Kemarin, saya mengikuti acara haul GusDur yang ke-sepuluh. Ciganjur menjadi tempat pelaksanaan acara yang digagas oleh berbagai kalangan terutama keluarga dan kerabatnya. Dalam acara tersebut keluarga bersepakat mengangkat tema kebudayaan sebagai poin penting peringatan haul tahun ini. Mengingat masyarakat mengenal GusDur hanya sebagai Presiden dan Kyai, keluarga justru ingin menegaskan bahwa selain itu GusDur juga seorang budayawan.
Kecintaan GusDur terhadap budaya tak lepas dari kekuatan tradisionalisme yang dimilikinya sejak ia kecil. Budaya bukanlah semata seni, karena GusDur bukanlah seniman. Namun pengertian budaya dalam pandangan GusDur adalah ‘Seni’ yang mengatur hidup dan menghasilkan pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial.
Artinya, GusDur merupakan tokoh yang mampu merealisasikan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan yang dalam arti luas dimaksud adalah kebebasan dan kemerdekaan manusia, pemikiran-pemikiran strategis mengenai arah kebebasan itu, dan refleksi-refleksi filosofis atas seluruh permasalahan yang melingkari kebebasan dan kemerdekaan di tengah masyarakat.
Fakta bahwa GusDur pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta dan pernah menjadi Juri dalam Festival Film Indonesia pada tahun 1986-1987 serta terlibat aktif dalam mimbar-mimbar kesenian dan kebudayaan di Taman Ismail Marzuki adalah sedikit bukti bahwa GusDur bukan semata politisi. GusDur memiliki visi kebudayaan yang luas dalam menafsirkan kebudayaan hingga pada praktiknya.
Meskipun dalam tuturan KH. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa GusMus bahwa dengan bergabungnya GusDur ke dalam struktur DKJ dan mendapat posisi penting di sana, para Kyai dari NU banyak mempertanyakan sikap dan keputusan GusDur demikian, karena bagi para Kyai seniman lekat dengan stereotipe urakan dan berandal. Namun sekali lagi, bagi GusDur apa yang dianggap sebagai kebudayaan merupakan tonggak dari awal mula berlangsungnya Islam di Indonesia, dan ia mesti mengapresiasi itu.
Keberlangsungan GusDur dalam struktur di dunia kesenian meskipun tidak berlangsung lama amat membawa pengaruh dan corak bagi lingkungan seni khususnya seniman Jakarta pada saat itu. Aktifitas GusDur dalam dunia politik pada tahun 1980-an mulai mempengaruhinya dalam kepengurusan di DKJ sehingga ia tidak genap menyelesaikan jabatannya sebagai ketua selama tiga tahun.
Meski begitu GusDur tidak pernah lepas dari seni, pada tahun 1996 GusDur mendirikan sebuah grup musik bernama Ki Ageng Ganjur. Grup musik ini mengelaborasi berbagai jenis musik yang berbeda. Selain itu Ki Ageng Ganjur juga menghidupkan tradisi Islam seperti puisi sufi, pepatah bijak dan sastra Islam ke dalam lirik lagu dan aransemen musik.
Keterlibatan seni dan budaya dalam pemikiran GusDur yang kosmopolit merupakan sesuatu yang tidak dapat dinafikan. Kehidupan beragama yang eksentrik dalam diri GusDur juga salah satunya merupakan pengaruh kebudayaan dan kecintaannya terhadap seni, selain dari pada wawasan mengenai keilmuan Islam yang luas.
Di saat orang-orang dari kalangan cendikiawan muslim mengilhami sebuah gerakan masyarakat Islam, GusDur justru menolak itu karena berbagai alasan, salah satunya karena Islamic Civilization akan menjadikan masyarakat non-muslim menjadi masyarakat kelas dua. Dan karena itu pula GusDur ingin menegaskan negara harus memiliki sifat inklusif dan nonsektarian sebagai pengayom warganya.
Dari beberapa buah pemikiran GusDur yang mengedepankan pluralitas dan toleransi, sejatinya seni dan kebudayaan juga turut mempengaruhi arus ide dan sikapnya selama memimpin warga Nahdliyin dan Indonesia. Hingga kemudian lokomotif yang sangat cepat dan visioner itu tidak mampu diikuti dengan baik oleh gerbong-gerbong lawan politiknya.
Masa transisi kekuasaan yang sempat dicicipi GusDur selama 20 bulan itu belum cukup membangun basis kekuatan yang ajeg untuk melawan kekuatan lama, hingga kesempatan itu harus direnggut kembali oleh seluruh poros yang merasa menyesal telah mendukung GusDur karena tak menyangka seorang Abdurrahman Wahid tidak bisa disetir layaknya anak-anak, karena itu tadi, menurut hemat saya seni dan kebudayaan telah mengajarkan GusDur akan pentingnya sebuah kebebabasan dan kemerdekaan diri baik dalam kehidupan bermasyarakat, beragama maupun berpolitik.