Panggung Penjual Hape

cermin-breakpos.com

Sudah lebih dari tiga hari handphone saya tewas. Itu dikarenakan saya menerobos hujan yang menghantam saya tanpa tedeng aling-aling. Walhasil, handphone yang ada di saku saya itu terendam seperti Dayeuhkolot di Kabupaten Bandung. Kalau kata Al-Bandani, itu tidak lain adalah karma atas perbuatan saya di kehidupan sebelumnya. Belakangan saya agak percaya dengan yang dia katakan. Sedikit berbagi pengalaman saja, ternyata hidup tanpa handphone itu ada asyiknya juga; saya tidak perlu buru-buru membalas WA orang, saya tidak terus menundukkan kepala, dan ternyata, tanpa hape, saya lebih mudah mengobrol dengan orang lain. Seperti pagi tadi.

Setelah tiga hari tanpa hape itu, saya memutuskan untuk segera membetulkannya karena ada urusan yang membuat saya harus rutin berkomunikasi. Pergilah pagi tadi saya ke Dukomsel, gerai servicenya memang ada di sana, letaknya ada di Jalan Djuanda jika ada yang belum tahu. Sesampainya di sana, tempat servicenya belum buka, duh alangkah kerajinannya saya, padahal waktu yang berharga ini bisa saya gunakan untuk bermain dengan kucing saya, si Minho.

Namun, tentu karena telat itulah, tukang kopi di pinggir jalan jadi bermanfaat hidupnya. Saya pun duduk di sana dan memesan kopi susu, kemudian membuka buku “Gelandangan di Kampung Sendiri” karya Emha Ainun Nadjib. Karena bagi manusia era industri seperti saya ini, waktu luang telah menjadi milik hape, saya sendiri merasa agak janggal ketika membawa buku untuk saya baca jikalau ada waktu seperti ini. Terlebih lagi, saat itu saya berada di tukang kopi di pinggir jalan, pemandangan yang sangat aneh.

Di samping saya duduk seorang perempuan bertubuh agak mungil, saya perkirakan umurnya sekitar sembilan belas tahun. Tangan kirinya mengotak-atik hape, tangan kanannya mengapit rokok yang baru saja ia nyalakan. Kami berdua tidak berbicara, kami berdua tidak saling menyapa, itu bukan karena kami sedang marahan, tapi tentu saja karena kami tidak kenal. Ketika hape saya menyala, tentu saya tidak ambil pusing, dan lebih baik memandangi hape saya daripada orang di sekitar saya.

Namun entah kenapa, karena saat itu saya tidak punya hape naluri iseng saya tumbuh begitu saja.

“Jam berapa ya teh?” saya tanya kepada dia.

“Jam setengah sepuluh Pak.” Jawab dia.

Ya ampun, saya lupa mencukur janggut dan kumis! Itulah alasan mengapa saya yang tidak berdosa pada dia itu dianggap bapak-bapak. Padahal sejatinya saya adalah pemuda yang sedang menghadapi quarter-life crisis. Apakah ini karma?

Tapi tidak masalah, toh dia juga memang masih kecil, kalau saya ngajar anak SMA pun akan disebut bapak-bapak.

“Saya mau service hape, tahu gak biasanya buka jam berapa?”

“Bukanya jam sepuluh pak,” jawab dia.

“Kerja di sini?” tebak saya.

“Iya, shift pagi pak,”

“Oiya? Sampai jam berapa itu?”

“Sampe jam tujuh pak.”

Oke jadi informasi pertama, dia kerja sekitar delapan sampai sembilan jam sehari.

“Sudah lama kerja di sini?”

“Lumayan pak, dua tahunan.”

“Bagaimana gajinya? Oke?” saya cukup kepo yang menjurus kurang ajar.

“Hmmmm…..” dia mikir sedikit. “Ya bukannya kurang bersyukur sih ya pak, tapi ya buat saya dapet tiga juta itu ternyata gak cukup pak, ga bisa nabung.” Jawab dia.

Informasi ke dua, ternyata kerja di salah satu konter hape semacam ini gajinya tiga juta-an. Tapi dia bilang tidak cukup. Nampaknya dia belum kenal para papa muda yang jadi guru honorer dengan anak dua di rumah yang gajinya lebih kecil dari dia. Maka dari itu, saya bertanya-tanya seperti apa gaya hidupnya, bahkan belakangan saya ketahui dia tidak ngekos, dan tinggal di rumah keluarganya.

“Ya lumayan sih itu, seengganya bisa terpenuhi lah kebutuhan.” Saya bilang.

“Iya sih, cuma ya itu sih pak…”

Hening sejenak, saya menyeruput kopi hangat saya.

“Bapak sendiri, kerja di mana?”

“Oh saya bisnis.” Saya bilang, santai.

“Bisnis apa pak?”

“Sayuran organik.” Kata saya singkat, tentunya saya berbohong. Semua itu saya lakukan karena toh besok juga tidak ketemu dia lagi, tadinya mau bilang saya artis, tapi khawatir dia ga percaya.

“Kalau saya sebetulnya lebih ingin ke seni sih pak kerjanya.”

“Oiya, seni apa memangnya? Lukis?” tanya saya.

“Saya lebih ke nari sih pak.”

Wow, nona muda, seharusnya kamu berada di panggung bermandikan lampu hias, bukan menawari hape pada orang-orang.

“Kenapa ga belajar nari saja kalau begitu?”

“Ya susah sih pak, memang ada komunitas atau sanggar, tapi saya juga kan perlu buat kebutuhan sehari-hari. Ya jadinya begini lah…”

“Oh begitu, kalau kamu masih muda, lebih baik tetap kejar saja itu keinginan untuk jadi penari, toh masih banyak waktu untuk berkembang. Kamu juga ga akan selamanya kerja di sini kan?” saya bilang.

“Iya, pak, tapi gatau lah…ini juga saya umur udah mau 24.”

Wow, ternyata dia bukan 19 tahun. Saya rasa ini waktunya mundur sebelum terbongkar identitas saya. “Oh tokonya sudah buka, saya duluan ya…” kata saya.

“Iya pak, hati-hati.”

Gadis (yang badannya) kecil itu hanya salah satu dari jutaan anak muda Indonesia yang masih mencari jalan hidupnya. Sekaligus pelajaran juga, bahwa di Indonesia, punya passion saja tidak cukup untuk mewujudkan impian. Banyak tikungan, tanjakan, putaran yang perlu dihadapi untuk hidup sesuai keinginan kita.

Hidup memang perlu makan, tapi kita juga perlu menari, menyanyi, dan hujan-hujanan. Si gadis kecil yang bermimpi bisa menari itu sekarang mungkin belum bisa. Tapi saya selalu mendoakan, kepada setiap orang yang punya rasa cinta terhadap apa yang dilakukannya, agar selalu menemukan jalannya suatu hari nanti. Jangan pernah memadamkan impian seperti itu, atau suatu saat ia akan kembali dalam bentuk yang lain, yaitu penyesalan.

God Speed us.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.