KALEM.ID – “Mari membuka ruang berdiskusi selebar lebarnya untuk tetep kalem dan ganteng”.
Saya dikagetkan dengan perbincangan warganet hari ini tentang sebuah puisi. Saya kira mereka seorang apresiator sastra, karena begitu heboh membincangkan puisi tersebut. Ternyata saya salah, komentar yang dilontarkan warganet bernada negative dan bukan sebuah apresiasi terhadap sastrawan. Menjadi penasaran akan hal tersebut, saya mencoba menonton dan mendengarkan video tersebut. Alangkah terkejutnya saya setelah menonton video yang bedurasi kurang lebih satu menit itu di Instagram. Akan tetapi saya mencoba untuk tetap kalem dan biasa saja seperti tag line nya kalem.id. Tidak ingin terpancing suasana dan emosi untuk membuat ungkapan ungkapan kebencian diakun mediasosial pribadi atau di grup-grup wats up, seperti yang dicontohkan dalam puisi yang dibacakan oleh ibu Sukmawati.
Puisi tersebut perlu dikonfirmasi kepada pembacanya. Karena kandungannya saya rasa sangat berbahaya bagi orang awam, karena mereka hanya fokus pada diksinya saja yang dirasa, dan bisa memicu persengketa di antara kita. Serta menjadi celah untuk para pelakor dan walingmi, untuk merebut para suami ibu-ibu Indonesia. Alah apasih, kenapa jadi kesitu. Balik lagi, mari kita simak isi dari puisi yang dibacakan oleh putri dari Ir. Soekarno dibawah ini. Dan ingat, tetap jaga emosi, stabilkan darah biar kita tetep sehat wal afiat.
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya
Cie cia yang lagi nahan marah abis paca puisi ini. Tenang, marah itu boleh kok. Dan jangan dipendam, tapi salurkanlah ke kegiatan yang positif. Misalnya, saya kalo punya amarah biasanya naik gunung, backpakeran, trevellingan atau makan. Nah pun sama dengan seorang pemuda bernama Fahmi Munib, yang sepertinya kurang merasa nyaman dengan puisi yang dibacakan oleh ibu Sukma. Namun jauh dari mengumpat dan menghardik ibu Sukmawati, ia lebih senang dengan membuat karya. Yaitu sebuah puisi balasan yang bahkan judulnya juga sama. Coba kita cek yuk puisinya dari bang Fahmi ini.
*IBU INDONESIA*
Aku tahu bahwa puisimu adalah cerminan betapa sakitnya mental nuranimu.
Kau telah melukai nurani ibumu sendiri Ibu Indonesia dengan puisi sampahmu.
Aku tahu betapa mulianya Ibu Indonesia yang telah mengandung bangsa ini dalam segala perbedaan. Tapi kamu telah menyayat hati Ibu Indonesia dengan puisimu.
Aku tahu kamu berpura-pura bodoh dalam memahami syariat Islam. Tapi ingat, Ibu Indonesia adalah sosok yang mengajarkan bangsanya untuk bersyariat Islam dalam bahasa keibuannya, dan kamu telah mendustakan itu.
Aku tahu rambut dan wajahmu tidak ingin kau tutupi dengan cadar. Tapi ingat, Ibu Indonesia selalu menutup parasnya dengan kemuliaan dan kerendahan hati.
Aku tahu telingamu tak ingin mendengar adzan. Tapi ingat, Ibu Indonesia telah menanam surau-surau di bangsa ini untuk melindungi anak-anaknya dari siksa tuhan yang amat pedih.
Jadi siapa sebenarnya yang kau maksud Ibu Indonesia dalam puisimu? Ibu yang telah merawat dan menumbuhkan kebhinekaan bangsa ini, atau sosok Ibu lain?
Aku yakin Ibu Indonesia bukan seperti yang kamu gambarkan dalam puisimu. Minta maaflah pada Ibu Indonesia yang telah kau nistakan, atau Ibu Indonesia akan tetap sakit oleh puisimu.
© Fahmi Munib 2018
Nah itu dia, sebuah puisi yang diperuntukan untuk membalas puisi lainnya. Mungkin sama dengan pepatah yang sering diumbar para jawara tempo dulu “pati bayar pati, nyawa balas nyawa”. Dikondisi saat ini,dimana masyarakat kita sedang mudah baper dan tersinggung. menjadi sangat rentan jika kita berbicara soal agama dan nasionalisme apalagi sampai membandingkannya. Apakah kurang tegas para pendahulu kita untuk tidak membenturkan antara agama dan nasionalisme, bahkan kalau tidak salah KH. Hasyim Asy’ari berfatwa “hubbulwaton minal iman” mencintai tanah air adalah sebagian dari iman (kalo saya salah ngutip, tolong ingatkan yah).
Intinya mari menjadi bijak sana dari setiap permasalahan kebangsaan yang muncul. Kritik boleh, tapi menghujat dan mencaci jangan yah. Mari membuka ruang berdiskusi selebar lebarnya untuk tetep kalem dan ganteng. Salam sayang dari penulis untuk anda semua. muah