Aku sedang sumpek sebab yang diajarkan di sekolahanku hanya bagaimana menjadi pemenang dalam debat medsos, bagaimana menjadi pemenang dalam percaturan politik, bagaimana caranya menguasai media, atau bagiamana menggunakan agama sebagai alat jitu perpolitikan atau bagaimana memanfaatkan sebuah isu/keadaan untuk keberuntungan kelompok. Sekolah politikku sangat teramat liar, bahkan setan dan iblis berguru di sekolahanku. Alamatnya di Jalan Licik kilometer Enam, Kecamatan Setan, Kabupaten Iblis, Negara Manusia.
Tidak usah dicari-cari dimana alamat sekolahanku, apalagi sampai mencari dengan Google Maps atau sejenisnya, sebab aku memang sedang bersekolah di alam bawah sadar. Aku sedang terjebak di dunia imaji yang hiruk pikuk dengan telikungan kepentingan-kepentingan.
Sampai akhirnya aku duduk istirahat sambil memandangi foto pemimpin di dunia imajiku. Orangnya kalem, slow, santun tetapi juga cerdas sekaligus licik. Kok kamu tahu?
Aku memandang foto itu dan terseret masuk ke dunia foto pemimpinku. Aku kini ada di imaji dalam imaji. Ada di kepentingan yang ditunggangi kepentingan. Ada adem ayem yang sebenarnya penuh sesak dengan kemarahan.
Foto pemimpinku sedang berpose sambil bersalaman dengan Pak Menteri di dunia imajiku. Sedang teken kontrak tentang program raksasa masal peralihan atau hijrah manusia. Jangan dibilang pencitraan sebab di alam bawah sadar semuanya polos, ril dan apa adanya. Artinya pencitraan itu tidak ada.
Aku sembunyi dibalik pohon jati yang besar, sambil mencuri-curi pandangan aku mengamati dan mendengarkan dengan seksama pembicaraan dua pembesar di dunia imajiku.
“Pak Men, aku sudah menyuruh Panggede untuk menjaga lidah supaya tidak kecele alias salah ucapan. Tapi masih saja salah dia. Aku dirundung ketakutan, seluruh tubuhku membiru jika memikirkan bahwa aku harus selalu menjadi suara Panggede. Ide-idenya harus aku turuti. Ada sedikit sih yang aku juga usulkan. Tentang menguasai Media Massa sudah aku lakukan. Sukses 95% artinya suara-suara pemberontak, demo-demo, aksi massa, atau siapa yang menjelekanku pasti akan di delete oleh pihak media masa. Yang 5% aku tidak bisa mengontrolnya sebab ranahnya sudah media sosial yang orang-orang bisa bebas berbicara.” Curhat Wakincul (Pemimpin Dunia Imajiku)
“Kalau begitu bikin undang-undang saja yang isinya seolah mendukung penguatan Negara tapi sebenarnya itu jurus kita meng-kadali orang-orang yang berseberangan dengan kita. Bagaimana dengan para agamawan, begawan, sastrawan, wartawan dan ormas agama, apakah sudah dirangkul dan diberi jatah?” Tanya Menteri Wakincin
“Kalau itu sudah dong. Mereka sudah dikasih nasi jadi akan sejalan dengan kita. Problem terberat kita ini bagaimana memindahkan jutaan warga Wakingan (Nama Ras dari Presiden Wakincul dan Menteri Wakincin) tapi tidak ketahuan orang-orang dalam. Bahaya juga nanti bisa bentrok.” Kata Presiden Wakincul
“Aku sudah bekerjasama dengan Seo di Negara Wakingan supaya membentuk Proyek Reklamasi dan juga proyek Wakingankarta. Goalnya mudah-mudahan nanti warga Wakingan bisa menghuni di sana juga.” Jawab Menteri Wakincin dengan mantap
Aku kaget setengah mati, sampai bunyi kentut tak bisa direm dan misi mata-matai gagal. Aku diburu kepolisian Negara Bayangan.
Sambil membawa beras satu ton di dompet, cangkul dan memakai caping gunung, aku berlari sekuat tenaga.
Hei… Tunggu… Hei Kau Bajingan Tunggu… Atau Kami Dor!
Aku ketakutan tapi tetap saja berlari hingga akhirnya kaki kananku didor.
Aku terjatuh dan mengerang kesakitan. Saat mau diborgol, tubuhku larut dan keluar dari dunia foto presiden itu.
Seperti melewati lorong waktu dan gelombang.
Aku nyungsep ke tanah saat keluar di dunia foto. Tapi aku masih berada di dunia imaji.
“Gila! Foto Presiden Wakincul berdarah. Jangan-jangan kepemimpinannya hanya akan menjadi malapetaka rakyat kecil. Atau jangan-jangan ada janji-janji yang belum terlaksanakan. Oh iya! Janji tentang pengusutan HAM juga belum terpenuhi, janji memberi satu keluarga dengan satu Lamborghini juga belum terpenuhi. Janji memberikan seluruh emas untuk masyarakat Negeri Bayangan juga belum terpenuhi. Malah gunung emas disedekahkan dengan sukarela ke Negeri Api” Curhatku dengan suara sinis
Lama aku tertegun dan menyendiri, aku ingin keluar saja dari dunia imaji ini. Toh ini hanya kepalsuan belaka. Toh kesuksesan, kemajuan atau keberhasilan itu hanya fatamorgana belaka.
Tiba-tiba ada yang memegang pundakku dari belakang. Aku kaget dan mencoba menenangkan diri. Siapa gerangan manusia yang bisa memasuki dunia imaji sama sepertiku.
Aku menengoknya, alangkah terkejutnya diriku sebab ternyata Mbah Nusantara. Ia ketawa cekikikan melihatku.
“Mbah kok malah ngguyu, ini bukankah mengerikan lho” Kataku
“Soalnya di dunia imajimu, Panggede dan Naga Geni dari Utara tidak menampakan diri. Yang kamu lihat tadi adalah bidak kuda dan luncur. Hahaha” Mbah Nusantara makin keras tertawanya
Aku dirundung penasaran sebab ucapan Mbah Nusantara. Entahlah