Perempuan-ku

ibu-breakpos

Hari ini, sepekan yang lalu. Saat sang surya seperti anak kecil yang merengek meminta Tuhan mengabulkan keinginannya menyapa bumi. Padahal masih dua jam lagi itu bisa terjadi. Bahkan Tuhan pun kewalahan akan hal itu. Sang surya berhamburan pada buku gambar Tuhan. Maksudku ‘langit Tuhan’. Indah sekali memang. Cukup puitis saat aku sebentar lagi akan pergi meninggalkan kampung halaman menuju kota tempat aku kuliah disana. Bandung.

Aku melangkah menyusuri selasar bangunan kecil nan penuh kehangatan. Benar sekali, tempatku dibesarkan di tengah keluarga yang humoris dan menyenangkan. Bahkan kesedihan mampu terhitung di dalam bangunan itu.

Aku menuju seonggok taman di samping bangunan kecil itu. Ku petik beberapa mawar disana. Benar sekali, mawar itu milik ibuku. Langit cukup terang karena surya cukup tertawa puas akan keinginannya menyapa bumi dikabulkan Tuhan. Macam anak yang merengek dibelikan permen oleh ibunya padahal giginya sudah bolong-bolong digerogoti kuman-kuman kecil namun kuat.

Setelah ku petik beberapa tangkai mawar itu, aku membawanya kembali masuk pada bangunan kecil itu. Aku memotong satu per satu daunnya hingga hampir habis. Hanya ku sisakan satu sampai dua daun yang begitu dekat dengan sang mahkotanya.

“Untuk apa?” Tiba-tiba aku terkejut dan lekas mencari dari mana asal suara itu. Ternyata ibu-ku

“Untuk pesugihan di kamarku, mah”.

Jawabku dengan harapan ibuku akan tertawa mendengarnya. Dan kau tahu? Itu berhasil. Membuat ibuku menyunggingkan kedua sisi bibirnya, menurunkan satu alisnya, kemudian tertawa lepas. Dan Tuhan, aku sangat suka ekspresi itu. Macam danau penuh dengan air segar. Sangat dalam, tapi aku dapat berenang dan menyelam sesuka-ku disana. Menyenangkan sekali. Dan rasanya aku ingin berlama-lama disana.

“Ah, paling kau bawa mawar-mawar itu untuk ngobatin rasa kangenmu ke ummah.”

Aargh, aku tau kalimat dan tatapan itu. Dia memang seperti itu selalu menggodaku dan membuatku kalah akan apa yang dikatakan perempuan itu. Maaf ada hal yang terlewat, aku memanggil ibuku dengan sebutan ‘Ummah’ sejuk sekali bukan? Ah, mungkin hanya aku yang bisa merasakannya.

Dia kembali tertawa, memperlihatkan kemenangannya. Sementara aku memperlihatkan ekspresi cemberut macam anak kecil yang telah kalah saat perlombaan sepeda bersama teman sepermainannya, dan pulang tanpa membawa hadiah tadi sore. Aku cemberut karena ibuku benar sekali dengan apa yang dikatakannya padaku. Aku kalah dan malu. Macam anak yang tertangkap basah saat mencuri coklat di toko china seberang rumah ibuku. Hei! Jangan salah paham! Itu hanya sebuah perumpamaan. Aku benar-benar tidak melakukannya. Percayalah!

Aku tersenyum. Dan senyumku juga belum sepenuhnya habis. Aku mendekatinya dan berkata “Cepat sembuh ya bu.”

***

Sore itu, hari kemarin. Aku ter-enyak, aku terbangun kaget dan lekas menyambar telepon genggamku di ujung meja belajarku. Ku lihat layar telepon itu dengan serius. tujuh panggilan tak terjawab dari ayahku. Tanpa pikir panjang, aku meneleponnya balik.

Tuuut tuuuuut. Tanda sambungan telepon itu lama-lama memekikkan telingaku. Tidak ada jawaban segera. Bahkan aku sampai menghitungnya, mungkin sampai delapan kali bunyi itu masih saja setia di telingaku.

“Halo, Assalamu’alaikum” Akhirnya suara ayahku terdengar juga setelah sekian lama aku tunggu.

“Wa’alaykumussalam, ada apa bah?” aku menjawab

‘Abah’ sebutan romantisku untuk seorang ayah. Hei sudahlah kita lanjutkan saja.

“Ibumu sakit lagi, dari Garut, dia sedang  menuju Bandung dengan ayahmu saat ini.”

Plak..! rasanya seperti tertampar. Entah apa yang menamparku. Mungkin semacam perasaan-perasaan khawatir, takut, dan apapun itu yang dengan senang hati mereka singgah satu per satu tanpa aku minta.

“Lalu aku harus bagaimana?”. Ucapku yang terpatah-patah karena gentar sekali mendengar apa yang di katakan ayahku satu menit yang lalu.

“Tenang, sekarang bersiaplah. Pergi ke kota, carikan dokter yang bagus untuk ibumu. Daftarkan dia terlebih dahulu, dapatkan nomer urutnya, dan tunggulah ibu dan ayahmu sampai disana.”

Maklumlah, tempat tinggalku masih terbilang desa. Tapi percayalah, tempat tinggalku lumayan indah untuk orang-orang bersinggah.

Tanpa pikir panjang, aku matikan telepon itu, aku lekas menyambar sebuah kerudung dan jaket yang tergantung di sudut tempat tidurku. Aku berlari ke kota, tentu saja bukan dengan beralaskan sandal atau sepatu bermerk yang terpenjara di kaca-kaca pemilik toko ternama. Melainkan dengan benda yang dinamakan manusia sebagai transportasi. Apapun itu bentuknya.

Akhirnya aku sampai di kota. Kucarikan satu sampai tiga tempat berobat disana. Tidak ada yang cocok. Namun mataku tertuju pada satu papan semacam informasi.’ Dr. Zefry, Spesialis penyakit dalam’. Senangnya bukan main, setengah ingin melompat pada kerumunan banyak orang disekitar papan itu. Namun segera perasaan itu hilang saat keseluruhan dari papan informasi itu selesai ku baca. ‘Buka senin-jumat 08.00-19.00’

Sial ! ini hari sabtu. Dan tepatnya pukul 17.00 aku mengutuk diriku sendiri. kularikan lagi benda beroda itu dan mulai kembali mencari belas kasihan Tuhan. Dan akhirnya aku menemukannya. Memang bukan dokter spesialis, melainkan umum. Namun ibuku bergantung pada dokter umum itu.

Setelah mendaftar dan menunggu kiranya dua jam. Akhirnya ibu dan ayahku muncul dari sebuah benda beroda empat. Dan aku lekas menyambut mereka berdua dan membawa ibuku duduk pada sebuah kursi yang kurang nyaman sebenarnya untuk di duduki. Menunggu antrian, memuakkan, rasanya ingin berteriak dan menerobos antrian itu seketika, saat aku mulai melihat ibuku terkulai lemas tak bertenaga, ia tersenyum, tapi senyumannya tak punya ruh, tak ada kekuatan yang ku lihat pada senyuman perempuanku itu.

***

Tak ada sepatah kata pun yang keluar sore itu. Semuanya tertahan. Hanya sampai kerongkongan saja barisan huruf itu sampai, namun tak ku beri kesempatan mereka naik dan keluar dari sang pengecap ini, dengan segera aku menelan kembali semua kata-kata itu sampai jatuh kedalam lautan kata-kata dan mereka tersungkur tak bisa lagi bangkit.

Aku tak mampu lagi menatap matanya, ku curi pandangan dari sudut mataku. Tubuhnya terkapar lemas, bersandar pada sebuah tembok dan duduk di atas kursi tak nyaman itu. Tatapannya kosong, seperti menerawang dalam pada sebuah pengharapan. Tak ada lagi yang dia inginkan. Dia ingin pulang, merebahkan tubuhnya, dan menghilangkan dunia sementara dengan kedua matanya. Rasanya ingin aku teteskan apa yang mereka sebut ‘Kesedihan’. Tapi jangan, kekuatannya ada padaku. Aku sangat tahu akan hal itu. Aku harus mampu menahan perasaan itu. Setidaknya untuk sementara ini.

Setelah mendapatkan panggilan no antrian, dan keluar setelah pemeriksaan. Ibuku masih saja terlihat lemas. Mungkin juga karena perjalanan yang begitu jauh hingga sampai di kota ini. Setelah berdiskusi dengan yang mereka sebut bagian administrasi, dengan cepat benda beroda itu melesat cepat menembus lautan kendaraan kota menuju tempat peristirahatan ternyaman. ‘rumah’.

***

Dia merebahkan tubuhnya beralaskan tempat tidur yang kali ini terlihat nyaman. Bahkan ku baca ekspresi wajahnya sudah mulai tenang. Setelah makan hanya beberapa suap dan meminum obat yang telah diberikan dokter umum itu, dia kembali melemparkan senyuman yang tak bernyawa itu, dan akhirnya dia menutupkan matanya dengan tenang.

Aku masih di sampingnya, menatap dalam sejauh mana rasa ini bisa menerawang. Berlayar sangat jauh, kali ini tidak ada pelabuhan, aku terus saja berputar-putar dalam lautan yang tidak ada ujung dan tidak ada muara. Perempuanku tertidur pulas. Hari ini dia telah memikul beban yang begitu berat. Lekas sembuh perempuanku, kuatlah, kau ingat? Kau yang selalu mengajariku apa arti kekuatan. Tegar lah seperti langit yang tetap menyambut dan melepas senja, tetap setia dalam terang maupun gelap, melukiskan hal-hal yang membuat manusia yang peduli akan engkau terperanga karena kagum melihatmu menyuguhkan lukisan yang indah. Tersenyumlah seperti dulu, senyuman yang membuat aku selalu jatuh cinta saat menatapnya, aku benci melihat senyumanmu yang tak bernyawa tu. Bersabarlah perempuanku, aku akan mencari senyuman itu lagi, akan ku seret ia pulang pada pemilik asalnya. Kepada engkau PEREMPUANKU.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.