KALEM.ID – “NU dan warganya memang sudah terikat dengan tradisi silang pendapat akan tetapi tetap saling menghormati, saling mendahulukan adab dari pada kepentingan.“
Menyoal penyebutan kafir atau non-muslim yang sedang ramai belakangan ini, kita semua pasti tahu siapa inisiator di baliknya. Nahdlatul Ulama, tentu tidak perlu saya jelaskan lagi apa dan siapa organisasi yang akrab disebut NU itu. Yang belakangan juga sudah kadung dicap sebagai organisasi dengan banyak penyusup agen liberalis dari Amerika sana. Hal itu kadang dianggap wajar karena memang dinamika organisasi di dalam NU bukan barang baru.
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan justru lebih lucu, banyak teman-teman yang dulunya satu pesantren dengan saya mengecam hasil Bahsul Matsa’il tersebut. Hingga menyebut dirinya bukan NU yang itu, NU-nya Ulil Abshar Abdala. Seperti ada sebuah perasaan yang terikat dengan NU, warga NU ini memang lucu-lucu, ketika keputusan organisasi keluar dan tidak sependapat dengan dirinya, maka ya paling jauh mereka cuma misuh-misuh. Tidak pernah sampai menyatakan diri bahwa saya pindah ke Muhammadiyah dan mulai subuh besok saya tidak akan qunut.
Entah mengapa, warga NU ini memang sangat spesial. Selain organisasi dengan jumlah anggota terbanyak di Indonesia, NU tidak cuma memiliki titel sebagai organisasi berbasis masa, melainkan juga sebagai organisasi dengan masa paling setia. Lihat saja, ketika kemudian PBNU banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengganggu bagi mereka yang dimaksud, seluruh warga NU tanpa terkecuali tetap memegang teguh ajaran tahlil ketika ada yang meninggal, tetap melaksanakan maulid nabi dan tradisi-tradisi Islam lainnya.
Perlu diketahui, sejak 1945 atau lebih tepatnya setelah keluar dari Masyumi, NU sering disebut sebagai tamu istimewa istana. NU yang dimotori KH. Wahab Chasbullah itu kemudian sering dianggap sebagai penjilat negara oleh sebagian kalangan umat Islam khususnya kelompok Islam modernis bahkan oleh anggotanya sendiri. Rivalitas antara Islam modernis yang dipelopori Muhammadiyah dan Islam tradisionalis mulai panas selama awal tahun 1920-an.
Argumentasi itu sah-sah saja, karena memang Masyumi dan kelompok Islam reformis seperti Mas Mansur dan Syeikh Ahmad Soerkati merupakan kompetitor NU dalam berdakwah. Artinya, NU berdiri singkatnya atas dasar kepentingan dunia pesantren dengan pakem keislaman tradisional, sedangkan Muhammadiyah dan Al-Irsyad berdiri justru untuk melakukan reformasi pemahaman Islam yang murni sesuai Al-Quran dan Sunnah.
Sudah sejak dahulu NU memang selalu siap berada pada posisi yang berpotensi disudutkan oleh umat Islam bukan hanya dari luar NU saja, tetapi juga oleh anggotanya sendiri. NU ini gimana ya? Bayangkan, NU ini sudah tidak asing dengan dinamika internal dan perpecahan di dalam anggotanya sendiri. Di dalam buku Tradisionalisme Radikal terbitan LKiS disebutkan, pada 1940 sampai pertengahan 1960, NU pernah terbagi menjadi dua basis kekuatan, yang pertama adalah kelompok garis keras dan kelompok pragmatis.
Tetapi memang kemudian kedua basis yang saling bertentangan secara prinsip itu masih mengaku bahwa dirinya adalah NU. Tidak pernah ada cerita kemudian salah satu basisnya membuat organisasi tandingan.
Perlu diketahui, yang dimaksud kelompok garis keras secara umum adalah orang-orang yang ketat memegang ajaran-ajaran hukum Islam hingga berujung pada keinginan diakuinya syariah secara formal. Sedangkan kelompok pragmatis sebaliknya, mereka lebih sering menginterpretasikan hukum Islam dengan lebih liberal dan realistis. Tentu melihat fakta sejarah yang ada, perpecahan di dalam tubuh NU bukan cuma karena beda kiai atau pandangan politik. Artinya selalu berbeda secara prinsipil.
Jadi, NU dan warganya memang sudah terikat dengan tradisi silang pendapat akan tetapi tetap saling menghormati, saling mendahulukan adab dari pada kepentingan, sehingga kemudian tidak ada perpecahan internal yang berujung pada berkurangnya anggota NU secara kuantitatif. Boleh dibilang, sudah mah NU tidak pernah sejalan dengan pendapat keislaman sebagian warganya dan selalu kontroversial di hadapan kebanyakan ormas Islam lain, tetapi warga NU yang demikian masih kepingin disebut bahwa dirinya NU, meski selalu ada tambahan, saya mah bukan NU yang itu.
Saya jadi teringat, ketika almarhum Gus Dur menjabat sebagai ketua umum NU, bagi sebagian pengikutnya almarhum KH. Hasyim Muzadi, NU di bawah kepemimpinan Gus Dur sangat berbeda dan cenderung tidak disukai mereka. Sampai sekarang pun NU yang dipimpin oleh KH. Said Aqil Siraj, bagi para jamaah Buya Yahya, masih suka dianggap NU yang ngawur karena pernyataan-pernyataan PBNU yang dianggap tak sejalan dengan mereka.
Ya memang pada akhirnya, NU bukan cuma sekedar organisasi masa biasa. NU mengajarkan kepada kita secara filosofis bahwa terkadang orang-orang di sekitar kita memang selalu berperilaku menyebalkan, tetapi justru dengan itulah hubungan batin dan kultural terjalin dengan baik, sehingga se-menyebalkan apa pun pada dasarnya mereka sama-sama masih sayang, tetap masih cinta.