musik sebagai perpanjangan tangan ibunda, yang seringkali berhasil mengantarkan saya melewati beberapa peristiwa dengan kadar pi-anjing-eun dosis tinggi. Saya berhutang banyak pada musik, dan tentu saja pada Ibunda.

Sekira satu dekade lalu, seorang kawan di tongkrongan memperkenalkan Mono melalui album Hymn to the Immortal Wind. Semacam Eureka momen. Sulit bagi saya waktu itu untuk tidak langsung menyerahkan diri secara sukarela dan penuh kesadaran menjadi makmum dari Goto dan rengrengan-nya.

Dengan komposisi dan kunci progresi oriental, cenderung romantis dan rapuh disatu sisi, namun di babakan lain ada kemegahan serupa optimisme dan enggan tunduk pada nasib dan takdir. Helatan Mono ke Bandung tahun 2013, gagal saya hadiri dengan alasan paling klasik sepanjang sejarah homo sapiens yaitu, Kendala Finansial.

Kuartet Rock Eksperimental ini dibentuk di tengah Kesibukan dan Kebisuan kota Tokyo pada tahun 1999. Dengan formasi awal Takaakira Goto dan Yoda sebagai penyulam nada dan konduktor kunci pada gitar, Tamaki menjaga tempo pada bass juga mengisi ritmis dan notasi puitik pada Piano dan Glockenspiel, dan Takada pada tetabuhan utama drum, bahkan gong yang acap menjadi salah satu elemen paling penting pada puncak crescendo.

Tahun 2012, Mono menggandeng Henry Hirsch sebagai bidan bagi kelahiran anak rohani ke-6 nya For My Parents, setelah sebelumnya lekat dengan Steve Albini selama 8 tahun, salah satu produser kawakan asal California, Amerika. Langkah yang hanya diambil oleh musisi yang berani melampaui dirinya sendiri, sebagai upaya meludahi zona nyaman. Pada sesi rekaman For My Parents, Mono juga berbagi ruang dan bunyi dengan kolektif orkestra asal New York, Wordless Music Orchestra , setelah dua tahun sebelumnya sukses menghelat pertunjukan akbar dengan tajuk Holy Ground : NYC live  with Wordless Music Orchestra, dihadapan ribuan orang, setelah satu dekade sebelumnya dua blok dari tempat mereka waktu itu, Mono hanya ditonton oleh tidak lebih dari 10 pasang mata.

Berikut pemaknaan dari pengalaman mendengarkan album Mono – For My Parents. Sebagai disclaimer, apa yang terurai akan sangat personal dan subyektif.

Nomor pembuka dari For My Parents, bertajuk Legend, semacam penghormatan dan sujud simpuh di hadapan Ibunda. Sebagai laku terimakasih karena telah merawat dan menukar setiap isi pikiran dan sisa tenaganya hanyak untuk saya tetap hidup.

Tiga menit hening pada menit ke-5 sampai menit ke-8, semacam isyarat untuk bersama-sama mengheningkan cipta, memberikan kesempatan bagi kita, untuk memungut dan menyusun kembali patah-patahan peristiwa diparit ingatan, untuk kemudian memugarnya menjadi sebuah monumen, yang menjadi pengingat bahwa hidup pernah baik-baik saja, dan perasaan beruntung karena telah dilahirkan dari ibunda yang Tangguh. Untuk setelahnya, dipungkasi dengan iringan orkestra megah dan tabah yang dibangun oleh kawanan Wordless Orchestra.

Nomor kedua dengan bertajuk Nostalgia. Merujuk pada penggalan tulisan Svetlana Boym, Novelis dan Perupa asal Rusia, dalam bukunya bertajuk The Future of Nostalgia. Istilah Nostalgia berasal dari istilah Pseudo-Greek, yaitu Nostos yang diartikan secara sederhana kembali ke rumah dan Algos yang diartikan Kerinduan. Pertama kali digagas oleh seorang Dokter kebangsaan Swiss, Johannes Hoffer dalam disertasi medisnya pada abad ke 17, sebagai respon atas penyakit dengan gejala semacam kehilangan kesadaran, dan kesulitan membedakan antara realitas dan khayali.

Nomor Nostalgia dan a Quiet Place to Go, bagi saya memiliki similar-vibe, namun Nostalgia menawarkan gemetar yang lebih hidup, semacam pulang bekerja di luar kota, ada debar yang mengantarkan kita pulang, hingga sampai pekarangan rumah kita menyaksikan ibu menyapu di halaman. Lain hal dengan a Quiet Place to Go , sebagai nomor penutup di album For My Parents, Mono menyajikan sehamparan ambient panjang, dan lapang namun terasa lebih sunyi. Komposisi cresecendo dipenghujung lagu menjadi penanda bagi rumah yang terasa lebih sepi dan dingin, dan sampah berserak dihalaman.

Taka, menjadikan potret kedua orangtuanya sebagai sampul album For My Parents, tentu dengan persetujuan kawan-kawannya yang lain dan di laman bandcampnya tertulis,

“This is something we wanted to do while we still have the chance. What cannot be explained in words to parents, we hope can be captured by these songs. We hope that this album serves as a gift from child to parent. While everything else continues to change, this love remains a constant throughout time.”

Penanggalan Januari 2022 lalu, sang ayah berpulang, melalui laman facebooknya Taka menulis, “Today, I’m going to listen to this album for the first time in a while.”

Jika kamu merasa informasi ini bermanfaat silakan bagikan ke jejaringmu. Sempatkan juga untuk berdonasi jika punya rezeki lebih agar kami bisa terus memberikan informasi menarik lainnya.