Nyinyiran Jamaah Dzikir

zikir-breakpos.com

Di salah satu musholah, para jamaah shalat Isya berkumpul. Mereka rata-rata pemuda atau paruh baya, yang merantau dari desa ke kota untuk menjajal nasib baik.

Setelah adzan Isya, semua jamaah terbiasa melaksanakan shalat sunnah qobliyah terlebih dahulu. Namun selepas diantara mereka sunnah qobliyah, imam langganan musholah tersebut tak kunjung terlihat batang hidungnya.

Suasana jadi sepi, hanya ada canda anak kecil. Tak ada diantara mereka yang berani mengambil sikap. Semua saling tertunduk kepala, seakan-akan berdzikir padahal entah apa yang sedang mereka pikirkan.

Dua menit berlalu, sepi di musholah itu tak kunjung selesai. Dua menit berikutnya semua masih dalam posisi yang sama. Tahtah salah satu jamaah mulai resah dan menunjukan sikap bosannya dengan menggaruk-garuk leher sambil mendangakan wajah ke langit-langit musholah. Selain Tahtah, Faruqi jamaah yang juga seorang aktivis ormas Islam, bertanya-tanya dalam hatinya tentang mengapa mang Sarip tak kunjung memerintahkan Iqomah kepada anak-anak.

Budaya mereka memang begitu. Siapa ia yang memerintah Qomat, maka ia dibebani tanggung jawab menjadi Imam Shalat.

Semakin jauh Faruqi berprasangka, sampai bergumam “Padahal ia lulusan pesantren Tasik, masa jadi Imam saja kurang begitu bisa” dalam hatinya.

Mungkin kiranya semua orang beranggapan demikian pada mang Sarip pun sebaliknya seperti perang dingin, akhirnya setelah lama, jamaah masjid bertambah, seorang bapak-bapak berusia kurang lebih 60 tahun hadir melengkapi sepinya musholah itu dengan kemeja putih lecek dan agak kotor.

Selain bapak tadi, semua yang di musholah merasa tenang akan kedatangan bapak itu, lantaran diantara mereka, hanya bapak tadilah yang paling terlihat tua.

Dengan nada kesal, Faruqi si anggota ormas Islam tadi menyuruh salah satu anak untuk Qomat, sembari menegaskan bahwa imam sudah datang. Sebetulnya nada kekesalan itu datang dari mang Sarip yang acuh untuk jadi imam.

Setelah Qomat dikumandangkan semua jamaah saling tunjuk untuk jadi imam, sekedar formalitas agar tidak dianggap terlalu gila jabatan. Namun pada akhirnya semua mata tertuju pada si bapak.

Dengan berbekal ilmu bahwa verifikasi seseorang menjadi imam sholat adalah yang lebih tua di antara jamaah masjid, meskipun beberapa syarat yang lain dibenarkan adanya, seperti fasih membaca surat-surat termasuk Al-Fatihah, kuat dan banyak hafalan, namun mereka tak menggubris hal itu. Jadinya si bapak tadi yang menanggung.

Silahkan pak” kata mang Sarip

Tapi pakaian saya begini? Gapapa ya?” Jawab si bapak

Semua mengangguk dengan senyum dan tatapan yang kurang meyakinkan, seakan kecewa melihat penampilan si bapak jadi imam, masing-masing mereka seperti tumbuh penyesalan dalam dada. Mengapa bukan saya saja imamnya? Tapi semua sudah terlanjur, tidak sopan juga jika tiba-tiba keputusan ditinjau kembali.

Mulailah Sholat, Takbiratul ihram imam sholat Isya waktu itu harus diulang tiga kali, sehingga semua makmum bingung dan memberikan kesan negatif kepada si bapak. Tidak selesai di situ, si bapak pun terdengar sangat tidak fasih dalam membacakan surat-surat termasuk Al-Fatihah sebagaimana pelafalan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in dibaca dengan tanda tasydid pada huruf ya, si bapak malah tidak. Hal itu menambah keraguan makmum.

Saat shalat, seluruh makmum memikirkan hal-hal aneh kepada si bapak. Sebagai seorang imam, si bapak diibaratkan seorang supir bus yang membawa seluruh penumpang, jika supir ugal-ugalan, penumpang gusar, takut busnya tak sampai tujuan, dengan arti malah celaka dan masuk jurang. Ada yang memikirkan neraka saat shalat, seperti Bahtiar yang takut si bapak malah membawa makmumnya ke arah shalat yang lalai.

***

Di musholah itu jamaahnya memang tidak tentu, jamaahnya pun tidak pernah lebih dari lima atau enam orang saja, dan karena memang musholah tersebut terletak di wilayah mayoritas penduduk rantauan, jadi siapa saja yang datang ke musholah, dianggap sebagai orang kontrakan baru. Sekalipun agak tampil borju atau ke-arab-araban.

Begitulah anggapan para makmum terhadap si bapak yang belum sempat berkenalan terlebih dahulu tentang, siapa namanya? dari mana? kerja apa? dimana kontrakannya?

Singkatnya shalat pun selesai, sebagaimana sejarah musholah tersebut, adalah peninggalan seorang ustadz salaf. Jadi selesai salam, berbarengan dengan makmum, imam dibudayakan mengeraskan dzikirnya hingga doa bersama.

Mang Sarip sang santri, Faruqi anggota Ormas, Delani guru Biologi, Tahtah kondaktur metro mini Syariah, dan Bahtiar anggota Partai Politik Islam, semua menganggap setelah selesai shalat, si bapak akan diam dan tidak mengeraskan dzikir sebagaimana yang telah biasa didawamkan di musholah itu. Karena berdasarkan caranya shalat pun terlihat kemampuan si bapak dalam melaksanakan ibadah, jangankan dzikir, shalat pada umumnya saja terlihat seperti seorang mualaf.

Awalnya anggapan mereka benar, namun setelah si bapak melewati lantunan Istighfar sebanyak tujuh kali, keadaan berbalik arah, dimana para jamaah merasakan lantunan kalimat Tasbih, Tahmid, Takbir dan Tahlil terdengar begitu merdu, sampai-sampai si Delani yang biasanya pulang selepas salam, tumben pada saat itu seperti ada akar pada pantatnya menahan ia untuk meninggalkan dzikir bersama si bapak.

Tidak ada rasa curiga sedikitpun yang muncul dalam benak para jamaah tersebut. Si bapak terus menerus menghajar jamaah dengan kalimat-kalimat tauhid yang menusuk dan menyingkap tabir kerinduan. Rasanya suara si bapak bukanlah lagi gelombang udara semata bahkan hanya secoret tinta pada buku-buku dzikir yasinan.

Tanpa terkecuali semua makmum tertunduk, memejamkan mata saking dzikir itu baru kali ini selama hidup mereka memenuhi makna dan arti dari sekedar ucapan Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar dan Laa Ilaaha Illallah.

Dzikir yang mereka dengar seperti nada lantunan kalimat Subhanallah memberikan arti sebagaimana harfiahnya bahwa Maha Suci Allah, suci dari segala apapun bahkan yang menurut manusia suci untuk Allah, belum tentu kesucian Allah sesederhana pandangan manusia, hanya yang jelas Allah suci tanpa ada noda sedikit pun bahkan dari prasangka manusia. Lafadz Alhamdulillah yang didawamkan si bapak seakan mengajak jamaah untuk merefleksikan diri betapa puji-pujian mereka bukanlah benar-benar untuk Allah, melainkan untuk yang lain meski sembari memuji Allah. Kemudian ucapan Allahu Akbar merupakan dzikir pengingat bahwa Allah lebih besar dari segala apa pun yang manusia anggap besar. Sejatinya pun kalimat Allahu Akbar tidak bisa merepresentasikan kebesaran Allah saking besarnya Ia yang tidak akan terukur. Dan kalimat Laa Ilaha Illallah merupakan ikrar yang sering manusia khianati, si bapak dalam dzikirnya mencoba mengembalikan keutuhan makna Tahlil menjadi tegas bahwa betul-betul Tuhan itu hanya Allah baik disadari atau tanpa disadari.

Begitulah kira-kira apa yang dirasakan jamaah dzikir malam itu, mereka tak sempat jika harus membagi pikiran untuk berprasangka atau bertanya-tanya siapakah orang ini, dari mana ia, mengapa dzikirnya begitu indah, mereka hanya bisa satu hal, menangisi diri sendiri akan kekhilafan yang pernah dilakukan selama hidup, dengan mengingat dan terus mengingat Allah saat itu rasanya jamaah dzikir tidak ingin lagi kembali bertemu dunia dan kehidupan yang penuh sandiwara dan senda-gurau.

Sampai doa terakhir “Subhana robbika robbil izzati ‘amma yasifuun wassalamun alal mursalin Walhamdulillahi robbil ‘alamin. Alfatihah ~ ”

Selepas Al-Fatihah hal yang biasa makmum dengan makmum, imam dengan makmum lakukan ialah mushafahah atau salam-salaman.

Namun karena dampak dari mengikuti dzikir dan mendengar suara si bapak, membuat pandangan belum stabil, kepala masih tertunduk, dan selagi suaranya masih ada, tak ada yang mampu melepas mata untuk terbuka dan memikirkan apa pun kecuali Allah.

Pada saat mereka tidak lagi mendengar suara si bapak, atau dalam arti lain dzikir dan doanya selesai. Saat mereka mulai saling melantunkan shalawat pengantar salam-salaman “Sholallah ‘ala Muhammad sholallah alaihi wasalam …” semua mulai membuka mata sambil menyodorkan tangannya ke depan mimbar imam.

Tapi jangankan jasad, bayangan pun lenyap hilang tak terlihat walau hanya sekelebat. Saling toleh-menoleh diantara mereka sambil merasa keheranan dan menitihkan air mata.

Dan hanya ada satu yang tersisa di depan dinding mimbar itu, ialah lukisan lafadz Allah yang sudah berdebu, namun baru mereka sadari keberadaan-Nya. Padahal lukisan itu sudah ada sebelum musholah dibangun.

Semuanya bergegas keluar musholah dengan niat mencari si bapak, sambil mengangkat ujung bawah sarung mereka berlarian, berpencar, dan diantara mereka tidak ada satupun yang menemukannya. Hanya ada si Udin dan Rohmat anak-anak kecil yang juga ikut shalat tadi sedang kejar-kejaran bermain kucing tangkap di depan musholah.

Din, liat bapak-bapak tadi yang jadi imam gak?” tanya Delani dengan nada serius

Tadi udah keluar bang, sama kita bareng, saya aja dikasih peci si Rohmat dikasih tasbeh. Tadi si babeh bilang abang-abang kalo dzikir jangan pada tidur. Jadi gak dikasih apa-apa.” Jawab Udin dengan polos sambil pamer peci barunya.

Yang bener din?” tegas Faruqi ketakutan

Terserah dah kalo gak percaya mah.” Tanggap Udin dengan mengangkat kedua bahunya

Selang kemudian terdengar teriakan

Udin pulang, udah malem.” Teriak mamah udin dari dalam kontrakan

Mereka akhirnya menyerah dan terlihat saling bersalaman untuk yang kedua kalinya, saling memaafkan terlihat dalam tingkah laku mereka pada saat sebelum pergi ke kontrakannya masing-masing. Suara sendal yang terdengar beradu dengan tanah mengiringi langkah pilu mereka selama ini, telah hidup di dalam lingkaran fana yang mereka anggap sebagai kebenaran padahal hakikatnya hawa nafsu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.