Pena Cinta Dalam Diam

pena-cinta-breakpos.com

Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menyembunyikan perasaan. Apalagi perasaan itu semakin mekar setiap harinya. Aku yang hanya bisa tersenyum setiap kali mendengar berita baik tentangmu. Salah satunya saat kau menjadi juara satu Olimpiade Sains Nasional.

Jujur saja, aku telah menyiapkan sebuah ucapan selamat yang sengaja ku tulis sendiri dalam sebuah kertas. Aku menulisnya karena aku tidak pernah memiliki keberanian untuk mengucapkannya langsung padamu. Entah kenapa aku senang saja melakukan hal konyol ini walaupun pada akhirnya kamu tidak akan pernah tahu. Kalau saja kamu tau mungkin kamu akan tertawa terbahak-bahak. Tapi dengan begini aku seperti berdialog secara langsung denganmu. Lalu aku membayangkan kamu membalas setiap surat yang aku buat. Kemudian aku tersenyum dalam hening.

***

Perkenalkan namaku Annisa Salma Afifah. Nama akrabku Ifa. Ibuku menamaiku dengan nama yang sangat baik. Annisa yang berarti perempuan, Salma yang berarti perempuan cantik, dan Afifah yang berarti selalu mensucikan diri. Jadi kira-kira kalau digabung namaku memiliki arti perempuan cantik yang selalu mensucikan diri. Sungguh indah bukan? Terimakasih, bu.

Aku adalah anak perempuan satu-satunya milik ayah dan ibu. Kak Kemal telah menyelesaikan program strata satunya setahun lalu. Sekarang dia bekerja sebagai teknisi mesin di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Kak Kemal adalah seorang desain engineer.

Aku termasuk anak yang manja. Maklum, mungkin naluriku sebagai anak bungsu muncul. Ayah ibu adalah tempat aku berbagi kisah di sekolah. Kak Kemal adalah tempat aku merengek saat aku dijahili oleh teman semasa SD. Kak kemal selalu sabar menghadapi sifatku yang cengeng. Dia selalu bisa membuatku tertawa kembali saat aku menangis. Dia selalu punya banyak cara untuk menghentikan tangisanku yang menghabiskan waktu hingga berjam-jam. Di antara caranya adalah dengan membelikan aku es krim, mengajakku jalan-jalan sore ke taman, atau mengajakku nonton film baru ke bioskop.

Terkadang ayah dan ibu saja tidak mempan menghentikan tangisanku. Hebat kan kakakku ini? Dia adalah sosok yang cerdas dan pemberani. Entah bagaimana ayah dan ibu mendidiknya. Aku teringat saat kak Kemal wisuda. Aku, ibu, dan ayah sempat menghadiri acara wisuda kakak. Aku baru teringat saat itu nama kak Kemal dipanggil lalu tidak lama kak Kemal berbicara di atas podium dengan penuh semangat. Aku melihat ibu menangis penuh haru, ayah bertepuk tangan penuh rasa bangga. Aku baru mengerti sekarang bahwa saat itu kak Kemal adalah lulusan terbaik di kampusnya.

Aku sekarang duduk di bangku SMA kelas dua belas IPA. Aku sekolah di SMA yang cukup bergengsi dan terfavorit di kota Bandung. Saat ini aku sedang sibuk mempersiapkan Ujian Nasional dan persiapan masuk perguruan tinggi. Aku ingin seperti kak Kemal. Ingin sukses di bidang akademik dan membanggakan ayah dan ibu.

Tidak dapat dipungkiri, saat ingat kak Kemal aku selalu menangis. Aku sangat merindukan kehadirannya yang sejak tiga bulan terakhir ini belum sempat pulang ke rumah. Mungkin karena sibuk. Aku selalu iseng mengirim surat pada kak Kemal. Bertanya kabar dan bertanya sudah punya calon pendamping atau belum. Kak Kemal selalu membalas suratku. Meskipun kami sama-sama mempunyai alat komunikasi yang sudah canggih, tapi berkirim surat masih kami lakukan.

Menurutku berkirim surat secara manual lebih dapat atmosfernya ketimbang surat elektronik. Kak Kemal menyetujui pendapatku tersebut. Karena melalui surat manual aku bisa melihat tulisan tangan kak Kemal secara langsung dan merasakan kehadirannya. Kadang kami menggunakan skype untuk mengobrol.

Selain ayah, ibu, dan kak Kemal, aku mempunyai sosok yang sejak lama dikagumi dan menurutku penting. Seseorang yang selalu menjadi juara sejak SMP. Saingan terberat ketika kami satu kelas. Bayangkan, aku hanya berhasil satu kali merebut posisinya di juara pertama ketika kelas dua SMP. Selebihnya aku yang ada di posisi kedua. Bagiku dia adalah salah satu inspirator terbaik di sekolah. Dia selalu bisa membuatku semangat belajar agar aku tidak kalah bersaing.

Namanya Radit. Semangatnya dalam belajar menular kepadaku. Ia pantang menyerah meskipun tampil apa adanya. Aku tahu sejak lama dia memang berasal dari keluarga yang kurang cukup. Bahkan aku ingat saat itu dia pernah tidak masuk sekolah selama satu bulan hanya untuk bekerja demi bisa membeli obat dan merawat ibunya. Saat itu ibunya mengalami sakit serius pada bagian pernapasan. Aku menangis saat kami beserta wali kelas menjenguknya. Hal-hal itulah yang membuatku kagum padanya.

Sejak masuk SMA, aku tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya di sekolah yang sama.  Karena aku sempat mendengar kabar bahwa dia tidak akan meneruskan sekolahnya karena biaya. Namun kata Indah, sahabatku, dia mendapat beasiswa penuh dari Pemerintah Kota Bandung berkat prestasi-prestasinya selama di SMP. Aku jadi semakin bangga saat itu.

Aku pernah bercerita pada ibu tentang Radit. Tentang kebaikan hatinya, tentang baktinya pada orang tua, tentang kesederhanaannya, termasuk tentang perasaanku pada Radit.

Bu, apa salah kalau saat ini aku mulai menyukai lawan jenis? Dulu aku memang sebal dengan yang namanya laki-laki karena bisanya hanya menggoda perempuan. Tapi Radit lain bu.” Ifa menceritakan segala apa yang dirasakannya terhadap Radit. Kepalanya bersandar di bahu ibunya.

Nak, rasa suka itu memang akan tumbuh pada diri setiap manusia. Terutama pada masamu. Rasa suka itu wajar, sayang.” Jelas ibunya sambil membelai lembut.

Tapi bu, Ifa ingin memberanikan diri untuk sekadar mengobrol dengan Radit, meskipun hanya membahas pelajaran. Tapi selama tiga tahun ini Ifa tidak berani. Padahal Radit adalah anak organisator di sekolah dan orang-orang telah mengenalnya. Sedangkan Ifa teman dari SMP, belum pernah sama sekali saling bertegur sapa.” Kali ini nadanya lebih tinggi.

Putri cantikku, berteman boleh dengan siapa saja. Kita tidak boleh membedakan teman. Putri ibu harus berbuat baik kepada siapapun. Namun jika kamu tidak berani dan takut perasaanmu diketahui, sebaiknya kamu pandai menjaga tingkah laku dan perasaanmu, Nak. Suka boleh saja, tapi mengungkapkan belum saatnya.

Saat itu aku benar-benar nyaman bisa curhat dengan ibu. Setidaknya aku tahu apa yang harus aku lakukan. Meski aku harus menikam hatiku setiap kali bayangan Radit muncul. Aku harus selalu ingat pesan ibu.

***

Ujian Nasional hanya tinggal dua bulan lagi. Aku harus fokus dan belajar semaksimal mungkin. Apalagi ibu telah mengeluarkan biaya agar aku mengikuti belajar tambahan di tempat bimbingan belajar.

Sudah tiga bulan ini aku sibuk dengan urusanku. Aku belum mengetahui kabar Radit sekarang. Waktu banyak ku habiskan di kelas dan di tempat bimbel. Aku dan Radit berbeda kelas. Jadi tidak setiap saat dapat melihatnya.

Hari ini, pukul tiga sore aku ditunggu di ruangan Pak Saiful, guru matematika di kelas kami, untuk mengumpulkan tugas pada modul. Terpaksa aku harus menghubungi teman-teman karena sebagian sudah pulang. Hari itu sekolah hanya sampai pukul 13.00 WIB.

Aku duduk menunggu di bangku depan ruang kelas sambil menghubungi teman-teman. Tiba-tiba suara tidak asing membuyarkan kepanikanku. Aku tahu suara itu. Namun aku harus memberanikan diri sepenuhnya untuk memastikan siapa pemilik suara tersebut.

Ehm, sedang apa, Fa?

E.. eh, Radit. Sedang menghubungi teman-teman buat ngumpulin modul. Kamu kok belum pulang?” Entah mengapa saat itu aku begitu lancar menjawab pertanyaan Radit.

Saya sedang menunggu dipanggil oleh Pak Farid.

Aku terdiam, lalu … “Pak Farid? Maaf, kamu ada masalah?” Tanyaku heran, karena Pak Farid adalah guru BK di sekolah.

Hehe, bukan. Maksud saya menunggu hasil keputusan. Jadi, kemarin saya direkomendasikan oleh Pak Farid untuk daftar ke Universitas Brawijaya. Lewat jalur undangan. Daftarnya harus dari sekarang.” Jawab Radit.

Oh, begitu dit.” Entah kenapa saat itu aku menjawab cukup singkat, perasaanku tak karuan antara malu yang tersembunyi dan semakin kagum.

Seketika terdengar suara keras memanggil Radit dari pintu ruang guru. Kebetulan ruang kelasku berdekatan dengan ruangan tersebut. Rupanya panggilan tersebut berasal dari Pak Farid, segeralah Radit menemui Beliau dan sebelum itu satu kalimat terakhir yang ia ucapkan padaku “Duluan ya Fa, tetap semangat ngumpulin tugas modulnya, hehe” Sambil tersenyum manis yang meluluhlantahkan setiap kaum hawa yang melihatnya.

Sontak saat itu hatiku semakin berdetak kencang. Wajah dan fisik tak karuan untuk dilihat karena semakin salah tingkahnya aku saat itu. Namun aku coba menutupinya dengan mengarahkan bola mataku pada handphone dan pura-pura tak begitu serius memperhatikkan Radit. Dengan senyuman tanda bahagia aku segera meninggalkan tempat bersejarahku saat itu untuk menemui teman-temanku mengumpulkan tugas modul.

Itulah bayangan terakhir aku pertama kali bertegur sapa dengan Radit, selebihnya aku tak lagi bertemu dengannya. Hingga 6 bulan berjalan tak ada kabar dan obrolan antara aku dan Radit. Aku sibuk dengan urusanku, begitu pula Radit.

***

Tiba saatnya aku berstatus mahasiswi. Saat itu aku sedang menimba ilmu di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Entah kenapa aku bisa memilih jurusan tersebut, namun yang jelas sejak saat itu jiwa menulis pun tumbuh kembali di dalam hatiku.

Dalam suatu kesempatan, aku menghadiri suatu event Book Fair. Aku sangat bahagia bisa menikmatinya, kebetulan sejak pertama kuliah aku kembali berobsesi untuk menulis, setelah sebelumnya obsesi tersebut sempat hilang karena rasa malas. Entah apa yang terjadi padaku saat itu, ketika aku menjelajahi tulisan demi tulisan teringat kembali dalam bayanganku akan sosok Radit dengan senyuman manisnya beberapa waktu silam. Saat itu aku berjalan dalam lamunan, hingga tak sadar aku telah menabrak seseorang.

Seketika itu aku terperanjat kaget dan kesadaranku terawali oleh sosok lelaki yang aku lihat sedang membereskan buku-bukunya yang jatuh di hadapanku. Aku melihatnya dengan seksama, dan ketika dia berdiri aku merasa ada dalam mimpi rasa tak percaya. Aku menampar jiwaku sendiri akan kebenaran apa yang telah ku lihat saat itu. Bayangan akan sosok masa lalu yang tersimpan rapi dalam ingatan hati dan pikiranku, nyatanya buyar ketika aku benar-benar menyaksikan kenyataan bayanganku di hadapanku sendiri.

Assalamu’alaikum Ifa, masih ingat denganku?” sapa Radit dengan senyuman manisnya. Dalam rasa tak percaya aku berdiam diri sejenak, kemudian segera tersadar dan berkata “Wa’alaikumsalam dit, tentunya aku ingat.” sambil tersenyum bola mataku tak berhenti melihat ke arahnya.

Setelah beberapa menit aku pun segera tertunduk malu, dan diam kembali tanpa kata. Entah apa yang akan aku ucapkan kembali padanya. Aku hanya memikirkan saat itu adalah pertemuan keduaku dengannya dan membingungkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ifa, kau sedang apa disini?” Sapaan Radit selanjutnya yang redaksinya sama persis dengan pertemuan pertamaku dengannya dahulu. “E.. Euh sedang lihat-lihat buku aja dit.” Jawabku. “Kamu suka menulis ya?” Tanya Radit kembali. “I.. iya dit. Kamu sendiri sedang apa disini? Kenapa kamu bisa tahu?” Jawaban balikku dan pertanyaan kembali dalam benakku padanya secara sontak dan lancar.

Dia pun tertawa lebar dengan puasnya. Aku tak mengerti keadaan itu, yang jelas aku cukup bahagia dengan melihatnya juga bahagia. Saat itu aku terlihat seperti orang kebingungan.

Sama, orang yang suka baca setidaknya akan meningkat tali ketaatan untuk menulisnya Fa.” Jawab Radit. Sejak saat itu aku semakin giat menulis, hal apapun dari mulai cerita pendek, karangan non fiksi hingga lanjutan goresan pena yang aku ukir sejak dulu tentangnya kulakukan kembali.

Tak disangka pertemuan kedua sebelumnya melahirkan pertemuan-pertemuan selanjutnya antara diriku dan Radit. Sejak saat itu seolah kami tak dibatasi lagi oleh rasa kaku dalam bertegur sapa. Bahasan utama antara aku dengannya adalah dunia menulis. Sehingga dari hari ke hari tak pernah habisnya kami bercerita. Kekakuanku pun mulai hilang sedikit demi sedikit.

Aku menceritakan semua kisah ini pada ibuku. Ibuku sungguh senang mendengarnya. Ia berharap kisah ini tak berhenti dan menghasilkan akhir yang indah. Maklum saja, ibuku kini telah mengizinkanku memilih pasangan. “Mungkin dia jodohmu Fa, kalian bertemu tanpa sangkaan kan?” ucap Ibu dalam candaannya. Saat mendengarnya, pipiku tiba-tiba memerah tanda malu. Saat itu aku segera mengalihkan pembicaraan supaya ibu tak mengorek perasaanku lebih dalam. “Aku belum siap bu.” ucap hatiku.

Tiga tahun berjalan, ucapan ibu masih terbayang-bayang dalam benak-ku. Aku hanya berusaha jadikan harapan ibu sebagai do’a. Tak tau kenapa sejak pertemuan kedua itu aku semakin giat dalam melakukan kebaikan. Meskipun ibuku telah memberi ridhonya untukku namun saat itu aku masih belum sanggup untuk mengutarakan perasaanku padanya.

Aku coba kendalikan luapan perasaan yang entah apa namanya dalam do’a. Selalu seperti itu. Kak Kemal pun demikian, ia terus mendesakku untuk mengutarakannya, namun aku gigih untuk tetap diam. Perasaan itu aku simpan baik-baik dalam hati yang suci, aku yakin kalau jodoh tak akan lari kemana. Pribadiku saja yang ku usahakan untuk bisa mencapai kepantasan.

Hubunganku saat itu bersama Radit masih sama sebagai teman yang mempunyai hobi dalam menulis. Tak ada yang spesial, waktu demi waktu berjalan seperti biasanya. Pertemuan kami hanya dibatasi dengan bahasan dunia menulis saja. Meskipun dalam hatiku aku sangat mengaguminya, namun aku berusaha tak mengharapkan apapun lebih darinya, karena aku mengerti akan diri dan kelihatannya dia pun berperasaan biasa saja padaku. Aku hiraukan saja.

***

Tepat pukul 2 siang pada hari Jum’at di tahun ke 4 masa studiku di kampus yang akan segera berakhir aku diundang Radit untuk mengikuti suatu event. Pikirku saat itu adalah seperti biasanya pasti dia akan mengajakku berpartisipasi dalam kegiatan menulis kembali. Maklum sebelum-sebelumnya pun demikian.

Fa, aku tunggu ya segera!” ucap Radit dalam telepon. Ada yang beda sejak saat itu, Radit tak biasanya menyuruhku datang cepat. Namun ku hiraukan perasaan itu. Aku pun segera menemuinya di event Book Fair di salah satu tempat bergengsi di Kota Bandung.

Saat aku datang, tempat dan suasana seperti biasanya ramai dikunjungi banyak orang. Perasaanku saat itu pun biasa pula, tak terpikirkan akan terjadi sesuatu yang spesial. Sampai akhirnya aku melihat di atas panggung ada sebuah tempat yang begitu romantis. Aku hanya diam mengagumi tempat itu. “Assalamu’alaikum, Ifa.” sapaan Radit seperti biasanya. Aku pun terperanjat dari lamunan. Aku pun menjawab salamnya sambil terkaget karena Radit saat itu berpakaian sangat rapi berbalut jas. Namun aku tetap diam.

Seketika ruangan hening, dan dalam keheningan Radit mengeluarkan sesuatu di balik jasnya. “Cincin ini tandaku melamarmu Ifa, apakah kau mau menikah denganku?” Ucap Radit. Sontak hatiku terkaget tak karuan, dalam suasana hening aku tak pernah menyangka ia akan melamarku saat itu. Aku hanya berpikir apakah dia tak salah orang saat melamar? Maklumlah pikiran akan sosok Radit yang melamar seorang Ifa untuk menikah adalah sesuatu yang dirasa mustahil bagi diri Ifa.

Seketika itu Ifa hanya mampu meneteskan air mata tanda syukur dalam kebingungan. Namun semua itu menjadi jelas ketika Radit mengatakan “Mungkin kau merasa ini aneh dan tak disangka, aku pun tak memaksamu untuk menerimaku. Namun yang jelas aku sudah mengagumimu pula sejak dahulu pertemuan pertama kita di SMA dan kesiapanku untuk meminangmu semakin mantap ketika ternyata kita pun mempunyai hobi yang sama. Aku mengikatmu dalam tulisanku, Fa.” Semakin aku tak percaya akan kejadian saat itu. Namun akhirnya aku segera beranikan diriku untuk mengucapkan apa yang selama ini aku ingin ungkapkan pada Radit. Dalam ucapan “Demikian pula aku dit.” dengan sipuan malu dalam senyuman menakdirkanku kini hidup bersamanya.

Tulisan, iya inilah langkah aku hidup bersamanya. Goresan penaku dalam diam selama ini nyatanya mengantarkanku menggapai cinta sejati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.